Awalnya para ilmuwan tidak menyangka SARS-CoV-2 bisa bermutasi dalam membentuk varian. Sebelumnya, diperkirakan virus corona hanya bisa bermutasi pada tingkat yang lebih rendah dari virus RNA lainnya, seperti influenza dan HIV. Virus ini memiliki protein yang bisa bisa mengoreksi kesalahan di dalam strukturnya ke dalam materi genetik untuk bereplikasi.
Baca Juga: WHO Tambahkan Dua Obat Baru Sebagai Saran Perawatan Pasien COVID-19
Baca Juga: Indra Penciuman Hilang Saat COVID-19, Tanda Ada Penyusutan Materi Otak
Baca Juga: Bukti Pertama Omicron Menyebar ke Hewan Liar Baru Saja Ditemukan
Amin Soebandrio dari Lembaga Molekuler Eijkman sebelumnya juga menjelaskan, bahwa kemampuan protein ini ibarat sebagai editor penulisan. Sebelum disebarkan sebagai tulisan yang layak dibaca publik, agar mencegah typo, 'editor' akan mengoreksi agar tidak terjadi kesalahan.
"Itulah mengapa kami mengira [SARS-CoV-2] tidak akan berkembang pesat, kata Ravindra Gupta, ahli mikrobiologi klinis di University of Cambridge di National Geographic.
Fakta di lapangannya justru berbandingan terbalik ketika varian alfa pertama kali diidentifikasi pada November 2020 yang membuat Gupta dan ilmuwan lainnya tercengang. Varian ini memiliki 23 mutasi yang membuatnya berbeda dari strain SARS-CoV-2 yang asli. Rupanya ada kesalahan yang lolos 'koreksi' dalam strukturnya ketika hendak bereplikasi.
Dengan set mutasi ini, varian alfa 50 persen lebih mudah menular dari virus aslinya. Lalu berkembanglah varian lain dan lebih cepat menular seperti beta, delta, dan omicron, yang dijadikan varian yang harus diperhatikan (VOC) oleh WHO.
"Begitu mudahnya kemampuan [SARS-CoV-2] untuk menghasilkan solusi dan cara baru untuk berdapatasi dan menyebar—sangat mengejutkan," lanjut Andino.
Source | : | National Geographic Indonesia,National Geographic |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR