Nationalgeographic.co.id—Hagia Sophia, salah satu simbol Istanbul, mulanya dibangun dari kayu oleh Kaisar Romawi Constantine pada tahun 360 M. Namun, sebagian bangunan itu terbakar selama pemberontakan yang terjadi pada tahun 404 M.
Kaisar Theodosius kemudian memulihkan bangunan tersebut pada tahun 415 M. Ketika bangunan tersebut terbakar sekali lagi selama Kerusuhan Nika pada tahun 532 M, Kaisar Justinian I membangunnya kembali dengan batu.
Setelah lima tahun pembangunan, Hagia Sophia sekali lagi dibuka kembali untuk beribadah pada tahun 537 M, menjadikan bangunan yang sekarang ini sebagai inkarnasi ketiga dari Hagia Sophia.
"Istilah 'Hagia Sophia' berarti 'Kebijaksanaan Suci', yang merupakan salah satu ciri Yesus Kristus," tulis Ekrem Buğra Ekinci kepada Daily Sabah dalam artikel berjudul A church, a mosque and finally A museum: The nearly 1,500-year-old story of the Hagia Sophia terbitan 23 Mei 2015.
Namun, di balik megahnya Hagia Sophia hari ini, Justinian I adalah Kiasar dari Bizantium yang berjasa besar dalam menguatkan fondasinya dan mendirikan Hagia Sophia dengan fondasi kuat dari batu.
Melalui banyak literatur yang mewarisi sebuah legenda, Hagia Sophia yang menawan dikatakan berdiri lewat sebuah tabir mimpi.
Justinian I mengabarkan kepada banyak orang di istana Bizantium dan terdengar hingga keluar istana, bahwa ada seseorang datang dalam mimpinya dengan membawa gambar Hagia Sophia yang menawan di atas piring perak.
Sang kaisar kemudian langsung mendekati arsitektur handal di zamannya, Isidore of Miletus, seorang Yunani yang mahir dalam bidang arsitektural. Menariknya, selesai menceritakan maksud dari tabir mimpinya, Isidore of Miletus mengiyakan.
Sang arsitek menguatkan tentang mimpi Justinian I, bahwa ia pun juga bermimpi hal yang sama, bahwa ia melihat Hagia Sophia yang menawan di atas piring perak yang kemudian di bangunnya dari sebuah fondasi batu di atas petak tanah yang sebelumnya pernah dibangun oleh Costantine.
Alhasil, baik Justinian I maupun Isidore of Miletus menyimpulkan bahwa mereka telah mendapatkan mimpi suci untuk misi suci pula, hingga akhirnya mereka berniat untuk membangun Hagia Sophia yang megah nun menawan.
"Tak sendirian, Isidore of Miletus menggandeng kerabat arsitek lainnya, Anthemius of Tralles, untuk membangun katedral suci itu," Simin Işık Uysal, seorang akademisi dan penulis, dalam blog pribadinya berjudul Hagia Sophia—Justinian's Dream pada tahun 2013.
Dimulailah pembangunan Hagia Sophia sebagai proyek yang megah di zamannya. Constantine yang sebelumnya pernah membangun katedral megah dari kayu, namun habis terbakar, sehingga di petak tanah itulah Hagia akan berdiri.
Pembangunan Hagia Sophia diperkirakan berlangsung selama lima tahun sepuluh bulan yang tampaknya mustahil pada masanya. Bangunannya dibuat secara mendetail dengan banyak ornamen yang menakjubkan.
Baca Juga: Mengapa Kekaisaran Ottoman Mengubah Hagia Sophia Menjadi Masjid?
Baca Juga: Goresan Sejarah Hagia Sophia, Satu Kubah yang Menaungi Tiga Agama
Baca Juga: Akankah Turki Mengonversi Museum Hagia Sophia Menjadi Masjid?
Baca Juga: Hagia Sophia, Wajah Harmoni Peradaban Umat Manusia dalam Budaya Turki
Sejak tahun penyelesaiannya pada 537 M hingga tahun 1453 M, bangunan tersebut berfungsi sebagai Katedral Ortodoks Timur dan juga sebagai tempat kedudukan Patriark Ekumenis Konstantinopolitan.
"Itu adalah Katedral terbesar di dunia yang bertahan selama ribuan tahun, sampai Katedral Seville di Sevilla (Spanyol) dibangun pada tahun 1520," terusnya.
Cerita Hagia Sophia lantas berubah ketika masuknya pengaruh Islam. Ketika ekspansi Kekaisaran Ottoman yang dipimpin oleh Fetih I atau Muhammad Al Fatih, Benteng Konstantinopel milik Bizantium yang kokoh, akhirnya berhasil ditaklukan.
Masuknya Ottoman ke Konstantinopel mengubah nama kotanya menjadi Istanbul. Begitu juga dengan Hagia Sophia yang kemudian berubah masa depannya dari sebuah katedral ortodoks menjadi sebuah masjid yang menawan.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Source | : | Daily Sabah |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR