Sudah sejak lama, gula aren dan madu menyokong kehidupan Masyarakat Desa Air Kundur, Kecamatan Membalong, Kabupaten Belitung. Dua komoditi manis tersebut tak hanya dikonsumsi oleh masyarakat lokal tak jarang juga madu dan gula aren menjadi buah tangan para pelancong.
Pagi-pagi sekali para pembuat gula telah pergi ke kebun untuk mengambil nira di pucuk pohon aren atau pohon enau. Dalam satu hari biasanya para pembuat gula bisa mengambil air nira hingga 2 kali, pada pagi dan sore hari. Umumnya para pembuat gula di kampung ini memiliki beberapa pohon aren dikebun milik keluarga. Pohon bernama latin Arenga Pinnata ini menyediakan bahan baku produksi mereka.
“Jam 7 lah berangkat pagi nanti dapat jam 4 lebih baru berangkat lagi,” cerita Herman (42) mengenai kegiatannya mengambil air nira.
Produksi pembuatan gula biasanya dimulai pada siang hari setelah kembali dari kebun dan beristirahat. Air nira yang diambil pada sore hari sebelumnya akan di campur dengan air nira yang baru diambil di pagi hari dan diolah di dapur sederhana tak jauh dari kebun.
Didalam kuali besar, air tersebut dimasak diatas tungku selama setidaknya 3 jam tergantung dengan volume yang dimasak. Air ini akan dimasak hingga menguap dan mengental. Untuk mempercepat proses pengentalan, beberapa bahan lain sering kali ditambahkan kedalam adonan antara lain bubuk kemiri, bubuk kelapa maupun minyak kelapa. Dari cerita Herman, bahan-bahan pengental adonan gula didapatkannya dari kebun sendiri, menegaskan tak ada bahan kimia buatan yang ia gunakan kedalam gula buatannya.
Berbeda dari proses masak yang mekanan waktu berjam-jam, proses cetak dan pengeringan harus dilakukan secepat mungkin. Adonan gula dengan kekentalan yang telah dirasa pas akan dituang ke cetakan bambu yang telah disusun rapi, perlu kecekatan untuk menuangkannya supaya tidak tumpah dan gula tak mengering sebelum dicerak. Tak perlu menunggu lama, sekitar 15 menit kepingan-kepingan gula aren telah mengeras dan siap untuk kemas. Ada dua jenis kemasan yang disiapkan yaitu plastik untuk penjualan sehari-hari dan daun palah untuk membungkus gula sebagai buah tangan agar terlihat apik.
“Daun palah sudah sulit dicari, saya biasanya 10 keping ini dimasukan plastik saja,” cerita Herman ditemani Zaharudin dan Sadi, dua pengolah gula lainnya.
Menurut Herman, tak ada pengolahan gula aren yang dikelola komunal karena umumnya pengolahan gula aren ini dimiliki oleh masing-masing keluarga tentu untuk menghidupi masing-masing dapur rumah tangga. Pembagian tugas mengolah gula pun jarang terjadi. Herman yang telah memanjat pohon aren sejak usia belasan tahun ini mengerjakan hampir seluruh proses pembuatan gula aren seorang diri, hanya pembungkusan dan penjualan lah yang biasanya melibatkan orang lain.
Tak banyak yang bisa diproduksi dalam satu hari. Herman memperkirakan dalam satu hari ia hanya mampu menghasilkan sekitar 50 keping gula aren yang kemudian ia bungkus per 10 keping. Gula aren tersebut kemudian dijual dengan harga 20 ribu per bungkus kepada pengepul yang akan membawanya ke pasar, namun tak menutup kemungkinan juga ada warga dan pelancong yang membeli langsung dari tangannya.
Tak hanya gula, madu pun menjadi komoditi andalan di desa yang dahulu disebut dengan Aik Kundur. Sama seperti gula aren, pengolahan madu di kawasan ini pun telah berlangsung sejak lama. Perbedaan dua material manis ini adalah saat produksi gula aren bisa berlangsung setiap hari, pengolahan madu sangat bergantung musim dan cuaca. Kepemilikan lahan pun sedikit berbeda, jika para pembuat Gula Aren memiliki kebun tempat ditanamnya pohon Aren/Enau, para petani madu mengandalkan hutan yang bisa diakses oleh siapapun. Panen bagi petani madu diartikan jika mereka bisa membawa banyak sarang untuk diambil madunya dan diolah sarangnya.
“Tergantung bunga kalau bunga banyak bisa makan banyak dia, banyak juga sarang,” Ungkap Isma (53), petani madi dari Desa Air Kundur.
Saat musim kemarau tiba, para petani madu di desa Air Kundur membuat rangka kayu yang ditempatkan di beberapa pohon di dalam hutan. Rangka ini akan membantu lebah membuat sarang. Tak ada yang menjamin semua rangka akan terisi dengan sarang lebah, para petani madu ini percaya akan keberuntungan.
“Kadang masuk dia, kadang masuk aku. Bisa juga masuk semua punya kami. Tak seharusnya juga kita mencari. Sebelum dia bersarang kita siapkan dulu,” jelas Isnan (47) yang menjadi petani madu sambil menunjuk rekan sejawatnya yang juga hadir saat perbincangan kami.
Di kesempatan yang sama, Isma yang juga merupakan kakak kandung dari Isnan bercerita bahwa sarang lebah tak hanya mereka dapatkan dari rangka-rangka kayu yang mereka buat, jika beruntung mereka pun bisa mendapat sarang alami yang menggantung di dahan-dahan. Dari kualitas tak banyak perbedaan dari dua jenis sarang ini, hanya ketinggian letaknya yang sedikit berbeda. Untuk sarang buatan biasanya para petani madu akan meletakan rangka pada ketinggian 1 hingga 2 meter sedangkan sarang alami bisa didapatkan di berbagai ketinggian.
Menurut kakak-beradik Isma dan Isnan, masa yang paling menguntungkan bagi petani madu adalah pada bulan Juni hingga Desember atau saat musim kemarau dimasa bunga-bunga mekar, mereka menyebutnya musim kering. Sebaliknya musim hujan atau musim basah bukanlah waktu yang tepat untuk mengambil sarang. Jika tak
“Kalau musim hujan, madu jadi banyak airnya,” cerita Isma mengenai alasan mereka tak banyak mengambil sarang lebah saat musim hujan.
Terdapat dua jenis madu yang dihasilkan para pengolah madu di Desa Air Kundur, yaitu madu pahit dan madu manis. Dia jenis ini memiliki karakteristik dan harga jual yang berbeda pula, uniknya madu pahit lah yang memiliki harga jual lebih tinggi.
“Biar kata madu pahit tetap manis rasanya,” ungkap Isnan berkelakar.
Madu pahit merupakan sebutan bagi madu yang diambil dari sari bunga Pelawan, bunga ini hanya mekar saat musim kemarau sekitar bulan Juni hingga Agustus. Khasiat madu jenis ini pun dipercaya lebih banyak dibandingkan madu manis biasa bahkan dikenal juga sebagai madu obat. Dari anti oksidan hingga masalah keperkasaan sering dikaitkan sebagai khasiat dari madu pahit ini. Tak heran harga jualnya bisa lebih dari 100 ribu rupiah perbotol berbeda dari madu manis biasa yang hanya 70-80 ribu perbotol.
Setiap kali panen, para petani madu dari selatan belitung ini bisa mendapat puluhan sarang, setiap sarang bisa menghasilkan lebih dari 20 botol madu namun manisnya hasil madu tersebut tak bisa mereka nikmati setiap saat. Maklum, hasil optomal tersebut hanya bisa bertahan selama 6 bulan dan dikala musim penghujan tiba, mereka harus pintar-pintar memilih sarang supaya kualitas madu tak turun lantaran terlalu banyak mengandung air.
Madu yang diambil dari hutan yang ada disekitar Desa Air Kundur ini diolah dengan cara diperas secara manual menggunakan tangan dan saringan seadanya supaya kotoran dan sisa sarang tak ikut kedalam kumpulan cairan kental tersebut. Tak ada campuran apapun dalam madu yang dipasarkan oleh Isnan dan petani madu lainnya dari desa ini.
Tak hanya madu yang memilili nilai jual, sisa sarang yang telah diperas pun bisa menghasilkan tambahan rupiah. Sarang yang mengandung lilin tersebut kemudian dilelehkan dan dicetak kemudian dijual ke pengepul untuk selanjutnya diolah sebagai bahan pembuat lilin, malam untuk membatik dan campuran berbagai jenis barang lainnya.
Keberadaan produksi gula aren dan madu dari Membalong ini merupakan sedikit dari kekayaan alam Belitung yang bisa dikembangkan selain tambang yang mulai ditinggalkan. Buah tangan dari selatan Belitung ini akan menjadi cerita manis semanis rasanya jika dikemas dan mampu menjamah pasar yang lebih luas dan pariwisata layak menjadi salah satu jalannya.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR