Perbedaan ini sangat penting ketika mengatur upacara seperti kenaikan tahta kaisar, audiensi, perayaan ulang tahunnya, dan mengeluarkan keputusan pemerintah.
Pada setiap ritual, kaisar akan memimpin jalan ke tempat upacara akan berlangsung. Para pejabat dan bangsawan mengikuti melalui pintu dan jembatan. Mereka berbaris dalam urutan hierarki sosial yang ketat. Tidak ada orang yang diizinkan berdiri di sebelah utara kaisar.
Peserta akan berkumpul saat fajar di halaman luar Hall of Supreme Harmony. Kerabat kaisar berdiri di tangga menuju aula. Mereka ditempatkan sesuai kedekatan hubungan darah dengan kaisar. Perwira militer dan sipil membentuk barisan di pelataran luar, lagi-lagi sesuai dengan pangkatnya.
Semua menghadap ke utara ke arah kaisar yang dibawa ke tahta dengan prosesi. Sang kaisar mengenakan perhiasan kekaisaran yang dihiasi dengan sosok naga.
Setelah semuanya berada di tempatnya masing-masing, para hadirin berlutut dan memberi penghormatan kepada kaisar. Dengan aba-aba "kowtow", mereka menyentuhkan kepala ke tanah tiga kali dalam tiga urutan dari tiga sujud.
Kaisar menghadiri upacara terpenting secara langsung. Bahkan ketika dia berhalangan hadir, Tahta Naga masih dihormati dan diperlakukan sebagai wakilnya.
Demikian pula, ketika kaisar mengeluarkan dekrit, dokumen kekaisaran itu sendiri diperlakukan dengan sangat megah dan hormat.
Masing-masing upacara ini menekankan suatu cara memahami alam semesta dalam strata hierarkis yang terdefinisi dengan jelas. Kota Terlarang memperkuat kekuatan dan kontrol setiap dinasti.
Warna merah dan kuning mendominasi
Dalam tradisi Tionghoa, warna memainkan peran penting dalam menggambarkan kepercayaan dan emosi masyarakat.
Di Kota Terlarang, warna merah dan kuning menjadi tema utama seluruh kompleks istana. Warna merah digunakan pada jendela, pintu, dinding, dan pilar. Sedangkan atap didominasi warna kuning.
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR