Arief Yahya tampak geram. Menteri Pariwisata yang dikenal sebagai pemasar andal ini gusar terhadap informasi yang baru diterimanya.
"Rupanya, ada tambahan penghargaan dalam acara ini, Pak," kata salah seorang pembisiknya di sela pertemuan para menteri pariwisata dalam ASEAN Tourism Forum 2016 di Manila, Filipina, beberapa waktu lalu. Pertemuan yang digelar di dalam salah satu ruangan berpendingin nan sejuk hotel bintang lima mendadak memanas untuk tim Indonesia. Wajah sang menteri menjadi keruh. Orang-orang terdekatnya sibuk memeriksa kebenaran informasi tadi.
Hasil selisik seperti menguatkan informasi awal. Ada penghargaan khusus yang akan diberikan oleh juri kepada Kementerian Pariwisata Sabah Malaysia. Tentu saja, informasi ini seperti menyulut kekesalan Arief—dan orang-orang di sekelilingnya, termasuk I Gde Pitana, Deputi Pengembangan Pemasaran Pariwisata Mancanegara, yang menjadi wakil Indonesia dalam rapat kerja pejabat pariwisata di tingkat Asia Tenggara.
Saya mencoba mengintip telepon pintar milik Pitana. Ia secara sekilas sempat menunjukkan kepada saya pernyataan Arief dalam kelompok diskusi WhatsApp di lingkungan terbatas pejabat dan orang dekat Kementerian. Dan, maaf, saya tidak pantas menuliskan kemarahan Arief di dalam tulisan. Yang pasti, kekesalannya memuncak. Orang-orang di sekitarnya berupaya menenangkan Arief dengan mencoba mencari tahu dan menyelisik informasi kepada panitia.
Sekalipun memendam kesal, Arief masih menebar senyum saat berpose bersama tiap penerima penghargaan dari Indonesia. Aileen Clemente, Presiden ASEAN Tourism Association (ASEANTA) menyerahkan penghargaan bersama Arief di panggung yang dibanjiri sinar lampu ribuan watt. Di belakang mereka, para menteri pariwisata negara anggota ASEAN menyaksikan sembari duduk pada bangku yang berjajar rapi. Lampu kilat para juru foto seolah tak ingin tertinggal dalam mengabadikan momen bersejarah itu. Tepuk meriah hadirin—mulai dari pejabat pemerintah, pelaku industri hingga media massa—mengiringi pemberian penghargaan.
(Baca juga: Indonesia Kritik Pemberian Penghargaan Khusus dalam ASEANTA Awards 2016)
Pemberian penghargaan bagi pelaku dan pendukung pariwisata Indonesia di tingkat Asia Tenggara dipandang penting oleh Arief. Dalam upaya meningkatkan angka kunjungan wisatawan mancanegara setiap tahun—hingga mencapai angka 20 juta turis pada 2019, Arief pun mengeluarkan satu persatu jurus manajemen dan pemasaran sejak awal menjadi orang nomor satu di Gedung Sapta Pesona Jakarta. Langkah cepat sang menteri—yang mungkin ada kemiripan saat ia menjabat sebagai CEO PT Telkom—segera diterapkan. Jurus-jurus inilah yang membuat "mabuk" para bawahannya.
!break!
Dalam setiap kesempatan bertatap muka dengan jurnalis, Arief tanpa tedeng aling-aling mengucapkan kalimat "berperang". "Saya bangga dan puas kita berhasil mengalahkan Malaysia." Senyumnya melebar dan beriring dengan tawa kecil. Ekspresi yang menggambarkan kelegaannya.
Para jurnalis yang merekam pernyataannya tampak meragu. "Nggak apa-apa nih kalo kita tulis begini (\'perang\' dengan Malaysia), Pak?"
"Lho, ndak apa-apa. Kamu tulis itu. Dalam ilmu marketing, kita harus punya \'musuh\'. Dialah yang harus kita kalahkan."
Kata Arief, konteks "peperangan" yang ia maksudkan itu adalah dalam persaingan merebut wisatawan luar negeri ke dalam negara masing-masing. Dalam hal ini, ia menjadikan Malaysia sebagai lawan yang harus dikalahkan oleh Indonesia.
Sebagai penerima Marketer of The Year 2013, Arief memang punya segudang ilmu. Ia selalu mengobarkan semangat, "kalahkan \'Truly Asia" Malaysia dalam dua tahun!"
Dengan angka kunjungan 27 juta turis dalam setahun, Malaysia seolah punya modal yang tak terjangkau oleh Indonesia—tahun ini wisatawan asing kita baru berada di kisaran 10 juta orang. Lalu, apakah genderang perang yang ia tabuh itu hanya untuk pencitraan atawa sensasi belaka?
"Tidak! Kami sudah hattrick mengalahkan Malaysia di Halal Tourism Award di Abu Dhabi 2015. Lombok mendapatkan penghargaan World Best Halal Destination Award 2015 dan World Best Halal Honeymoon Award 2015. Lalu, Hotel Sofyan Betawi memperoleh World Best Halal Hotel Award 2015. Malaysia yang selama ini menjadi legenda halal tourism tak mengantungi satu pun award di sana," kata Arief. (Baca juga: Destinasi Tunggal ASEAN, Indonesia Justru Dapat Banyak Keuntungan)
Lantas, kalau sudah dapat penghargaan kelas dunia itu, apakah destinasi dan pelaku industri itu mendapatkan dampak langsung?
"Dampak dari international award itu sangat besar."
Arief menjelaskan, Lombok setelah mendapatkan penghargaan itu sangat bergairah. Atmosfer bisnis dan suasana industri perhotelan, restoran, biro perjalanan, dan semua usaha yang berbasis pada pariwisata mulai hidup. "Momentum inilah yang bisa kita kebut untuk mendapatkan wisman lebih banyak. Tinggal perbaiki destinasi dan lebih agresif promosi ke top five originasi halal," kata lelaki yang memiliki ilmu stratejik manajemen itu.
!break!
Kegagalan Penghargaan: Rinjani
Penjelasan itu membuat saya setuju. Prestasi akan membawa berkah—sepanjang kita siap untuk mengelola, memanfaatkan, dan mempromosikannya.
Dengan kekayaan alam dan budaya, kita punya banyak prestasi dunia di sepanjang garis katulistiwa. Banyak di antara pengelola destinasi—termasuk tempat wisata itu sendiri—yang telah mendapatkan penghargaan bergengsi. Sayangnya, para penerima penghargaan itu kurang memanfaatkan secara maksimal penghargaan tadi sebagai penarik minat orang untuk berkunjung.
Saya ingin mengajak Anda kilas balik ke tahun 2004. Ketika itu, dunia pariwisata kita ingar-bingar oleh sebuah pengumuman (kalau saja Twitter sudah naik daun pada masa itu, tentu cerita emas itu kian membahana). "Selamat untuk Taman Nasional Gunung Rinjani atas penghargaan \'The 2004 World Legacy Award\'—kategori destination stewardship yang diselenggarakan oleh Conservation International dan National Geographic Traveler". (Baca juga: Indonesia Raih Juara Dunia 12th UNWTO Award)
Berita baik itu segera menyebar di jejaring sosial, yang nge-tren saat itu adalah Facebook. Melalui program Gunung Rinjani Trekking Program, pengelola kawasan konservasi itu mendapat ganjaran harum. Mereka mampu membenahi pengelolaan kawasan, yang terkenal dengan pendakian gunung api tertinggi kedua di Indonesia, dan penataan destinasi yang berbasiskan lingkungan dan sosial.
Saat menerima penghargaan, Kementerian Kehutanan (ketika itu) mengirimkan Kepala Taman Nasional Tedi Sutedi bersama Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Barat, Tjokorda Suthendra Rai yang juga menjadi Ketua Badan Pembina Trekking Rinjani. Di gedung megah milik National Geographic Society di Washington, DC, induk dari Traveler, keduanya menerima penghargaan yang diserahkan oleh Ratu Noor dari Yordania selaku Ketua Komite Penghargaan.
Mendapati berita itu, saya jelas bangga. Saya pernah dua kali tersengal-sengal di dua jalur ngehe pendakian saat menuju titik tertinggi di wilayah nusa kecil. Ketika itu, saya tidak dapat menikmati pendakian. Bukan karena kontur jalur jalan kaki yang menyebalkan, tetapi pada unsur keamanan, kebersihan lingkungan, pos pendakian yang kotor, dan seterusnya. Karena masih duduk di bangku perguruan tinggi, semua kelemahan itu tidak menjadi masalah. Lha wong, tujuannya satu: puncak.
Rupanya, setelah tahun 2000 Rinjani berbenah. Hasilnya, penghargaan tadi. Tentu saja, sekalipun saya tak punya datanya, prestasi itu menggiring berkah. Kunjungan wisatawan untuk menikmati parwisata berkelanjutan itu semakin meningkat—penghargaan itu menitikberatkan pada penilaian pada tanggung jawab lingkungan dan menghargai warisan budaya. Penghargaan ini merupakan satu-satunya penghargaan pariwisata global yang didasarkan atas hasil kunjungan lapangan para ilmuwan, antropolog dan profesional pariwisata.
Sayangnya, setelah penghargaan diterima, beberapa waktu kemudian, saya mendapatkan berita sedih. Pengelolaan Rinjani kembali berantakan. Kalau mengingat ini, kalau saja penghargaan itu diterima pada masa Arief Yahya berkuasa di Sapta Pesona, tentu Rinjani dan pelaku industri bisa meminta publikasi dan peningkatan tata kelola secara maksimal.
Rupanya, pengelola Rinjani dan masyarakat sekitar, tidak siap menjadi "artis molek" yang dalam sekejap mendapatkan sorotan lampu ribuan watt dari segala penjuru. Mereka seperti kembali ke dasar: berebut kue—yang sebetulnya bisa dibagikan dengan komunikasi kuat.
!break!
Ayo, Maksimalkan Penghargaan!
"Saya sudah tidak permasalahkan soal special recognition award itu kok. Ah, itu kan hanya piagam penghargaan saja," kata Arief Yahya di teras restoran hotel bintang lima di Manila kepada sejumlah jurnalis Indonesia. Raut wajahnya terlihat datar. Senyumnya kembali terkulum. Canda khasnya terlontar lagi.
Baginya, Indonesia tetap menjadi juara umum dalam gelaran ASEANTA Awards 2016. Ada tiga kategori yang berhasil diboyong ke tanah air itu antara lain: Kategori Best ASEAN Tourism Photo, Agung Parameswara dengan karya fotografi berjudul "Morning In Bromo, Indonesia."
Kategori lainnya adalah, Best ASEAN Cultural Preservation Effort, yang dimenangi Saung Angklung Mang Udjo, Bandung. Tokoh yang amat peduli dengan musik tradisional Sunda, Jawa Barat. Penghargaan itu diterima Taufik Hidayat, Manajer Saung Mang Ujo. (Baca juga: Dunia Mengapresiasi Kepariwisataan Indonesia)
Sementara itu, kategori ketiga yang berhasil mengalahkan lawan-lawannya adalah Best ASEAN Travel Article, dengan tema "The Perfect Wave" di Colour Magazine, Garuda Indonesia. Sentot Mujiono, Vice President Asia Region yang menerima award itu.
"Kemenangan itu direncanakan!" tegas Arief. "Awarding di level regional dan global itu harus kita rebut. Istilahnya kalibrasi, yakni kalau kita mengikuti kriteria yang berstandar internasional, yang sudah teruji dan terbukti di destinasi kelas dunia, itu sudah pasti baik. Otomatis, objek wisata kita juga available dengan wisman yang sudah berpengalaman internasional juga."
Selain itu, penghargaan juga membuat kita semakin confidence, percaya diri, bahwa kualitas layanan dan atraksi yang dimiliki tidak kalah dari negara lain. Melihat potensi pariwisata Indonesia, memang tidak boleh merasa rendah diri apalagi merasa rendah. "Award juga mendongkrak kredibilitas kita di dunia internasional. Apalagi award itu diperoleh dengan cara-cara yang fair, betul-betul karena kualitas, dan dikeluarkan oleh lembaga yang kredibel," lanjutnya.
"Indonesia harus menjadi leader, pemimpin di regional ASEAN dan menuju ke global. Penghargaan dari ASEANTA dan UN-WTO itu adalah bukti, lanjut Arief, bahwa jika serius, tidak ada yang tidak bisa. Mengejar award, dengan segala kriteria itu, secara otomatis akan mendekatkan diri pada standar dunia. "Ada 14 pilar yang kita pakai sebagai acuan, yang juga dijadikan alat ukur competitiveness index oleh World Economic Forum (WEF). Jadi, sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui. Membangun destinasi dengan standar dunia, membuat objek wisata semakin bagus, bisa dikompetisikan di tingkat dunia dan berpotensi menang!" kata dia.
Karena itu, Arief menargetkan untuk menyapu bersih ASEANTA Award tahun depan. Sekaligus menemukan destinasi baru yang akan diformat menjadi calon-calon jawara. "Sekaligus ajang kompetisi yang fair. Kita punya banyak potensi kok?" sebutnya. Menpar menyebut 10 destinasi unggulan yang akan menjadi 10 "Bali baru". Dari Toba, Tanjung Kelayang Belitung, Tanjung Lesung Banten, Pulau Seribu Jakarta, Borobudur Jawa Tengah, Bromo Jawa Timur, Mandalika Lombok, Labuan Bajo NTT, Wakatobi Sultra dan Morotai Maltara.
Pengamat ekonomi yang juga founder MarkPlus Hermawan Kertajaya memperkuat Arief Yahya itu. "Kalau Brand Equity kuat, maka ada beberapa benefit. Indonesia akan makin masuk Consideration Set para turis yang mau milih destinasi. Terutama bagi yang belum punya awareness tinggi terhadap Indonesia," jelas Hermawan.
Lalu, lanjut dia, Country Brand Association Indonesia akan menjadi makin tajam sesuai dengan kategori awards yg diperoleh. "Ini sangat penting untuk masuk dalam segmen yang pas dengan kategori yang bersangkutan," ungkap Hermawan. Di sinilah, pentingnya memperkuat dan mempertajam branding Wonderful Indonesia di semua lini, termasuk memenangi persaingan di awarding.
Apa lagi? "Ya. Menguatkan keyakinan customer dalam bentuk guarantee pada customer yang tercermin pada price differentiation. Dengan begitu, dampaknya bukan hanya pada jumlah turis dan kunjungan yang akan datang, tapi juga spending-nya ketika berada di Indonesia," jelas Hermawan.
Dengan begitu, para penerima penghargaan itu berhak memaksimalkan apa yang telah mereka capai dalam melakukan promosi dan publikasi. Tentu, promosi itu harus diiringi dengan prestasi yang dipertahankan. Dan, kita senantiasa belajar dari kesalahan.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR