Baca Juga: Peran Serta Anjing bagi Kehidupan Sosial dan Mitologi Orang Romawi
Baca Juga: Bagaimana Kehidupan di Irkalla, Tempat Alam Orang Mati Babilonia?
Baca Juga: Makara, Monster Laut Berbelalai dalam Mitologi Hindu dari Srilangka
Ia biasa menunggangi naga bersayap bernama Sirrush yang awalnya milik ayahnya, Marduk.
Sirrush disebut dalam prasasti paku Babilonia sebagai Musrussu. Musrussu diterjemahkan sebagai ‘Ular Glamor’ atau ‘Ular Kemegahan’. Dalam prasasti itu Sirrush diidentifikasi dengan mitologi ular-naga mushkhushshu. Identifikasi ini secara signifikan dimungkinkan berkat teks-teks dari prasasti Raja Nebukadnezar II.
Pendapat tentang keberadaan Sirrush
Adrienne Mayor seorang ahli sejarah berpendapat bahwa peradaban kuno sering kali sangat berhati-hati dalam menggali, mengangkut, dan merakit kembali fosil. Bisa jadi mereka menemukan fosil dan merekonstruksi sisa-sisa sauropoda Babilonia. Dari rekonstruksi itu, muncullah Sirrush, griffin, dan makhluk mitologi lainnya.
Namun, Willy Ley seorang penulis sains mengungkapkan bahwa, pada akhir 1950-an, tidak ada lapisan fosil yang diketahui di sekitar Mesopotamia. Yang lain telah mencatat kemiripan dengan biawak, berspekulasi bahwa Babilonia mungkin telah melihat atau menangkap biawak.
Teks-teks ini dikhususkan untuk pekerjaan konstruksi di Babilonia yang dilakukan oleh penguasa besar Babilonia kuno dan penakluk Yehuda. Seiring waktu, Sirrush dipindahkan ke Asyur dan dikaitkan dengan dewa negara bagian Ashur, setara dengan Enlil.
“Sirrush mungkin diciptakan dari binatang yang pernah didengar orang Babilonia tetapi tidak hidup di Mesopotamia,” menurut Ley. Mengapa ia bisa berpendapat demikian? Menurutnya, batu bata dari jenis yang sama dengan yang ada di Gerbang Ishtar telah ditemukan di sekitar Afrika. Ini berarti orang Babilonia mendengar atau melihat binatang itu di tempat lain di Afrika.
Jadi, apakah Sirrush benar-benar nyata atau hanya imajinasi yang didasarkan dari kadal prasejarah?
Source | : | Ancient Pages |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR