Nationalgeographic.co.id—Seruan dan teriakan, sorak sorai meramaikan siang terik di Dukuh Banaran, Desa Jungkare, Kecamatan Karanganom, Klaten, Jawa Tengah. Setiap menjelang hari kemerdekaan, keseruan ini selalu jadi tradisi.
Sekiranya, hampir di seluruh Desa Jungkare, bahkan di seluruh pelosok negeri lainnya selalu diramaikan dengan aneka perlombaan dan permainan di minggu-minggu jelang peringatan hari kemerdekaan.
Keseruan di Dukuh Banaran semakin menjadi mana kala para ibu-ibu turun tangan. Mereka meramaikan suasana. Jargon "Semangat 45" diteriakan berkali-kali, seperti bagian yang tak terpisahkan dari perlombaan-perlombaan.
Merebaknya pandemi, sempat memutus ajang-ajang tahunan sebagai perayaan dan kegembiraan rakyat Indonesia setiap 17 Agustus. Istilah "Semangat 45" perlahan dilupakan waktu.
Dari desa di mana penulis tinggal—Jungkare, Klaten, semangat itu berkobar lagi. Sebuah spirit yang dirindukan sejak bertahun lamanya yang diwujudkan dengan aksi-aksi sosial yang menarik.
Kamrani Buseri, seorang Profesor Pendidikan Islam dari UIN Antasari mengungkap tentang "Semangat 45" dalam sebuah diskusi kebangsaan. Papernya berjudul Pelestarian Jiwa, Semangat dan Nilai-Nilai Kejuangan 45 terbit secara digital pada 2016.
Menurut Kamrani, nilai-nilai kejuangan dan semangat 45 "terbukti kehandalannya bagi kelestarian kehidupan berbangsa dan bernegara, hingga saat ini." Dia juga mengungkapkan, "Oleh sebab itu bagi bangsa Indonesia harus bertekad baik secara individu, keluarga dan masyarakat untuk melestarikan jiwa, semangat dan nilai-nilai kejuangan 45," lanjutnya.
Hal itu dapat terwujud melalui pengahayatan, penerapan dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari dengan bertekad untuk menyebarluaskan atau mentransformasikan kepada generasi selanjutnya.
Perlombaan yang dimulai seminggu jelang peringatan hari kemerdekaan itu dimeriahkan oleh segelintir orang saja. Meskipun diikuti sedikit peserta, antusiasme tetap menjadi sajian yang membuat setiap lomba meriah dan seru.
Menurut Sri Nuryani, "Semangat 45" sudah jadi bagian dari spirit di setiap perlombaan. Dengan adanya perlombaan ini juga, relasi sosial terbangun. Mengusung keeratan paguyuban warga, perlombaan menjelang 17-an diselenggarakan kembali pasca pandemi.
Hadiahnya juga tak kalah menarik, mulai dari sabun cuci, makanan ringan hingga kopi saset menambah keseruan. Walaupun tidak mengejar hadiah, kehadiran hadiah membuat para ibu-ibu menjadi bersemangat.
Melalui semangat persatuan warga dari lingkup terkecil ini—rukun warga, salah satu syarat nasionalisme diwujudkan. Momentum suka cita ini juga membuktikan masih adanya "Semangat 45" dari pelosok negeri.
Source | : | Institutional Digital Repository UIN Antasari |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR