Nationalgeographic.co.id - Secara tradisional, wanita di Kekaisaran Mongol bertanggung jawab untuk mengatur urusan rumah tangga. Sementara kaum pria pergi menggembala, berburu, atau berperang. Namun seiring dengan berjalannya waktu, peran wanita pun mengalami perubahan. Misalnya Toregene, salah satu wanita penting yang memimpin Kekaisaran Mongol.
Saat kampanye perang makin meluas selama abad ke-13, wanita Mongol turut memperluas kendali mereka. Mereka mengambil jabatan publik sebagai penguasa. Ini berlangsung antara pemerintahan Genghis Khan, yang berakhir pada 1227, dan cucunya Kubilai, yang dimulai pada 1260.
Putra Genghis Khan, Ogodei, menjadi Khan Agung pada tahun 1229. Namun, dia banyak menghabiskan waktunya dalam pesta mabuk-mabukan. “Alhasil, kekuasaan berangsur-angsur berpindah ke Toregene, istri yang paling cakap, meski bukan senior,” tulis Jack Wetherford di laman The Globalist.
Bukti tertua otoritas Toregene di istana Mongol muncul dalam perintah untuk mencetak teks Tao. Perintah itu dikeluarkan olehnya sebagai Yeke Khatun, Permaisuri Agung. Dalam surat perintah itu, Toregene menggunakan namanya sendiri tetapi masih di bawah stempel Ogodei. Dokumen tersebut menunjukkan jelas bahwa dia sudah menguasai sebagian dari administrasi sipil kekaisaran.
Sementara para pria bertempur, dia melakukan aktivitas yang sama sekali berbeda. Toregene mendukung proyek agama, pendidikan, dan konstruksi dalam skala kekaisaran. Setelah Ogodei meninggal, Toregene mengambil alih kekuasaan penuh sebagai wali penguasa.
Dalam mengejar kebijakannya sendiri, dia memecat menteri mendiang suaminya dan menggantinya dengan menterinya sendiri. Salah satu pejabatnya yang paling penting adalah Fatima. Ia adalah tawanan Tajik atau Persia dari kampanye Timur Tengah.
Penulis sejarah Persia Juvaini menulis bahwa Fatima menikmati akses terus-menerus ke tenda Toregene. Menurutnya, dia menjadi pembagi rahasia penting dan menyimpan rahasia yang tersembunyi.
“Fatima memainkan peran politik dan bebas untuk mengeluarkan perintah dan larangan,” kata Wetherford.
Selama masa pemerintahan Toregene, pejabat asing tiba dari sudut jauh kekaisaran. Mereka mengunjungi ibu kota di Karakorum atau ke kamp kekaisaran nomadennya.
Selain pemerintahan Toregene dan Fatima, dua dari tiga divisi kekaisaran lainnya juga memiliki pemimpin perempuan.
Sorkhokhtani, janda putra bungsu Genghis Khan, Tolui, memerintah Tiongkok Utara dan Mongolia Timur. Ebuskun, janda putra kedua Genghis Khan, Chaghatai, memerintah Asia Tengah atau Turkestan.
Hanya Golden Horde Rusia, di bawah kendali Batu Khan, yang tetap berada di bawah kekuasaan kaum pria.
Uniknya, para penguasa wanita di Kekaisaran Mongol itu tidak ada yang terlahir sebagai orang Mongol. Mereka menikah dengan orang Mongol. Selain Fatima, sebagian besar wanita penguasa itu beragama Kristen. Di dunia Mongol, baik jenis kelamin maupun agama tidak menghalangi perempuan-perempuan ini naik ke tampuk kekuasaan.
Toregene menyerahkan kekuasaan kepada putranya yang tidak kompeten Guyuk pada tahun 1246. Namun dalam waktu 18 bulan, Guyuk meninggal dan tidak diketahui penyebabnya. Dalam perjuangan politik yang berkelanjutan di pusat kekaisaran, wilayah pinggiran mulai terurai.
Penulis sejarah Juvaini menggambarkan Mongolia berada dalam kegelapan. Rakyat mengalami kebingungan, apakah harus tetap tinggal di kekaisaran atau pergi.
Setelah pemerintahan singkat Guyuk, sudah waktunya bagi seorang wanita — jandanya Oghul Ghamish — untuk mengambil kendali kekaisaran. Ia mengikuti jejak ibu mertuanya Toregene satu dekade sebelumnya.
Namun, wanita kuat lainnya di kekaisaran — Sorhokhtani — dengan cepat menentang kekuasaannya. Sorhokhtani mengorganisir kampanye pemilihan putranya untuk jabatan Khan Agung. Ia mendapat dukungan penuh dari keempat putranya yang cakap dan persiapan serta penantian seumur hidup untuk meraih kekuasaan.
Pada tanggal 1 Juli 1251, kerumunan orang Mongol yang berkumpul mengumumkan pemilihan putranya, Mongke yang berusia 43 tahun.
Genghis Khan memiliki anak laki-laki yang relatif lemah, pemabuk, dan egois. Namun lain halnya dengan Sorkhokhtani. Ia berhasil menduduk empat anak laki-laki yang ditakdirkan untuk melakukan hal besar dalam sejarah.
Setiap putranya adalah seorang khan. Di tahun-tahun mendatang, Mongke, Arik Boke, dan Kubilai, semuanya akan menyandang gelar Khan Agung. Sedangkan putranya yang lain, Hulegu, menjadi penakluk Baghdad dan mendirikan dinasti baru Ilkhante Persia.
Para wanita Mongol menghadirkan pemandangan aneh pada peradaban yang mereka bantu taklukkan. Mereka menunggang kuda, menembakkan anak panah dan memerintah pria dan wanita.
Di Tiongkok, wanita Mongol menolak pengikatan kaki. Mereka juga menolak untuk memakai cadar.
Namun, segera setelah menetap di tanah yang baru ditaklukkan, wanita Mongol kehilangan kekuasaan publik. Hanya di Mongolia mereka terus memerintah dan berperang.
Sementara Kubilai Khan memerintah dari ibu kota Tiongkok, sepupunya Khaidu terus berperang melawannya dari Asia Tengah. Dan sesuai dengan tradisi Mongol, putri Khaidu bertempur bersamanya.
Menurut Marco Polo, yang menyebutnya sebagai Aiyaruk, dia cantik dan kuat. Sang putri juga terampil sebagai pemanah dan pegulat. Dia mungkin tidak pernah menikah, karena telah bersumpah hanya akan menikah dengan pria yang bisa mengalahkannya dalam gulat. Sejauh yang diketahui, tidak ada yang berhasil. Kisahnya menginspirasi opera abad ke-20 Turandot karya Puccini.
Kekaisaran Genghis Khan akhirnya bertahan selama satu setengah abad. Pada 1368, bangsa Mongol digulingkan dan kebanyakan dari mereka mundur ke wilayah stepa.
Baca Juga: Pengorbanan Manusia Dinasti Shang, Periode Kelam Kekaisaran Tiongkok
Baca Juga: Daftar Permaisuri Kaisar Tiongkok yang Bertangan Besi dan Bijak
Baca Juga: Ketika Ilmu Hitam Menghancurkan Permaisuri Chen dari Tiongkok Kuno
Baca Juga: Apakah Selir Kaisar Tiongkok Cixi Merupakan Pelopor Gerakan Feminisme?
Sementara para pria kembali berkelahi karena domba dan mencuri kuda, para wanita menjaga semangat kekaisaran tetap hidup. Pada akhir abad ke-15, seorang penakluk baru muncul bertekad untuk memulihkan Kekaisaran Mongol Genghis Khan.
Dia adalah Manduhai, sang Ratu Bijaksana. Dia turun ke medan perang dan menaklukkan kembali suku stepa. Manduhai menyatukan mereka menjadi satu bangsa.
Tapi kali ini, mereka bukan tandingan Kekaisaran Tiongkok yang dengan cepat memperluas Tembok Besar untuk mencegah suku nomaden. Bahkan Kekaisaran Tiongkok saat itu sudah menggunakan artileri mesiu untuk mengalahkan pasukan Mongol. Era ratu prajurit hebat Mongolia telah berlalu.
Perjuangan para wanita penguasa di Kekaisaran Mongol menginspirasi. Kini, orang tua membisikkan kepada anak-anak kisah tentang Ratu Agung Mongolia yang memerintah kekaisaran terbesar dalam sejarah.
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR