Nationalgeographic.co.id - Jika Anda pernah berkunjung ke Perpustakaan Nasional atau Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di Jakarta, kalian akan melihat berbagai buku, naskah, dan catatan dari masa lalu yang usianya telah berabad-abad.
Arsip-arsip seperti itu berguna bagi sejarawan, filolog, dan arkeolog, untuk mengungkap kehidupan, terutama di Nusantara di masa lalu.
Sebagian koleksi itu juga telah didigitalisasi untuk kemudahan akses, termasuk beberapa negara yang pernah bersinggungan dengan Indonesia. Belanda misalnya, lewat koleksinya di KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde) dan Leiden University, sebagian telah didigitalisasi untuk kemudahan penelitian, tanpa harus repot-repot ke Eropa.
Namun, tak semua unsur sejarah dan kebudayaan Nusantara dituliskan lewat aksara. Kebudayaan kita kaya dengan peninggalan non-tulisan seperti suara yang kerap kali terlupakan sebagai arsip yang harus dikulik ahli.
Melalui webinar Forgotten collections: Exploring Southeast Asian Archives, The Library Committee KITLV/Leiden University bersama KITLV-Jakarta memperkenalkan arsip-arsip itu. Acara itu diadakan pada Kamis 31 Maret 2022, dengan menghadirkan para pegiat arsip, dan berbagai akademisi.
Arsip suara itu diperkenalkan oleh Barbara Titus dari projek Decolonizing Southeast Asian Sound Archives (DeCoSEAS). "Kita tahu kolonialisme itu tidak hanya tampak dan bisa dibaca, tapi juga bisa didengar. Tapi di saat bersamaan, kami berpendapat, suara dan mendengarkannya bisa menjadi metode dekolonisasi [arsip]," ujarnya.
"Tentu saja, karena praktik dekolonisasi secara sadar dapat memberikan wawasan tentang dinamika dan infrastruktur pemikiran kolonial baik di masa lalu maupun sekarang."
Benda-benda lain seperti pahatan, patung, dan artefak, adalah bentuk fisik yang perlahan-lahan arsipnya dikembalikan untuk mewujudkan dekolonisasi. Akan tetapi suara berbeda karena rapuhnya dokumen yang membuatnya terkadang bisa hilang.
Maka, arsip suara bisa ditemukan dalam bentuk rekaman yang telah banyak dilakukan pada saat alat rekam mulai sering digunakan, lanjut Barbara. Suara-suara itu ditangkap oleh banyak tokoh di masa lalu dengan teknologi untuk membuka keterbatasan cara biasa untuk mendokumentasi.
Arsip-arsip itu tersimpan hingga saat ini dalam fail, cakram, slinder lilin (untuk fonograf atau gramofon). Jika ingin tujuan mengenalkan arsip adalah untuk dekolonisasi, terang Barbara, barang-barang ini harus dikembalikan dengan "menghilangkannya dari konteksnya, mengasingkannya dari pencipta (perekam), dan mengemasnya pada wadah."
Barbara memperdengarkan salah satu fail rekaman yang tersisa dari masa Hindia Belanda yang diarsipkan dalam webinar itu. Rekaman itu adalah lagu Be'odong dan Barassi Hama yang dinyanyikan oleh Merien dan Raja di Riangkroko, Flores, yang direkam oleh etnomusikolog Jaap Kunst di tahun 1930.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR