Condet ibarat magnet. Daerah yang dahulu dikenal sebagai penghasil salak ini punya daya tarik luar biasa untuk dicermati dari beragam sisi. Jika menyebut Condet, maka ingatan kita akan mengarah kuat pada Betawi. Dari sisi wilayah, kawasan Condet meliputi tiga kelurahan, Batuampar, Kampung Tengah dan Bale Kambang (Jakarta Timur).
Dalam bukunya yang berjudul Asal Usul Nama Tempat di Jakarta, Rachmat Ruchiat menuliskan, kata Condet sendiri bila ditelisik lebih jauh berasal dari nama sungai Ci Ondet yang merupakan anak Sungai Ciliwung.
Sedangkan Ondet atau ondeh adalah nama tumbuhan sejenis buni yang banyak tumbuh di pinggir sungai. Istilah ondeh (Antidesma diandrum Sprg.) juga tercantum dalam buku tentang tanaman Hindia Belanda karya botanis asal Negeri Kincir Angin, G.J. Filet, terbitan tahun 1888.
Baca juga: Mengapa Sebuah Kota Bisa Kehabisan Pasokan Air?
Menyadari betapa pentingnya Condet dan erat kaitannya dengan asal usul orang Betawi, maka Betawi Kita, sebuah wadah diskusi yang mengulas soal Betawi, menggelar diskusi bertajuk Orang Betawi dan Condet. Acara yang berlangsung di Kafe Rumah Langit, Kampung Tengah, Condet, Jakarta Timur ini menghadirkan Hendy (tokoh Condet) dan Hasan Djafar, arkeolog Tim Ahli Cagar Budaya Nasional sebagai pembicara. Selain itu, dalam diskusi yang dipandu oleh Roni Adi Tenabang, selaku penanggung jawab Betawi Kita, hadir pula sejarawan JJ Rizal.
Dalam pemaparannya Hasan Djafar, yang juga ahli epigrafi, mengatakan bahwa daerah Jakarta dan sekitarnya sudah lama diketahui memiliki banyak situs arkeologi prasejarah. Kehidupan awal zaman prasejarah diawali dengan masa bercocok tanam pada ribuan tahun silam.
Salah satu situs yang diteliti adalah Condet-Balekambang, Cililitan, Jakarta Timur. Situs ini merupakan tempat hunian yang ditempati masyarakat prasejarah. Ini artinya, pada zaman prasejarah sudah ada orang yang bertempat tinggal di Condet.
Pada 1976 dan 1997, tim dari Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta melakukan survei di daerah Condet dan membuahkan penemuan gerabah-gerabah kuno. Penggalian berikutnya pada tahun 1979, tim menemukan pecahan gerabah polos dan berhias, pecahan beliung persegi, pecahan cetakan, batu fosil, terakota dan sebuah alat besi berbentuk parang. Penggalian kembali dilakukan pada tahun 1980, dan menghasilkan penemuan berupa mata panah. Penemuan ini mengindikasikan bahwa kegiatan perburuan pernah berlangsung di tepi Sungai Ciliwung.
Selain penemuan arkeologi, perbincangan tentang Condet tak bisa lepas dari kisah pemberontakan Entong Gendut, sang jawara setempat. G.J. Nawi mengisahkan dalam bukunya yang berjudul Maen Pukulan Pencak Silat Khas Betawi, bahwa pada tahun 1912, Belanda menerapkan peraturan yang memberi kewenangan kepada penguasa untuk menyita atau membakar harta milik petani yang tak dapat membayar pajak. Perlawanan yang dilakukan oleh petani Condet dimobilisasi oleh para jagoan Maen Pukulan (pencak silat khas Betawi) asal Condet dan sekitarnya. Para jawara tersebut di antaranya Entong Gendut, Modin, Maliki dan Amat Awab serta H. Apin.
Aksi pemberontakan yang dilakukan Entong Gendut bersama rekan-rekannya berlangsung pada tanggal 5 April 1916 di landhuis (rumah peristirahatan) Gedong Villa Nova milk Lady Rollinson Van Der Passe di perkebunan Cililitan.
Menurut penuturan G.J. Nawi, aksi Entong Gendut termasuk perusakan kendaraan milik tuan tanah Tandjong Oost D.C. Bersama 200 pengikutnya, Entong Gendut berhasil menawan Wedana Meester Cornelis. Pada 10 April 1916, Entong Gendut tertembak ketika menyebrang Sungai Condet di Batuampar, sesaat menjelang subuh. Dia wafat dalam perjalanan ke rumah sakit.
Bicara tentang Condet, tak lengkap bila kita tak mengulas tentang Cagar Budaya Betawi. JJ Rizal dalam diskusi itu mengatakan peranan dari mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin yang peduli dengan Condet.
Ali Sadikin terdorong untuk kembali melestarikan wilayah Condet dengan mengukuhkannya sebagai Cagar Budaya Betawi melalui SK Gubernur. Pilihan Condet sebagai cagar budaya lantaran ketika itu 90 persen warga Condet adalah suku Betawi, alamnya masih utuh dengan banyak kebun buah-buahan, kaya akan seni budaya dan kuat di bidang spiritual Islam.
Dalam sambutannya di buku Condet Cagar Budaya Betawi karya Ran Ramelan, Ali Sadikin mengatakan, “Untuk mengejar persyaratan sebagai kota metropolitan pembangunan tidak perlu melenyapkan nilai-nilai lama yang telah ada. Planologi mesti memperkatikan nilai sosio-kultural, kalau tidak, maka hasil pembangunan yang kita capai tidaklah berakar pada bumi di mana kita berpijak.”
Selama masa kepemimpinan Ali Sadikin, kawasan Condet termasuk daerah maju. Pemerintah menyediakan anggaran untuk melestarikan budaya Betawi di Condet. Sayangnya, hal tersebut tak berlangsung lama. Seiring pergantian gubernur dan perubahan-perubahan kebijakan, Condet kian terlupakan.
Baca juga: Benarkah Bahasa Muncul 1,5 Juta Tahun Lebih Awal dari Perkiraan?
Saat ini, kawasan Condet hampir tak ada bedanya dengan pemukiman-pemukiman lain di Jakarta. Padat dan semerawut. Pembangunan di kawasan Condet sulit dikendalikan. Kebun dan kawasan hijau, sirna dan digantikan oleh rumah-rumah modern, kios, bengkel,warung, restoran, toko dan minimarket. Selain itu, banyaknya masyarakat pendatang membuat penduduk asli terdesak sehingga proporsi masyarakat Betawi di kawasan ini juga semakin berkurang. Kini, status Cagar Budaya Betawi yang pernah disematkan pada Condet, hanya tinggal kenangan.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR