Nationalgeographic.co.id—Dari semua tempat berbahaya di bumi, dataran es Antarktika adalah salah satu tempat yang paling berbahaya dan mengerikan. Di benua ini, banyak penjelajah telah kehilangan nyawa mereka. Namun tidak sedikit yang mencoba melakukan ekspedisi atau mengeksplorasi tempat berbahaya itu. Robert Falcon Scott melakukan perjalanan berbahaya untuk menjadi orang pertama yang menginjakkan kakinya di Kutub Selatan.
Ekspedisinya berubah menjadi bencana yang akhirnya membawa ketenaran bagi penjelajah itu.
Awal karier Robert Falcon Scott
Pada tanggal 6 Juni 1868, Robert Falcon Scott lahir dari keluarga dengan tradisi angkatan laut yang kuat. Dia dan adik laki-lakinya, Archie, ditakdirkan untuk berkarier di angkatan bersenjata. Pada usia 13 tahun, Robert Falcon Scott sudah bertugas di Angkatan Laut Inggris.
Pada tahun 1890-an, serangkaian bencana menimpa keluarga tersebut. Bisnis keluarga bangkrut, ayah dan adiknya meninggal. Penghasilan seluruh keluarga sekarang bergantung pada Robert Falcon Scott dan gajinya dari angkatan laut.
Di Angkatan Laut Kerajaan Inggris, gaji dan promosi sangatlah kompetitif. “Itu membuat Scott ragu untuk melanjutkan kariernya di sana,” tulis Greg Beyer di laman The Collector.
Pada 1899, pertemuannya Clements Markham, presiden Royal Geographic Society, menempatkan Robert Falcon Scott di jalur karier yang berbeda. Royal Geographic Society, bersama dengan Royal Society, mendanai sebuah ekspedisi di RRS Discovery. Scott ditugaskan untuk memimpin tim yang akan berlayar ke Antarktika.
Ekspedisi ini memberi Robert Falcon Scott pengalaman yang tak ternilai dan pengetahuan akan bahaya perjalanan Antarktika. Dia menghadapi masalah dengan kereta luncur, pria jatuh dari tebing, badai salju, dan penyakit kudis. Ekspedisi ini juga melibatkan Ernest Shackleton, seorang penjelajah terkenal lainnya.
Pada tahun 1904, ekspedisi kembali ke Inggris dan Scott diperlakukan seperti pahlawan. Ekspedisi itu membuka mata masyarakat Inggris tentang Antarktika. Scott dianugerahi banyak penghargaan dan memulai kehidupan di lingkungan sosial yang tinggi. Ia bahkan menjalin komunikasi dengan raja-raja Eropa.
Ekspedisi Terra Nova
Sir Ernest Shackleton berusaha mencapai Kutub Selatan pada tahun 1907, tetapi gagal. Robert Falcon Scott memutuskan bahwa dia akan memimpin tim untuk mencapai apa yang tidak bisa diselesaikan oleh Shackleton.
Ekspedisi baru ini, Ekspedisi Terra Nova, akan sepenuhnya berada di bawah komando Robert Scott. Dia memutuskan bahwa tujuan utamanya adalah mencapai Kutub Selatan untuk mengeklaim kehormatan Kerajaan Inggris.
Bersama dengan kendaraan yang dirancang khusus, Scott memilih ski, kereta luncur anjing, dan kuda poni Manchuria. “Yang terakhir ini terbukti tidak cocok dengan kondisi Antarktika,” kata Beyer.
Pada 15 Juni 1910, kapal penangkap ikan paus tua yang dimodifikasi berlayar dari Cardiff menuju Cape Town. Robert Falcon Scott tinggal di Inggris untuk mengumpulkan lebih banyak dana dan kemudian bertemu dengan kapal itu di Cape Town.
Mereka kemudian berlayar ke timur. Setibanya di Australia, Scott menerima telegram yang memberitahukan bahwa Roald Amundsen dari Norwegia sedang berusaha mencapai kutub. Scott menyadari bahwa dia sedang berlomba untuk menjadi tim pertama yang mencapai Antarktika.
Ekspedisi berpapasan dengan nasib buruk sejak awal. Kapal hampir tenggelam dalam badai di dekat Selandia Baru dan terjebak dalam bongkahan es selama 20 hari. Ini menunda jadwal secara signifikan dan membuat sisa misi lebih berbahaya. Pasalnya, hanya tersisa sedikit waktu untuk mempersiapkan musim dingin Antarktika.
Sesampainya di Antarktika, tim langsung kehilangan salah satu kereta luncur motor. Saat sedang diturunkan, kereta luncur itu menembus es tipis dan tenggelam ke laut. Di tengah kondisi cuaca yang buruk, tim menyiapkan titik depo sebagai basis operasi. Pada titik ini, jelas bahwa kuda poni adalah ide yang buruk. Empat di antaranya mati karena kedinginan atau ditembak karena memperlambat tim.
Selain tim Scott, ada dua tim untuk melakukan survei geologis. Yang pertama berlangsung antara Januari dan Maret 1911. Yang kedua berlangsung dari November 1911 hingga Februari 1912, bersamaan dengan upaya tim Scott untuk mencapai Kutub Selatan.
Selama musim dingin tahun 1911, sebuah tim melakukan perjalanan ke Tanjung Crozier untuk mengambil telur penguin kaisar. Perjalanan itu sukses, tapi mereka menghadapi hambatan yang bisa membuat anggotanya meninggal. Salah satu anggota tim menyebutnya sebagai perjalanan terburuk di dunia.
Pada tanggal 1 November 1911, pawai ke Kutub Utara pun dimulai. Motor, anjing, kereta luncur, dan 16 orang berangkat, dan membuat gudang persediaan. Para pria akan kembali ketika pekerjaan mereka selesai. Dengan demikian, tim perlahan menyusut hingga tersisa delapan. Setelah melintasi rintangan utama Gletser Beardmore, Robert Scott memilih timnya yang terdiri dari lima orang. Ia memerintahkan tiga orang lainnya untuk kembali. Bersama Scott, Edward Adrian Wilson, Henry Robertson Bowers, Lawrence Edward Grace Oates, dan Edgar Evans mencoba untuk Kutub Selatan.
Pada 17 Januari 1912, tim Scott mencapai Kutub Selatan, tetapi itu bukan peristiwa yang menggembirakan. Tim lain mengibarkan bendera Norwegia di salju, dengan bangga menyatakan bahwa Amundsen telah sampai di sana lebih dulu.
Perjalanan pulang yang penuh bencana
Meski sangat kecewa, Robert Falcon Scott tetap bersemangat. Tim membuat kemajuan yang baik selama 3 minggu berikutnya. Namun, kondisi fisik anggota tim memprihatinkan. Edgar Evans menderita radang dingin dan Edward Oates menderita penyakit di kakinya.
Kondisi Evans terus memburuk. Dia beberapa kali jatuh di es. Pada 17 Februari, di dekat dasar Gletser Beardmore, dia pingsan dan meninggal. Segalanya menjadi lebih buruk sejak saat itu. Cuaca memburuk sehingga tim kesulitan untuk berjalan. Tim Scott gagal menemukan salah satu tim kereta luncur anjing yang diharapkan. Masalah terus berdatangan dengan bahan bakar di depo yang tersisa sedikit. Kaki Oates yang membeku mulai sangat memperlambat mereka.
Situasinya tampak suram. Pada 16 Maret, saat keempat penjelajah berada di tenda mereka, Oates memberi tahu ketiga temannya, "Saya hanya akan keluar sebentar." Dia tidak pernah kembali. Pengorbanannya, bagaimanapun, memberikan tiga orang lainnya kesempatan untuk bertarung dengan waktu. Anggota tim yang tersisa dapat meningkatkan kecepatannya.
Ketiga pria itu berjalan dengan susah payah menuju kamp utama. Namun, hampir 17.6 km dari tujuan mereka, badai salju yang dahsyat menghentikan mereka. Setiap hari, mereka mencoba membuat kemajuan, tetapi tidak ada gunanya.
Pada 29 Maret, Scott menulis dalam buku hariannya:
“Setiap hari kami siap berangkat ke depo kami yang jaraknya 17.6 km, tetapi di luar pintu tenda masih ada pemandangan arus yang berputar-putar. Saya tidak berpikir kita bisa berharap untuk hal-hal yang lebih baik sekarang. Kami akan bertahan sampai akhir, tetapi kami semakin lemah, tentu saja, dan akhirnya tidak bisa jauh. Sayang sekali tapi saya rasa saya tidak bisa menulis lebih banyak. R.Scott. Entri terakhir. Demi Tuhan, jaga orang-orang kita.”
Baca Juga: Arus Laut Antarktika Kian Melambat, Menuju Kehancuran pada 2050
Baca Juga: Ibnu Batutah, Penjelajah Gurun yang Ditawan akibat Terlalu Pandai
Baca Juga: Kisah Vasco da Gama, Penjelajah Sekaligus Penakluk dari Portugal
Baca Juga: Membuka Kapsul Waktu, Menjelajahi Gua Tambang Kobalt Abad Ke-19
Beberapa upaya pertolongan telah dicoba, tetapi gagal karena kondisi medan yang buruk. Pada 12 November, jasad Scott, Wilson, dan Bowers yang membeku ditemukan.
Warisan Robert Falcon Scott
Ekspedisi dan petualangan Robert Falcon Scott dan timnya di Antarktika memberikan gambaran pada masyarakat Inggris tentang Antarktika. Bahkan sebelum ekspedisi terakhirnya, dia menjadi pahlawan dan simbol keinginan Inggris untuk menjelajahi pelosok dunia.
Setelah kematiannya, ketenarannya semakin meningkat karena ia menjadi pahlawan yang tragis. Dalam arti tertentu, dia menjadi martir demi kepentingan Inggris. Robert Falcon Scott menjadi pahlawan Inggris hingga hari ini dan inspirasi bagi semua penjelajah di seluruh dunia.
Source | : | The Collector |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR