Nationalgeographic.co.id—Sejak Revolusi Prancis, banyak atasan militer yang dipenggal dengan guillotine karena memiliki hubungan dengan kalangan elit monarki. Kebanyakan dari atasan itu berasal dari angkatan laut Prancis. Tak heran, 21 Oktober 1805 Prancis kalah di pertempuran Trafalgar di laut ketika melawan Inggris.
Walau atasan militer angkatan darat juga bernasib sama, tapi tidak separah yang dialami angkatan laut. Itu sebabnya, pasca Revolusi Perancis, di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte, angkatan darat melakukan serangan besar-besaran di Eropa. Salah satunya adalah Austerlitz, Kekaisaran Austria, di mana tentara Prancis mencapai puncak kejayaan dunia tempurnya, walau selisih dua bulan dari kekalahannya di Trafalgar.
Bagaimana pertempuran Austerlitz bisa terjadi?
Pada awalnya, kekuatan revolusi Prancis menggetarkan seluruh Eropa. Hal ini membuat berbagai kerajaan di Eropa bersatu untuk melawan Napoleon yang telah menguasai banyak kawasan. Sempat ada perdamaian dengan penguasa Eropa tersisa pada 1802 lewat Perjanjian Amiens.
Tetapi ketegangan Prancis dengan Inggris, membuat kerajaan-kerajaan di Eropa membuat koalisi untuk menghadang ambisi Napoleon yang dianggap berbahaya. Koalisi ini dibentuk tahun 1804 yang mencakup Inggris, Napoli, Swedia, Portugal, Sisilia, Austria, dan Rusia.
"Austria telah dua kali kehilangan wilayah dan pengaruhnya di Italia, yang diberikannya kepada Prancis, dan bernafsu untuk membalikkan keadaan," tulis sejarawan militer Rupert Butler dan tim di buku Perang yang Mengubah Sejarah, Buku Kedua: dari Pengepungan Quebec (1759) hingga Operasi Iraqi Freedom (2003). Kekaisaran Austria saat itu meliputi Austria kini, Italia bagian utara, Hongaria, Serbia, dan Ceko-Slovakia kini.
"Koalisi itu sangat kuat, tetapi faktor geografis memisahkan negara-negara yang memiliki agenda yang berbeda satu sama lainnya itu." Akibatnya, Prancis memiliki keunggulan di angkatan darat, terutama jika dalam pasukan ekspedisinya digabungkan dari negara-negara bawahannya seperti Belanda.
Butler dan tim menjelaskan, sebenarnya pasukan dibagi dua oleh Napoleon. Pertama, untuk menginvasi Inggris dari pantai utara. Tetapi karena invasi gagal dan kalah di Trafalgar, pasukan ini bergabung dengan pasukan kedua yang baru, La Grande Armée yang bertujuan untuk melawan di koalisi di Eropa daratan.
Struktur pengorganisasian La Grande Armée sangat fleksibel dalam pemindahan unit, dan bisa menyesuaikan formasi sesuai kebutuhan. Mereka memiliki kavaleri, korps standar, pasukan cadangan yang didukung artileri, dan Garda Kekaisaran sebagai cadangan akhir.
Kondisi pasukan Prancis berbeda dengan Rusia dan Austria yang bersekutu. Butler dan tim mengungkap, pasukan mereka tidak fleksibel dalam organisasinya, dan tingkat pelatihannya tidak setinggi Prancis. Terlebih, pasukan bisa dihukum dengan siksaan bila melakukan kesalahan seremeh apa pun.
"Namun, kavaleri Austria, yang terutama direkrut dari keluarga-keluarga aristokrat yang memiliki tradisi dinas militer yang panjang, merupakan kekuatan yang sangat baik," jelas mereka.
"Tentara Rusia memiliki kesatuan artileri yang sangat hebat, di mana para penembak meriamnya sangat membanggakan meriam mereka dan bersedia mempertahankan meriam-meriamnya untuk menghindari rasa malu jika harus meninggalkan senjata tersebut."
12 November, Prancis berhasil menduduki ibukota Austria, Wina, setelah beberapa kali operasi di Bavaria dan Branau-am-Inn. Austria yang pasukannya lambat, memilih membiarkan ibukotanya dikuasai dan mundur untuk mencari kesempatan yang lebih baik.
Setelah sekian hari menduduki Wina, tibalah kehendak Napoleon untuk benar-benar menghadapi Sekutu di lokasi di dekat Austerlitz Brunn (kini Brno, Republik Ceko). Pasukan Prancis tiba di Brunn pada 23 November dan langsung mempelajari medan di antara Austerlitz dan Dataran Tinggi Pratzen.
"Untuk memancing pihak Sekutu, Napoleon menempatkan pasukan di Dataran Tinggi Pratzen dan Austerlitz, lalu cepat-cepat menarik mereka saat musuh mendekat," tulis Butler dan tim.
"Untuk memperkuat kesan bahwa kedudukan yang buruk dan ingin menghindari pertempuran, dia mengadakan perundingan, yang diadakannya dengan sikap yang tidak terlalu memperlihatkan kepercayaan diri yang angkuh yang biasanya merupakan sikap khasnya."
Sekutu sangat unggul secara jumlah pasukan, tetapi Napoleon mengerahkan korps tambahan pada 30 November, walau total keseluruhannya masih kalah jumlah. Kalah jumlah ini sengaja dilakukan Napoleon untuk meyakinkan panglima lawan kalau Prancis lemah dan ragu-ragu. Butler dan tim menulis, Prancis terdiri dari 73.000 infanteri dan kaveleri, dan 139 meriam, sementara Austria-Rusia terdiri 85.000 infanteri dan kavaleri, dan 278 meriam.
Akhirnya, sesuai harapan Napoleon, Sekutu langsung menyerang sayap kanan Prancis yang terbuka dan kekuatannya lemah. Pertempuran itu dimulai pada 2 Desember 1805 pukul 06.00. Legiun Korsika yang berada di sayap kanan, tepatnya di desa Tellnitz, mempertahan diri mereka selama satu jam sebelum mengundurkan diri.
Baca Juga: Makna Semboyan Liberte, Egalite, Fraternite dalam Budaya Prancis
Situasi di sayap kanan ini penuh dengan pertaruhan. Prancis sudah menyadari ada celah bahaya dari serangan itu, tetapi Sekutu tidak memanfaatkannya. Kaisar Napoleon menunggu hingga pihak Sekutu benar-benar keluar dengan segenap kekuatannya untuk menyerang sayap kanan. Dengan demikian, Sekutu mengabaikan Dataran Tinggi Pratzen untuk direbut Prancis.
Sekitar pukul sembilan pagi, Napoleon menginstruksikan Marsekal Jean-de-Dieu Soult untuk mengerahkan pasukannya bergerak secara diam-diam. Pergerakan ini dipergoki Rusia, tetapi Soult berhasil merebut dataran tinggi itu pukul 11.00.
Sontak, Tsar Alexander memerintahkan Garda Kekaisarannya yang elit itu untuk merebut kembali Dataran Tinggi Pratzen. Walau ribuan prajurit Prancis melarikan diri akibat serangan balik, prajurit Grenadier berkuda dari Garda Kekaisaran Prancis melancarkan serangan hingga mengendalikan keadaan.
Baca Juga: Misteri Penis Kecil Napoleon yang Berpindah-pindah Tangan Lintas Benua
Keunggulan Prancis terjadi pula di sayap kiri, ketika kaveleri mereka menggagalkan serangan unit-unit sayap musuh. Akibatnya, pada 14.00, Sekutu memiliki pasukan cadangan sedikit karena mengerahkan terlalu banyak. Kedua sayap sekarang terlibat pertempuran jarak dekat yang sengit, dan bagian tengahnya berantakan.
Pasukan Sekutu memanfaatkan sayap kanan Prancis untuk membuka jalan untuk melarikan diri dan menyeberangi danau yang membeku. Pasukan Prancis cukup kewalahan untuk mengejar mereka, maka dikerahkanlah artileri untuk menembaki danau supaya esnya pecah dan menjebak Sekutu.
"Konsekuensi politis dari pertempuran itu jauh lebih penting," urai Butler dan tim. "Pihak Koalisi telah mengalami pukulan hebat dan kemampuan militer Austria sendiri merosot drastis. Selain itu, reputasi militer tentara Pranccis dan legenda keperkasaan Napoleon benar-benar melambung."
"Begitu hebatnya pamor Kaisar Napoleon sehingga dikatakan bahwa di medan tempur 'penglihatan akan topinya saja sama nilainya dengan 40.000 prajurit'," tambah mereka. Pertempuran itu mengakibatkan Austria harus mengakui pencapaian Prancis dan menyerahkan wilayah tambahan kepada negara-negara bawahan Prancis.
Baca Juga: Perang Trafalgar: Kekalahan Armada Laut Napoleon oleh Tentara Inggris
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR