Nationalgeographic.co.id—Dalam sistem monarki, selepas kematian sang raja, tampuk kekuasaan selalu beralih kepada keturunannya. Tidak memandang kapan dan kepada siapa takhta itu diwariskan.
Hal itu juga terjadi kepada Fu Lin, yang diwarisi kekuasaan di saat usianya masih balita, 5 tahun. "Kaisar ketiga Dinasti Qing Tiongkok, Fu Lin yang berusia 5 tahun naik ke tampuk kekuasaan pada tahun 1643 setelah kematian ayahnya," tulis Evan Andrews.
Evan menulisnya kepada History dalam sebuah artikel berjudul "6 Child Monarchs Who Changed History", terbit pada 22 Agustus 2018.
Bagaimanapun, Fu Lin belum cukup umur untuk mengendalikan kekaisaran Qing yang agung. Berkat perwalian pamannya, Dorgon, sang kaisar cilik memimpin tampuk kekuasaannya.
Namun, kendali Qing di tangan pamannya, Dorgon tak berlangsung lama. 7 tahun berselang, saat Fu Lin menginjak usia 12 tahun, Dorgon meninggal dunia. Meskipun masih berusia sangat muda, ia mengambil alih kekuasaannya sendiri dengan sebutan kehormatan Shunzhi.
"Waspada terhadap perebutan kekuasaan dari musuh-musuh politiknya, ia segera memupuk aliansi berbahaya dengan kasim istana yang berpengaruh," terus Evan.
Kaisar Shunzhi muda melakukan berbagai upaya untuk memerangi korupsi dan mengonsolidasikan kekaisaran Qing di bawah pemerintahannya. Catatan sejarah Cina menyebut Shunzhi sebagai yang memiliki wibawa meski masih berusia sangat muda.
Kaisar Shunzhi saat ini dikenang sebagai pemimpin yang berpikiran terbuka. "Dia mencurahkan banyak waktu untuk mempelajari sains dan astronomi dan juga toleran terhadap berbagai agama," lanjutnya.
Sekitar tahun 1652, ia menjadi tuan rumah resepsi yang megah tetapi sangat kompleks untuk anak yang masih sangat muda, di Peking untuk gelaran Dalai Lama Kelima.
Baca Juga: Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Filosofi Taoisme asal Tiongkok?
Baca Juga: Makam Dinasti Han Penuh Giok Ditemukan di Jalur Sutra Tiongkok
Baca Juga: Gerakan Rahasia White Lotus dan Hancurnya Dinasti Mongol di Tiongkok
Dalam upaya memahami segala konsep rumitnya itu, Shunzhi juga secara teratur berkonsultasi dengan seorang misionaris Jesuit Austria bernama Johann Adam Schall von Bell.
Meskipun dia tidak pernah menjadi seorang Katolik, kaisar Shunzhi menganggap Schall sebagai salah satu penasihat terdekatnya dan bahkan menyebutnya sebagai "kakek".
Berbagai keahliannya sudah dia abdikan untuk memimpin Qing. Shunzhi lalu meninggal karena cacar pada tahun 1661 pada usia 22 tahun. Putranya, Kaisar Kangxi, akan memerintah selama lebih dari 60 tahun.
Sanggup Serap Ratusan Juta Ton CO2, Terobosan Ini Diklaim Cocok Diterapkan di Indonesia
Source | : | History |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR