Nationalgeographic.co.id—Setiap nama daerah di Jakarta memiliki asal-usul sejarahnya. Toponimi atau asal-usul penamanaan daerah-daerah di Jakarta, sangat terikat dengan kondisi lingkungan di daerah-daerah tersebut pada masa lampau.
Sebagai contoh, daerah Karet Tengsin. Apakah Anda tahu daerah Karet Tengsin? Ini adalah daerah di Jakarta Pusat yang kini juga jadi nama kelurahan di Kecamatan Tanah Abang.
Kelurahan Karet Tengsin memiliki luas 1,53 kilometer persegi. Ini setara 16,48% dari luas keseluruhan Kecamatan Tanah Abang. Batas wilayah Kelurahan Karet Tengsin adalah Kelurahan Bendungan Hilir di sebelah barat, Kecamatan Menteng di timur, Kelurahan Kebon Melati di utara, serta Kelurahan Bendungan Hilir dan Kelurahan Setiabudi di selatan.
Salah satu tempat terkenal di Kelurahan Karet Tengsin adalah TPU Karet Bivak. Di kompleks permakaman ini terdapat makam beberapa tokoh ternama Indonesia, antara lain Fatmawati istri Soekarno, penyair Chairil Anwar, pahlawan nasional Ismail Marzuki dan Mohammad Husni Thamrin, serta seniman kawakan Benyamin Sueb.
Kembali ke soal asal-usul penamaannya, apakah nama Karet Tengsin terkait dengan kata malu? Seperti yang banyak orang ketahui, tengsin adalah satu kata dalam bahasa gaul saat ini yang berarti malu.
Kata tengsin dalam Karet Tengsin ternyata adalah nama tokoh setempat. Dikutip dari buku Tenabang Tempo Doeloe karya Abdul Chaer, area luas di daerah Karet Tengsin dulunya dimiliki oleh konglomerat Tionghoa bernama Tang Teng Sien. Penduduk setempat memanggil konglomerat tersebut Tengsin.
Ketika Jalan Karet diperlebar, perlebar, rumah besar peninggalan Tang Teng Sien dibongkar. yang Sekarang Jalan Karet sudah berganti nama menjadi Jalan KH Mas Mansur. Jumlah rumah penduduk asli di Karet Tengsin juga semakin sedikit, tergantikan oleh gedung-gedung tinggi.
Buku Lexicografi Sejarah dan Manusia Betawi IV karya Ridwan Saidi juga menyebutkan hal yang sama. Menurut buku itu, seperti dikutip dari Kompas.com, wilayah Karet Tengsin dulunya adalah rimbunan perkebunan karet seluas 300 hektare. Namun, karena perkembangan zaman, pohon-pohon karet itu kini berganti wajah dengan gedung-gedung pencakar langit.
Menurut Husni MT, salah satu sesepuh Karet Tengsin, asal mula nama daerah tersebut berasal dari nama orang Tionghoa yang kaya raya dan baik hati bernama Tan Tieng Shin. Karena baik hati dan selalu memberi bantuan kepada orang-orang sekitar kampung, nama Tieng Shin cepat dikenal oleh masyarakat sekitar. Orang-orang pun kemudian menyebut daerah itu sebagai daerah Tieng Shin.
"Karena orang pribumi susah nyebutnya jadi Tengsin saja," ujar Husni seperti dikutip dari buku tersebut. "Memang pada waktu itu banyak pohon karet, Karet Tengsin dulunya adalah perkebunan karet milik etnis China Betawi bernama Tieng Shin," sambung Husni.
Kekayaan yang berlimpah dan sikap Tengsin yang dermawan membuat para pribumi banyak yang bekerja di perkebunan miliknya. "Warga di sini dulunya hidup sejahtera, kita biasanya makan dari hasil hutan yang cukup berlimpah. Banyak sayur-mayur yang tumbuh subur. Jadi tidak usah beli, tinggal ambil saja," tambah Husni.
Tieng Shin disebut mendiami wilayah tersebut sejak tahun 1890. Ia juga memiliki rumah yang dibongkar dan kini menjadi Menara Batavia. Perkebunan karet milik Tieng Shin akhirnya juga tergusur setelah dibangunnya Stadion Gelora Bung Karno hingga Jalan KH Mas Mansyur di Karet Tengsin.
Jika nama Karet Tengsin tidak terkait dengan rasa malu, apakah nama Pesing terkait dengan bau? Dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata pesing memiliki arti bau air kencing. Kata ini bisa dipakai, misalnya, untuk kalimat: Ia merasa malu karena celananya basa berbau pesing.
Baca Juga: Menguak Toponimi Cirebon dari Catatan Tome Pires sampai Walisongo
Baca Juga: Sisik Melik Makna di Balik Toponimi 'Jalan Malioboro' di Yogyakarta
Baca Juga: Catatan Kelam Batavia, Sepuluh Ribu Orang Tionghoa Dibantai Kompeni
Sebelum bahas asal-usul penamaannya apakah Anda tahu lokasi daerah Pesing itu di mana? Pesing adalah sebuah pasar tradisional yang terletak di Kedoya Utara, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Di sekitar pasar ini terdapat rumah-rumah penduduk yang umumnya dihuni oleh orang-orang Betawi.
Menurut cerita para sesepuh daerah tersebut, yang dikutip oleh buku 212 Asal-usul Djakarta Tempo Doeloe karya Zaenuddin HM, kawasan Pesing dahulunya adalah tempat berkumpul para pedagang yang datang dari berbagai pelosok Batavia. Untuk membawa barang dagangan seperti sayuran, buah-buahan, rempah-rempah dan bumbu dapur, mereka menggunakan pedati atau gerobak yang ditarik kuda.
Saat itu, kuda-kuda pengangkut sayuran sering kencing di jalanan sehingga menimblkan bau pesing yang sangat menyengat. Siapa pun yang melewati kawasan itu secara sepontan akan menutup hidung. Dan bermula dari situlah orang-orang menyebut tempat itu sebagai Pasar Pesing atau Pesing saja.
Sampai sekarang kawasan Pesing masih ada, Letaknya cukup strategis karena dekat Jl Raya Daan Mogot yang menuju Kalideres atau Kota Tangerang.
Ada pula yang menyebut tempat ini sebagai Pasar Pesing Koneng. Munculnya nama Koneng karena di pasar itu dahulunya terdapat pintu perlintasan kereta api. Saat ada kereta api yang melintas, penjaga pintu perlintasan selalu membunyikan lonceng yang bunyinya kloneng, kloneng, kloneng. Kata kloneng itu disingkat warga menjadi koneng dan akhirnya menjadi sebutan Pasar Pesing Koneng.
Simak kisah-kisah selidik sains dan gemuruh penjelajahan dari penjuru dunia yang hadir setiap bulan melalui majalah National Geographic Indonesia. Cara berlangganan via bit.ly/majalahnatgeo
Source | : | Lexicografi Sejarah dan Manusia Betawi IV,Tenabang Tempo Doeloe,212 Asal-usul Djakarta Tempo Doeloe |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR