Pulau makassar terletak di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara. Disebut Pulau Makassar karena pada abad ke-16, pulau ini didiami oleh prajurit Kerajaan Gowa Sultan Hasanuddin yang ditawan oleh Kesultanan Buton.
Usai perang, sebagian para prajurit Kerajaan Gowa kembali ke Makassar, namun sebagian memilih untuk tetap tinggal di pulau dan menikah dengan penduduk setempat lalu mendiami pulau tersebut.
Saat akan memulai mencari mata pencaharian sebagai nelayan, pada abad 16 masyarakat Pulau Makassar membuat ritual Tuturangiana Andala yang masih dipertahankan hingga saat ini.
(Baca juga: Benteng Makasar, Kenangan Pecinan Tangerang)
Ritual Tuturangiana Andala merupakan tradisi syukuran laut yang bertujuan untuk memohon kepada Yang Maha Kuasa agar dibukakan pintu rezeki di laut. Selain itu, ritual ini bertujuan untuk menolak bala ketika masyarakat Pulau Makassar beraktivitas di laut.
“Ini dilakukan dengan memberikan sesaji di empat penjuru mata angin di Pulau Makassar. Tradisi ini berlangsung sejak abad ke 18 hingga saat ini masih dipertahankan,” kata Ketua Adat Pulau Makassar, Armudin, Senin (16/10/2017).
Tradisi ini diawali dari puluhan laki-laki membawa empat sesajen rakit kecil yang terbuat dari bambu. Di atas rakit tersebut terdapat bendera warna merah.
Keempat rakit tersebut kemudian disimpan di depan imam dan kemudian di atasnya disimpan beraneka macam kue khas Buton, beberapa lembar daun sirih, beberapa batang rokok dan kelapa muda.
Tak lama kemudian, seekor kambing jantan disembelih, kemudian darahnya diambil dengan gelas yang terbuat dari bambu. Darah kambing tersebut kemudian diletakkan di samping rakit sesaji tersebut.
“Maknanya ketika pintu rezeki di laut dibalas dengan sebuah persembahan dari darat dengan wujud seekor kambing jantan, darahnya diambil dan disebarkan di empat titik (di laut),” ujarnya.
(Baca juga: Ketangguhan Para Pelaut Masa Silam)
Keempat rakit sesaji tersebut kemudian dibacakan doa oleh Ketua Adat dan kemudian dibawa dan dinaikkan di atas empat perahu kecil.
Masing-masing perahu membawa keempat rakit sesaji dan langsung disebar menuju ke empat penjuru mata angin lautan yang dianggap keramat oleh masyarakat Pulau Makassar.
“Tuturangiana andala artinya memberikan makan kepada penguasa laut. Ini sudah berlangsung sejak abad ke 16,” ucap Armudin.
Sementara itu, Wali Kota Baubau, AS Thamrin, yang menghadiri ritual tersebut berharap agar tradisi ritual Tuturangaiana Andala terus dilestarikan.
“Kita membangkitkan nilai-nilai luhur mulai dari nilai-nilai kehidupan sampai pada nilai-nilai budaya. Ini merupakan identitas daerah kita. Orang akan mengenal daerah kita dengan ciri-cirinya dalam bentuk budaya peninggalan leluhur,” tutur Thamrin.
(Baca juga: Berkunjung ke Rumah Budaya Desa Sambong)
Artikel ini sudah pernah tayang di Kompas.com dengan judul Tuturangiana Andala, Tradisi Sedekah Laut Masyarakat Pulau Makasar
Penulis | : | |
Editor | : | dian prawitasari |
KOMENTAR