Setelah beberapa dasawarsa, 89% anak-anak Indonesia bersekolah. Tapi dari angka tersebut, hanya sedikit yang benar-benar belajar. Dari hasil Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) pada 2016, hanya 1% siswa Indonesia yang memiliki kemampuan baik dalam bidang sains. Ranking Indonesia pada PISA juga masih bertahan di tingkat 10 terbawah.
Maka, sejalan dengan tren global baru-baru ini dalam bidang pendidikan, Indonesia harus meningkatkan pembelajaran sebagai tujuan pendidikan, selain meningkatkan angka partisipasi sekolah. Bagaimana caranya?
Penelitian di Amerika Latin dan Karibia menunjukkan bahwa guru adalah kunci untuk memperbaiki pembelajaran. Pengetahuan, tindakan, dan perhatian guru menyumbang 30% kesuksesan pembelajaran siswa. Terkait guru, wawancara kami dengan pembuat kebijakan pendidikan di tingkat nasional menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia telah mengalokasikan 52% dari anggaran pendidikan 2017 untuk para guru.
Meski demikian, besarnya porsi anggaran untuk guru belum diikuti oleh perbaikan kinerja mereka. Demikian pula mutu pembelajaran siswa. Apa yang salah?
Kami telah melakukan studi diagnosis, yang merupakan bagian awal dari Research on Improving Systems of Education (RISE). Kami menganalisis sejumlah dokumen kebijakan pendidikan dan mewawancarai pemangku kepentingan bidang pendidikan, seperti pembuat kebijakan, pakar, dan guru. Kami mendapati bahwa “panggilan jiwa” adalah karakteristik yang diyakini harus dimiliki para guru di Indonesia. Kualitas ini secara umum dianggap dapat membantu memperbaiki kualitas pengajaran dan meningkatkan pembelajaran.
(Baca juga: Para Guru Mengatakan Bahwa Teknologi Adalah Investasi Terpenting untuk Sekolah)
Kami mempelajari konsep “panggilan jiwa” untuk menggali apakah benar ada hubungan antara panggilan jiwa dengan mutu pengajaran, dan apakah pemerintah Indonesia memiliki panduan yang jelas dalam mengukur panggilan jiwa.
Suatu penelitian tentang mutu guru mengungkapkan bahwa “passion” (panggilan jiwa) merupakan pembeda antara guru yang sangat bagus atau guru ahli dengan yang medioker atau biasa-biasa saja. Guru ahli akan memberi perhatian lebih terhadap cara siswa mendapatkan pengetahuan dan cara mereka berinteraksi dengan para siswa. Perasaan dan emosi para guru ahli terkait erat dengan rasa tanggung jawab untuk mencapai keberhasilan dalam tugasnya. “Panggilan jiwa” ini diwujudkan dalam kecintaan mereka pada pengetahuan (yang lalu diajarkan kepada murid) atau pada keinginan untuk menggali potensi murid.
Dalam tataran konsep, makna panggilan jiwa dalam konteks Indonesia sama dengan konsep yang diajukan para cendekiawan bidang pendidikan. Menurut narasumber kami (pembuat kebijakan, pakar, dan kepala sekolah) panggilan jiwa adalah dorongan dari dalam diri guru untuk terus mengembangkan kemampuan dan metode pengajaran. Perbaikan kemampuan mengajar yang terus menerus, menurut Patrick, Hisley, dan Kempler, bukan hanya bermanfaat bagi guru tapi juga bagi murid.
Namun, jika tidak dikelola dengan baik, panggilan jiwa dapat berdampak negatif pada guru, seperti kejenuhan. Selain itu, meski beberapa studi telah berupaya mencari kaitan antara panggilan jiwa guru dan pembelajaran murid, penelitian empiris tentang panggilan jiwa guru masih sedikit dan para cendekiawan sendiri belum bersepakat mengenai “teori panggilan jiwa”.
Jika panggilan jiwa adalah kunci bagi pengajaran yang bermutu, tapi tidak ada teori yang mapan tentang panggilan jiwa, maka bagaimana kita bisa mengidentifikasi dan mengukur panggilan jiwa pada guru?
Sebagian orang melihat “passion” tercermin pada antusiasme guru dalam mengajar. Pandangan lain mengartikannya sebagai komitmen pada profesi dan dedikasi untuk pembelajaran murid. Di Indonesia, “passion” didefinisikan sebagai panggilan jiwa sebagaimana tercantum Undang-Undang Guru dan Dosen.
Sejalan dengan meningkatnya ketertarikan pencari kerja pada profesi guru, bagaimana pemerintah Indonesia memastikan bahwa guru-guru baru memiliki panggilan jiwa seperti disyaratkan dalam Undang-Undang Guru?
Sayangnya, kami menemukan bahwa pemerintah belum memiliki panduan yang jelas tentang bagaimana panggilan jiwa diidentifikasi atau diukur selama pendidikan keguruan, proses rekrutmen, atau dalam kegiatan pengembangan profesi guru di Indonesia.
Studi-studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa ketertarikan pada profesi guru meningkat sejak gaji guru—paling tidak yang berstatus pegawai negeri—naik. Dengan demikian, motivasi calon mahasiswa Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) mungkin saja tidak murni karena keinginan untuk menjadi guru, atau karena adanya panggilan jiwa, tapi karena gaji guru yang relatif menggiurkan.
Para narasumber kami menyebutkan bahwa ketiadaan panggilan jiwa pada guru, mungkin akan merugikan pembelajaran siswa. Guru semacam itu akan sekadar mengikuti arahan sekolah atau pemerintah tanpa peduli dengan kebutuhan siswa yang sebenarnya.
Maka, penting bagi LPTK dan lembaga terkait lainnya untuk membangun sebuah sistem yang mampu mengidentifikasi para calon guru yang memiliki panggilan jiwa dari deretan pendaftar. Kemudian, panggilan jiwa tersebut terus dipupuk sejalan dengan karier mereka.
(Baca juga: Potret Pendidikan di Teulaga Tujuh)
Mengutip seorang cendekiawan pendidikan, John Hattie, pemerintah harus “berfokus untuk … mengidentifikasi, menghargai, dan mendorong guru-guru yang luar biasa, di mana pun mereka berada”. Meningkatkan ketertarikan pada profesi guru serta memastikan calon guru sungguh-sungguh memiliki panggilan jiwa sama pentingnya dengan memupuk dan memelihara panggilan jiwa pada guru. Maka upaya-upaya tersebut harus koheren dan berkesinambungan.
Yang menarik, salah satu narasumber kami, seorang kepala sekolah, beranggapan bahwa sistem pendidikan keguruan yang lama, Sekolah Pendidikan Guru (SPG), mencetak guru-guru yang lebih baik dibanding sistem yang sekarang berjalan. Menurut dia, dibandingkan sistem pendidikan guru saat ini, yang mensyaratkan perkuliahan selama empat tahun, SPG memberikan lebih banyak pengalaman mengajar di kelas. Selama periode tersebut, antusiasme para calon guru dipupuk oleh para mentor.
Banyak sumber yang mendukung gagasan bahwa panggilan jiwa penting dalam memperbaiki mutu guru. Tapi, penting untuk dicatat bahwa kami tidak menganggap panggilan jiwa sebagai obat bagi segala permasalahan dalam memperbaiki mutu guru. Guru yang memiliki panggilan jiwa tetap membutuhkan sistem yang mendukung, seperti insentif yang layak, persiapan yang cukup dalam menghadapi tuntutan profesi yang tinggi, akses pada jaringan guru dan pengembangan profesi, dan juga rekan sejawat dan para mentor yang juga memiliki panggilan jiwa.
Tersedianya sistem pendukung tidak hanya akan menarik calon-calon guru terbaik yang memiliki panggilan jiwa, tapi juga akan meningkatkan kualitas para guru. Pada akhirnya, sistem pendukung ini tak hanya bermanfaat bagi para guru, tapi juga bagi kemajuan pembelajaran para siswa.
Heni Kurniasih, Research Associate, SMERU Research Institute and Mirza Annisa Izati, Junior Researcher, SMERU Research Institute
This article was originally published on The Conversation. Read the original article.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | dian prawitasari |
KOMENTAR