Bencana longsor dan gempa hebat yang melanda Nepal lima bulan lalu membuat peraturan pendakian Everest kian ketat. Beberapa syarat ditambahkan, yakni penyandang disabilitas dan usia pendaki dibatasi dari 18 – 75 tahun, bagi mereka yang terlampau tua tidak diperbolehkan untuk mendaki. Peraturan baru ini dinilai terlalu diskriminatif oleh Elizabeth Hawley penulis kronik Himalayan Expedition.
Govinda Karki Kepala Departemen Pariwisata mengatakan bahwa mendaki Everest bukanlah hal main-main. “Ini bukan diskriminasi, tapi bagaimana Anda akan mendaki tanpa kaki? Apa akan digendong sampai puncak?” ujar Govinda Karki, Kepala Departemen Pariwisata Nepal. Bencana yang menewaskan 18 pendaki di basecamp Everest membuat pemerintah Nepal bersikeras menerapkan peraturan barunya.
Namun, bila menilik beberapa tahun ke belakang, tampaknya pengalaman Erik Weihenmayer dan Mark Inglis akan mematahkan keraguan Kargi. Kedua pria ini adalah penyandang disabilitas yang sanggup menggapai puncak tertinggi di dunia.
Erik Weihenmayer pendaki tunanetra asal Amerika ini berhasil menggapai puncak Everest pada tahun 2001. Pencapaiannya ini mendapat pengakuan dan ia pun dinobatkan sebagai satu-satunya pendaki tunanetra yang berhasil menaklukkan gunung tertinggi di dunia. Lima tahun berikutnya, prestasi kembali diraih oleh penyandang disabilitas asal New Zealand. Meskipun tidak memiliki kaki, Mark Inglis sanggup menggapai puncak Everest.
“Pemerintah tidak berhak menilai kapasitas seseorang, terlebih lagi membatasi pendaki. Kisah Erik Weihenmayer cukup membuktikan bahwa penyandang disabilitas pun sanggup menaklukkan Everest,” ujar Elizabeth Hawley.
Bila dua penyandang disabilitas sudah dapat mematahkan peraturan tersebut, begitu juga dengan Yuichiro Miura pengelana dari Jepang. Di usianya yang ke-80 ia sanggup membawa pulang rekor sebagai orang tertua yang mendaki Everest.
Penulis | : | |
Editor | : | Faras Handayani |
KOMENTAR