Kisah pahit itu bermula dari niat baik. Indramayu mengambil keputusan untuk mengamankan pusat kabupaten dari luapan Sungai Cimanuk. Pada 1980-an, sebuah bendungan pengendali banjir di Bangkir, Rambatan Kulon, Kecamatan Lohbener, dibangun. Bendungan ini buat membelokkan aliran Cimanuk ke Sungai Rambatan.
Agar Cimanuk lebih jinak, di Sungai Rambatan kembali didirikan satu bendungan. Dam kedua ini disebutbendungan Karet Waledan, karena terletak di blok Waledan,Lamaran Tarung, Kecamatan Cantigi.Bendungan Waledan juga untuk menjaga pasokan air baku bagi Indramayu saat musim kering.
Luapan dari Bangkir lantas dialirkan ke sungai baru. “Percabangan sungai yang baru itu dinamakan Kali Anyar,” kisah Ali Sodikin, ketua Kelompok Tani Mangrove Pantai Lestari.
Sebelum dibelokkan ke Waledan, sebagian aliran Cimanuk melintasi Sungai Praja Gumiwang di Karangsong. “Tapi tidak terpikirkan, di muara Cimanuk akan seperti apa, dan di Karangsong akan seperti apa,” jelas Ali di rumahnya, dekat Balai Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu.
Ternyata, papar Ali, beberapa tahun kemudian, pertumbuhan tanah timbul di muara baru Cimanuk sungguh luar biasa. Sementara itu, di pesisir Karangsong, yang biasanya tumbuh tanah timbul, justru terjadi abrasi. “Abrasinya lumayan parah.”
Keadaan makin runyam lantaran pesisir Karangsong tak dilindungi sabuk hijau. “Dulu ada hutan mangrove. Pesisir Indramayu pada 1970-an memiliki hutan mangrove yang bagus. Cuma, keberhasilan budidaya ikan mengorbankan mangrove, yang terus dibabati untuk dijadikan tambak. Apalagi pada 1998 terjadi booming udang windu. Mangrove dibabat habis hingga pinggiran pantai,” kisah Eka Tarika, ketua bidang Penghijauan Pantai Lestari.
Setelah itu, arus laut menghantam tanggul tambak. “Seberapa kuat, sih, tanggul tambak. Dihantam terus, ya, habis. Abrasi tak terelakkan, karena tidak ada sabuk hijau.”Puncak gerusan ombak Laut Jawa terjadi antara 2005 sampai 2006. Air laut menusuk daratan pesisir hingga 400 meter lebih.
Sejak tahun 2008, Kelompok Pantai Lestari mulai menggelar penanaman mangrove. Kelompok menyasar sehamparan tanah yang benar-benar kosong melompong. Tak sepucuk tanaman pun yang tumbuh. Saat pasang, air Laut Jawa menenggelamkan daratan ini. Kelompok Pantai Lestari benar-benar berangkat dari nol. !break!
“Kami ingin sepanjang pesisir ditanami mangrove. Gagasannya, menahan abrasi. Dan kita terus menanam. Lalu sedimen tanah terperangkap dan sekarang menjadi menjadi daratan,” papar Tarika seolah ingin meringkas hasil panjang pergulatan kelompoknya.
Wilayah yang ditanami mangrove berada di mulut Sungai Praja Gumiwang atau kerap disebut muara Song. Tentu saja perlu perjuangan untuk menanami daratan yang kerap tersapu ombak itu.
Saat pertama kali menanam, ujar Tarika, memang tidak mudah. “Sehingga, kita menanam secara bertahap. Kita juga memasang alat pemecah ombak atau APO untuk mengendorkan arus yang kencang.”
Alat pemecah ombak ini untuk membentengi tanaman yang masih kecil dan lemah. Ternyata APO juga tidak begitu efektif menahan gelombang. “Kita akhirnya juga memasang waring.”
Waring berupa bentangan jaring yang bisa menangkap sedimen yang terbawa arus laut. “Ini agar pasir yang terbawa ombak terperangkap dan mengendap. Hasilnya timbul daratan baru.”
Ali menimpali, “Jangan sampai kita tanam hari ini, besoknya tanaman terangkat. APO ternyata masih belum mengurangi ombak, lalu kita pasangi waring. Agar gelombang yang masuk membawa sedimen, dan arus balik meninggalkan sedimen sehingga tanah bisa tertumpuk.”
Gerak maju penanaman memperhatikan pasang surut air laut. “Penanaman dilakukan dengan memperhatikan batas pasang surut. Kalau surut kering selebar lima meter, itulah batas yang kita tanami,” kenang Tarika. Di daerah pasang surut inilah ditanami bibit mangrove. “Sebab, kalau mangrove selalu tergenang air, pertumbuhannya tidak bagus. Sementara bila tanpa tersentuh air laut, pertumbuhannya juga tidak maksimal.”
Biarpun saat pasang tenggelam, asal saat air surut tanahnya kering, bibit mangrove akan mampu bertahan hidup. “Itu yang bagus,” tegas Tarika. Begitu seterusnya, penanaman dilanjutkan ke arah laut seiring dengan terbentuknya daratan baru.
Gairah untuk membentengi daratan dengan sabuk hijau membuat kelompok ini menandur secara maksimal. “Jangan heran kalau melihat mangrove tumbuh berdampingan,” Ali mengingatkan, “karena yang ditanam tidak hanya satu pohon dalam satu ajir, tetapi ada cadangan dua bibit. Itu untuk antisipasi. Alhamdulillah, begitu hidup, rapatnya luar biasa.”
Bahkan penanda jarak tanam atau ajir pun berupa bambu utuh, bukan bambu belah. Selain untuk menopang bibit mangrove, ajir bambu bulat juga untuk mengurangi arus laut. “Arus akan terbelah melingkari bambu,” terang Tarika.
Tak mengherankan, kendati kini mangrove telah tumbuh rapat dan tinggi, sisa ajir itu masih bisa dijumpai. “Bila ingin melihat sejarahnya, masih ada ajir-ajir dari bambu utuh. Ini untuk memperkokoh bibit yang baru ditanam, agar tidak tercerabut dari tanah,” ujar Ali mengingatkan. Pada penanaman mangrove generasi pertama, evaluasi dilakukan hingga tiga bulan untuk memastikan tanaman berkembang.
Kadang yang menjadi faktor kegagalan penanaman adalahminimnya pemeliharaan. “Setelah menanam, kalau kita tinggalkan, banyak bibit yang terangkat ombak sehingga tidak bisa tumbuh. Tapi kita selalu monitoring setiap minggu. Akhirnya, pertumbuhan bisa mencapai 90 persen,” imbuh Tarika. “Kalau kita tinggalkan, ya, hanya 30 persen yang tumbuh. Tapi kita berkomitmen untuk menjaga dan memelihara tanaman.”
Pemantauan juga tak semudah di daratan kering. “Saat itu, air laut masih setinggi pinggang,” kenang Ali. Lalu datanglah kontribusi dari pihak-pihak setelah melihat bibit itu bertahan hidup.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR