Nationalgeographic.co.id - Ada sekitar 125 juta hektar kawasan lindung daratan dan perairan di Indonesia, berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2020. Salah satu di antaranya, Taman nasional Way Kambas pada Maret lalu berhasil membantu badak sumatra melahirkan bayi. Momentum ini menandakan jalan menuju keberhasilan konservasi badak sumatra yang terancam punah.
Ada banyak kabar lain tentang keberhasilan konservasi untuk memulihkan berbagai spesies dari seluruh dunia. Akan tetapi, apakah dengan sistem konservasi selama ini, berhasil memulihkan mereka yang terancam punah? Penelitian terbaru yang diterbitkan di jurnal Nature, Rabu (20/04/2022) mengungkapkan keberhasilan konservasi tergantung pada manajemen yang menjalankannya.
Penelitian itu diterbitkan dengan tujuan mengingatkan para pemimpin dunia. Mei mendatang, para pemimpin bertemu di Tiongkok dalam Konferensi Para Pihak (COP-15), membahas upaya konservasi global untuk dekade berikutnya.
Secara resmi pertemuan itu ingin melindungi secara cepat 30 persen keanekaragaman hayati pada 2030. Namun penelitian terbaru mengatakan, target cepat ini tidak akan menjamin bisa efektif. Banyak yang mengira, target itu bisa dipenuhi dengan membuat banyak kawasan lindung, sementara studi terbaru mengatakan cara itu kurang tepat.
Baca Juga: 170 Tahun Kebun Raya Cibodas: Usaha Konservasi hingga Wisata Alam
Baca Juga: Kerap Jelajahi Lautan Tanpa Batas, Jejak Satwa Purba Itu Ditemukan di Sudut Taka Bonerate
Baca Juga: Pusparagam Cycloop: Patroli Warga Menjaga Sang Ibu Kehidupan
Makalah terbaru itu berjudul "Protected areas have a mixed impact on waterbirds, but management helps". Para peneliti berfokus pada dampak 1.500 kawasan lindung di 68 negara terhadap jenis burung-air. Mereka mecnatat, ada sekitar 27.000 populasi burung air yang memiliki relevansi lebih luas terhadap penelitian tentang konservasi.
"Kami tahu bahwa kawasan lindung dapat mencegah hilangnya habitat, terutama dalam hal menghentikan deforestasi," kata penulis utama studi Hannah Wauchope, dari Centre for Ecology and Conservation, College of Life and Environmental Sciences, University of Exeter, Inggris.
"Namun, kami memiliki pemahaman yang jauh lebih sedikit tentang bagaimana kawasan lindung membantu satwa liar," lanjutnya di Science Daily. "Studi kami menunjukkan bahwa, sementara banyak kawasan lindung berfungsi dengan baik, banyak lainnya gagal memberikan efek positif."
Studi ini menyelidiki keberhasilan konservasi burung-air dengan metode "sebelum-sesudah-pengendalian intervensi" (BACI). Wauchope dan tim membandingkan tren populasi burung-air sebelum kawasan lindung ditetapkan dengan tren sesudahnya. Selain itu juga mereka membandingkan tren populasi burung-air serupa di dalam dan di luar kawasan lindung.
Mereka mengungkapkan, analisis ini rumit dan jarang digunakan oleh para ilmuwan. Mereka melakukan eksperimen yang "membutuhkan waktu yang lama," kata Julia Jones, salah satu peneliti dari College of Engineering and Environmental Science, Bangor University, Inggris, dikutip dari Science.
"Ilmu konservasi sangat lambat mengadopsi metode yang kuat untuk mengevaluasi dampak," Tom Brooks berpendapat. Dia adalah kepala ilmuwan di International Union for Conservation of Nature dan tidak terlibat dalam studi ini. "Makalah ini sangat penting dalam membantu memajukan ketelitian yang jauh lebih besar."
Para peneliti menetapkan, kunci keberhasilan terbaik pada konservasi adalah apakah sebuah situs dikelola untuk burung air saja atau tidak. Jika demikian, manajemen akan memperkuat kualitas sungai dan danau pada tingkat yang tepat untuk spesies yang dilindungi, menghilangkan tanaman sumber hama invasif seperti gulma, atau memasang pagar untuk mencegah predator invasif.
"Untuk memperlambat hilangnya keanekaragaman hayati, kita membutuhkan pemahaman yang lebih baik tentang pendekatan konservasi mana yang berhasil dan mana yang tidak," terang Jones. "Analisis ini memberikan indikasi yang sangat berguna tentang bagaimana konservasi dapat dilakukan. ditingkatkan untuk memberikan hasil yang lebih baik bagi spesies."
Apa bila manajemen aktif minim, hal itu bisa berdampak pada penurunan populasi, tulis para peneliti. Kerugian itu juga dapat diakibatkan oleh faktor di luar kendali, seperti meningkatnya polusi dari hulu atau pengambilan air yang berlebihan.
Mereka mendapati hanya 27 persen populasi burung-air di kawasan lindung meningkat dalam peranan sebuah cagar. 21 persen populasi justru dinilai terkena dampak negatif, dibandingkan dengan lokasi yang memiliki perlindungan. Akan tetapi dari penelitian yang dilakukan Wauchope dan tim, populasi tidak begitu tumbuh atau menyusut signifikan, cenderung stabil.
Wauchope menambahkan, para peneliti berharap hasil temuan ini dapat menjelaskan para pemangku kebijakan tentang kawasan lindung yang bermanfaat, terutama untuk burung.
Ekonom lingkungan di Johns Hopkins University Paul Ferraro menanggapi temuan ini. Hasil studi seperti ini perlu dilakukan lagi oleh peneliti lain agar beragam. "Jika kita ingin menjawab perdebatan yang tak berkesudahan ini tentang apa yang seharusnya menjadi target konservasi global kita, kita membutuhkan lebih banyak studi seperti ini. Lebih banyak lagi," tanggapnya di Science.
Source | : | Science Daily,Science |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR