Nationalgeographic.co.id–Pada 1814, atas bantuan Tan Jin Sing, Thomas Stamford Raffles menemukan Candi Borobudur. Bangunan megah bercirikan tempat ibadah agama Buddha itu terkubur oleh lahar dingin akibat letusan dahsyat Gunung Merapi pada 950 M.
Ada sungai di sekitar Candi Borobudur. Sebenarnya aliran sungai itu dulunya adalah Kawasan bekas danau purba di sekitarnya. Jejak-jejak arkeologis bisa ditemukan dengan mudah di sana, sehingga ada cerita fenomena alam yang bisa diungkap.
Danau purba itu menurut Helmy Murwanto, pengajar di Fakultas Teknologi UPN “Veteran” Yogyakarta, kawasan itu menjadi daratan karena ada perubahan yang disebabkan faktor geologis. Perubahan itu terjadi dalam waktu yang sangat panjang.
Dia mengungkapkannya dalam disertasinya berjudul Penelusuran Jejak Lingkungan Danau Purba di Sekitar Candi Borobudur dengan Pendekatan Paleogeomorfologi pada 2015.
Edi Widodo dari Pendidikan Geografi Program Magister Universitas Negeri Yogyakarta, bersama tim menulis tentang fenomena alam itu. Apa yang terpendam di balik tanahnya menyajikan pengetahuan bahwa ada ancaman bencana alam di baliknya.
Makalahnya dipublikasikan di jurnal Majalah Geografi Indonesia bertajuk Potensi Bencana Alam di Kawasan Bekas Danau Purba Borobudur pada 2020.
Edi dan tim menjelaskan, di masa lalu, Raja Medang Mpu Sindok memindahkan pusat ibukotanya dari di Jawa Tengah ke Jawa Timur. Awalnya diperkirakan perpindahan itu dikarenakan persoalan politik dan ekspansi wilayah. Akibatnya, kawasan Candi Borobudur yang didirikan Dinasti Syailendra itu ditinggalkan.
Namun, hasil pengamatan para arkeolog di sekitar Candi Borobudur justru menduga, bahwa perpindahan ibukota itu karena potensi bencana yang bisa kapan saja terjadi. Bencana alam itu bisa berupa gempa bumi, letusan gunung berapi, tanah longsor, dan banjir.
Belum lagi, di kawasan bekas Danau Purba Borobudur juga punya potensi gerakan sesar. “Pergerakan sesar lokal dapat bergerak karena kawasan bekas Danau Purba Borobudur berjarak tidak jauh dari sesar-sesar yang lebih besar,” tulis mereka. Sesar itu tercatat berjarak 3,4 kilometer dari sesar Menoreh dan 35,94 kilometer dari sesar Opak.
Bencana alam lainnya juga muncul dari Gunung Merapi yang sangat aktif. Sudah lama diketahui bahwa potensi erupsinya bisa berdampak pada kawasan Borobudur. Erupsi biasanya menghasilkan awan panas, hujan abu, aliran lahar dan menghasilkan longsor di lerengnya.
“Aktivitas vulkanik dan tektonik yang terjadi bersamaan dapat memicu kejadian luar biasa,” ungkap Edi dan tim. “Kejadian luar biasa tersebut juga dapat terjadi di Gunungapi Merapi yang menyebabkan erupsi secara eskplosif dan longosran tubuh gunungapi seperti yang pernah terjadi di Yogyakarta dengan jauh 30-35 kilometer dari puncang tersebut terulang.”
Ancaman longsor dan banjir juga ditemukan di sisi selatan kawasan Candi Borobudur. Mereka menemukan bongkahan material hasil tanah longsor pegunungan Menoreh di Dusun Nglipoh (kurang lebih tiga kilometer dari Candi Borobudur).
Pada kawasan bekas Danau Purba Borobudur, tanah longsoran akan terus mengancam di bagian selatan candi, dan dampaknya akan menutup akses jalan dan properti masyarakat.
Baca Juga: Singkap Fakta Letusan Merapi, Alasan Mpu Sindok Memindahkan Mataram
Baca Juga: Napak Tilas Perjuangan Perang Dipanagara di Sekitar Borobudur
Baca Juga: Candi Agung di Tubir Danau, Di Balik Perdebatan Telaga Borobudur
Baca Juga: Bagaimana Cara Peziarah Kuno Menyaksikan Pahatan Kisah Borobudur?
Sedangkan banjir, akan lebih banyak dijumpai di area persawahan sekitar danau purba. Curah hujan yang tinggi dan infiltrasi buruk akan menyebabkan genangannya makin luas, dan mengancam gagal panen.
Walau ada banyak potensi yang mengancam di kawasan danau purba, pemerintah Kabupaten Magelang setidaknya sudah memiliki mitigasi. Mereka telah membangun 17 tempat evakuasi akhir jika terjadi bencana. Tetapi kapasitasnya hanya menampung 500 pengungsi.
“Kapasitas tempat evakuasi akhir yang sangat sedikit tentunya dapat menimbulkan masalah, oleh karena itu kerja sama dari berbagai pihak perlu dilakukan,” mereka menyarankan. Sedangkan Candi Borobudur sudah memiliki standar operasional berdasarkan manajemen bencana oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Konservasi Borobudur tahun 2015.
“Standar Operasional Prosedur (SOP) manajemen bencana yang berpotensi di kawasan Candi Borobudur dan sekitarnya perlu disertai kerja sama Pemerintah Daerah dan pelaku wisata Candi Borobudur, sehingga menghasilkan upaya mitigasi lebih optimal.”
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR