“Barry kedua dari kiri,” ujar Sektiadi. Lelaki berkumis putih itu menunjuk foto lima bocah yang berdiri di tengah jalan permukiman berlatar Gunung Merapi. Barry, panggilan akrab Barack Hussein Obama, dalam foto itu mengenakan kemeja warna putih dan celana krem. Lagaknya khas anak-anak—cengengesan. Lalu, Sektiadi menambahkan, “Mereka di depan rumah ini.”
Sektiadi merupakan seorang dosen pada Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, yang sekaligus pengelola Museum UGM. Kami tengah berada dalam kamar sebuah rumah lawas di kompleks perumahan dosen Universitas Gadjah Mada, Bulaksumur D7. Beberapa foto yang menghias dinding kamar, menautkan kenangan tentang Barry kecil dan keluarga pemilik rumah ini.
Bagaimana ceritanya bocah berkulit hitam yang kelak menjadi Presiden AS ke-44 itu sampai di Yogyakarta? Sektiadi mengatakan, rumah dinas ini pernah dihuni Profesor Iman Soetiknjo dan keluarganya. Dia adalah guru besar dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, UGM. Ibunda Barry yang bernama Ann Dunham, demikian lanjut Sektiadi, menikah dengan adik dari sang profesor yang bernama dr. Soetoro. “Tapi,” sambungnya, “Ann Dunham sudah mempunyai anak, yakni Barry, dari pernikahan sebelumnya.”
Barry kecil tinggal bersama ayah dan ibundanya di Jakarta, namun kerap berlibur ke rumah paman tirinya di Yogyakarta. Mereka sering berkunjung ke kota ini saat liburan panjang puasa, sekitar 1967-1971. Dari Jakarta, mereka berkereta api menuju Stasiun Tugu, Yogyakarta. Selama liburan di rumah paman tirinya, demikian catatan Museum UGM, Barry akrab bermain dan bercanda bersama anak-anak Soetiknjo yang kebetulan seumuran. Mereka menjelajahi kompleks perumahan Bulaksumur, memanjat pohon, mencari buah asam. “Kesaksian diperoleh dari keluarga Sutiknjo,” ujar Sektiadi. “Ann Dunham juga menggarap disertasinya riset di Yogyakarta.”
Kamar tempat bermalam Barry kala liburan itu kini diabadikan sebagai bagian dari Museum UGM. Di kamar itu masih ada ranjang tempat Barry lelap dalam tidur, juga meja kerja paman tirinya. Tampaknya, Barry tidur di sebuah kamar tidur sekaligus kamar kerja yang penuh dengan koleksi buku milik Soetiknjo.
Di dalam rumah, kami menjumpai kamar mandi sempit berpancuran gaya 1950-an yang berhadapan dengan kamar WC duduk. Mungkin Barry mandi di sini juga karena inilah satu-satunya kamar mandi di rumah ini.
“Museum UGM pertama dibuka pada 2013—soft ,” kata Sektiadi, bersamaan dengan kunjungan Maya Kasandra Soetoro, adik tiri Barry, yang kini berdiam di Honolulu, Hawaii. Museum ini menempati dua rumah di kompleks Bulaksumur, rumah D6 dan D7. Permukiman untuk dosen di UGM dibangun sekitar akhir 1950-an atau awal 1960-an yang mengadopsi arsitektur tropis rumah-rumahnya mengadopsi gaya Hindia Baru.
“Kami sebenarnya berpikiran tidak akan banyak menggunakan guide,” ujarnya. Menurut hemat Sektiadi, pemandu hanya akan membatasi pengunjung, sehingga pengunjung tidak bisa mengembangkan pengetahuannya. Kelak, ungkap Sektiadi, museum ini akan dilengkapi paparan informasi yang bisa disentuh, dilihat, dan dibaca. “Seharusnya pengunjung bisa membangun sendiri pengetahuannya dengan berinteraksi dengan objek.”
Sejatinya, ide tentang pendirian museum ini sudah ada sejak awal dekade silam. Salah satu penganjur pendirian museum ini adalah Prof. Dr. Teuku Jacob, guru besar emeritus dalam bidang antropologi ragawi dari Fakultas Kedokteran UGM. Salah satu sudut museum ini juga menampilkan barang-barang pribadi milik Jacob: holograf, pena, dan replika kepala manusia katai asal Flores, juga foto legendarisnya bersama G.H.R. von Koenigswald—ahli geologi dan paleoantropologi sohor asal Jerman. Teuku Jacob pernah menjabat sebagai Rektor UGM yang ketujuh peridoe 1981-1986. Kritiknya terhadap pendapat para ahli seputar temuan Homo floresiensis dikutip dalam National Geographic Indonesia edisi pertama, April 2015.
Rektor pertama UGM mendapat tempat istimewa di museum ini karena dikenang dalam satu kamar khusus. Prof. Dr. Sardjito, namanya diabadikan sebagai rumah sakit umum daerah yang berlokasi di tepian kampus UGM. Museum ini mengoleksi meja kerja, lukisan, radio berikut dengan bufet kecil miliknya.
Sardjito mengorbankan rumah dan keluarganya di Sendang, Klaten, untuk melindungi para pejuang. Sebuah tindakan yang kerap memicu serangan militer Belanda. Salah satu dari sekian banyak jasanya, Sardjito menyerahkan lembaga pendidikan yang didirikannya untuk menjadi bagian perguruan tinggi kebangsaan yang lebih terbuka untuk semua anak bangsa: Universitas Gadjah Mada.
“Kami heran dengan Prof. Dr. Sardjito,” kata Sektiadi. “Kami menemukan arsip bahwa dia juga memelajari Candi Borobudur.” Dalam arsip itu Sektiadi dan timnya menyingkap berkas yang menunjukkan bahwa dokter itu juga memelajari budaya dan pernah mempresentasikan arca-arca Candi Borobudur dalam sebuah forum resmi di Filipina. “Saya tidak tahu, apakah kita sekarang terlalu terspesialisasi,” ujarnya, “atau dokter Sardjito yang terlalu ke mana-mana.”
Di ruangan yang dahulu digunakan sebagai ruang tamu, saya menyaksikan lintasan waktu dari 1943 yang ditandai Sekolah Bagian Ilmu Kedokteran Gigi di Surabaya yang dibentuk Jepang hingga peresmian UGM pada 19 Desember 1959 oleh Presiden Sukarno. Pada lintasan waktu berikutnya, sebuah foto hitam-putih menampilkan seorang yang bersepeda memasuki salah satu gerbang keraton bergaya paladian yang bertuliskan “Universitit Negeri Gadjah Mada”. Saya mengenang almarhum ayah saya yang pernah berkata bahwa dia masih mengalami perkuliahan di dalam tembok keraton. Bahkan, kawasan kampus UGM yang sekarang berdiri di tanah milik Keraton Yogyakarta. Dalam ruangan istimewa lainnya, tampak hubungan mesra antara UGM dan Keraton Yogyakarta. Potret Sultan Kesembilan ditampilkan untuk mengenang peran dan kemurahan hatinya saat berdirinya kampus ini.
“Museum UGM ini bukan satu-satunya,” ujar Sektiadi. “Museum Biologi merupakan museum tertua yang dimiliki UGM.” Selain itu kampus ini memiliki sederet museum lainnya seperti Museum Kayu Wanagama yang dikelola Fakultas Kehutanan, Museum Paleontropologi yang dikelola Fakultas Kedokteran, Museum Peta dan Museum Gumuk Pasir yang dikelola Fakultas Geografi, serta Museum Mandala Majapahit yang dikelola Fakultas Ilmu Budaya.
Sejak kapan UGM berjulukan “Kampus Biru”?
Pada awal 1970-an terbit novel Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar—yang beberapa tahun silam pensiun dari dosen FISIPOL UGM. Novel itu berkisah tentang romantika mahasiswa yang berlatar kampus UGM. Namun, tampaknya julukan “Kampus Biru” mulai banyak digunakan orang setelah film dengan judul yang sama ditayangkan di gedung-gedung bioskop pada 1976. Kebetulan, ibu saya—ketika itu masih gadis—tampil dalam beberapa adegannya. Namun, sayangnya, novel yang menjadi tengara baru kampus UGM itu justru belum masuk dalam koleksi museum.
Bagi saya, berkunjung ke Museum UGM merupakan sebuah pengembaraan memori tentang riwayat diri dan kampus ini. Saya, seperti juga almarhum ayah, pernah berguru untuk meramu ilmu di Kampus Biru.
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR