Nationalgeographic.co.id - Ada yang mengatakan bahwa jalan-jalan ke Kota Palu tidak lengkap tanpa membeli bawang goreng yang jadi oleh-oleh khasnya. Cita rasanya memang unik. Harum, garing, gurih, dan mampu menambah nafsu makan saat dijadikan pelengkap hidangan lain.
Namun, tak banyak yang tahu bahwa bahan baku oleh-oleh khas Kota Palu itu berasal dari kebun-kebun para petani bawang merah di Kabupaten Sigi. Bahkan, ada para petani juga memasok produk bawang goreng jadi kepada para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Kota Palu.
Para pelaku UMKM tinggal mengemas, memberi label merek, dan memasarkannya di sentra oleh-oleh di pusat kota serta di Bandara Mutiara Sis Al-Jufri, Palu. Hal ini diceritakan oleh Vinrike, pengusaha bawang goreng asli Kabupaten Sigi.
“Bawang goreng itu sekarang dikenal sebagai oleh-oleh khas Palu. Sayang, hanya sedikit orang yang tahu bahwa bawang merah yang jadi bahan pembuatnya itu ditanam di Kabupaten Sigi. Bahkan, kami memasok bawang goreng jadi ke UMKM di Palu,” ujar Vinrike sembari memperlihatkan hasil produksi bawang goreng yang disimpannya di wadah besar.
Baca Juga: Senja di Sigi, Mencicipi Kopi Pipikoro yang Ditanam Secara Sadar Lingkungan
Pada awalnya, kata Vinrike, pelaku UMKM di Palu memesan bawang merah dan bawang goreng dalam bentuk produk jadi kepada para petani di Sigi. Ia menyayangkan, kerja sama dengan UMKM di Palu yang terjalin sejak lama itu ternyata membuat nama Kabupaten Sigi sebagai penghasil bawang merah menjadi “tenggelam”.
Vinrike menjelaskan, Kota Palu tidak memiliki banyak lahan pertanian yang subur. Sementara di Kabupaten Sigi, lahan yang subur untuk menanam bawang.
“Banyak UMKM (Palu) yang mengklaim produksi Sigi sebagai oleh-oleh khas di sana. Padahal, Palu tidak memiliki banyak lahan untuk bercocok tanam,” ungkapnya.
Meski demikian, Vinrike tidak terus menggerutu. Menurutnya, ada cara yang bisa ia lakukan untuk mengangkat nama Kabupaten Sigi sebagai penghasil bawang merah dan bawang goreng.
Ide itu tercetus ketika sang kakak yang berdomisili di Jawa meminta Vinrike untuk memesankan dan mengirimkan produk bawang goreng Palu. Saat itu, Vinrike berpikir. Bahan baku berupa bawang merah begitu melimpah di Kabupaten Sigi. Ia pun bisa membuat bawang goreng sendiri dengan bawang dari petani di Kabupaten Sigi.
“Saya berpikir, kenapa enggak buat sendiri saja. Toh, di Sigi ladang bawang merah bertebaran,” tuturnya.
Baca Juga: Meraba Sehelai Kain Berbahan Kulit Kayu dari Lembah Taman Nasional Lore Lindu
Berbekal niat, Vinrike pun menjajal kreasi bawang goreng untuk pertama kali. Sebanyak 2 sampai 3 toples ia kirimkan kepada sang kakak. Gayung bersambut, bawang goreng Vinrike rupanya digemari oleh keluarga maupun rekan kerja sang kakak.
“Kakak saya bilang lewat telepon, bawang goreng buatan saya enak katanya. Ia minta saya untuk buat lagi. Akhirnya, saya coba buat lagi untuk diberikan kepada kakak saya. Berbekal coba-coba, saya jual juga di sini. Puji Tuhan, bawang goreng saya laris manis,” katanya.
Untuk memberi identitas pada bawang goreng miliknya, ia memilih nama Bawang Garing Lestari. Nama Bawang Garing dipilih untuk membedakan produk miliknya dengan produk bawang goreng UMKM Palu. Sementara itu, nama Lestari diambil dari nama anaknya.
“Produk saya kini sudah dipatenkan berkat bantuan pemerintah setempat. Saya juga ikut dibantu untuk mengurus sertifikat halal dan izin edar produk,” lanjutnya.
Inovasi untuk memperkenalkan bawang goreng Sigi
Vinrike menyadari bahwa untuk membuat diferensiasi dengan bawang goreng Palu, inovasi dalam pengolahan produk diperlukan. Ia ingin bawang goreng garing khas Kabupaten Sigi punya cita rasa yang lebih menarik.
Untuk menciptakan cita rasa yang berbeda tersebut, bawang diayak dengan garam sebelum digoreng. Oleh karena itu, bawang goreng Sigi punya cita rasa gurih, kriuk, dan menggugah selera.
Selain itu, ia juga hanya menggunakan bawang merah yang baru dipanen agar cita rasa bawang lebih harum.
“Saya juga selalu menggunakan bawang merah dengan bentuk bulat sempurna. Bawang dengan bentuk ini umumnya memiliki nutrisi yang lebih baik, sehingga rasanya lebih nikmat dan mudah diiris,” papar Vinrike.
Baca Juga: Kisah Rano Lindu, dari Belut Raksasa hingga Jadi Sumber Kehidupan Masyarakat
Untuk menjamin kualitas produknya, ia dibantu sang suami untuk memodifikasi alat pemotong bawang. Modifikasi ini dilakukan agar potongan bawang lebih halus dan seragam. Dengan begitu, bawang goreng buatannya tidak akan menyisakan remah di sela gigi. Bawang seakan lumer di dalam mulut ketika dikonsumsi.
“Selain mengutamakan rasa yang gurih, bawang goreng ini juga bebas dari after taste maupun rasa nyangkut di gigi,” terangnya.
Turut berdayakan petani dan masyarakat sekitar
Saat ini, Vinrike sudah memperkenalkan produknya ke berbagai area, mulai dari supermarket lokal, warung, hingga sentra oleh-oleh di area Sulawesi. Untuk satu kemasan 100 gr, ia mematok harga Rp 30.000. Ia juga menerima pesanan kustom dari konsumen di berbagai area.
Namun, berbicara harga jual, sebenarnya ia sempat bingung untuk menentukan harga yang menguntungkan. Pasalnya, pedagang di pasar Sigi umumnya menjual bawang dengan kondisi bersih atau bebas dari tangkai, sehingga harga jualnya menjadi lebih mahal.
“Di tengah kebingungan itu, saya bertemu petani yang menyuplai bawang merah ke pasar. Mereka menawarkan harga yang lebih murah. Selain itu, saya juga bisa memilih sendiri bentuk bawang yang akan digunakan,” imbuh Vinrike.
Selain memajukan nama Kabupaten Sigi sebagai penghasil bawang goreng, ia turut memberdayakan petani bawang. Tak hanya itu, untuk memenuhi pesanan, Vinrike juga mengajak ibu-ibu di sekitar tempat tinggalnya untuk terlibat dalam proses produksi.
Seluruh proses pengerjaan seperti mengupas dan memotong bawang dilakukannya bersama dengan ibu-ibu di sekitar tempat tinggalnya. Sebanyak 5 - 10 orang biasanya hadir dalam satu kali proses produksi.
“Pesanan selalu ada saja. Estimasi pengerjaan dan pengiriman biasanya di 1-2 minggu, tergantung stok bawang dari petani. Saya juga memberdayakan ibu-ibu agar bisa memiliki penghasilan sendiri,” katanya.
Baca Juga: Dorong Investasi untuk Pembangunan Berbasis Lestari, Kabupaten Sigi Gelar Festival Lestari 5
Meski begitu, Vinrike masih melakukan pengawasan ketat dalam proses penggorengan bawang. Tujuannya, supaya produk konsisten, tidak ada yang gosong, dan tetap bercita rasa enak.
“Saya sempat meminta tolong ibu-ibu untuk menggoreng bawang. Rupanya, bawangnya malah jadi gosong. Saya rugi berapa kilo. Dari situ, seluruh proses goreng bawang selalu saya pantau atau dikerjakan sendiri,” tuturnya.
Terkait stok bawang merah yang kerap menipis, Vinrike punya siasat. Ia mencari sendiri ladang-ladang bawang dan mengajak petani yang mengelolanya untuk diajak bekerja sama. Hasilnya, para petani dengan senang hati mengantarkan hasil panen mereka ke rumah.
“Saya sekarang selalu dikabari kalau ada yang (petani) panen. Meski begitu, saya tetap punya satu petani langganan yang bisa diandalkan,” ungkap Vinrike.
Berbicara keberlanjutan, Vinrike mengaku, hasil sampah bawang biasa dibagikan kepada masyarakat sekitar untuk dijadikan pupuk. Beberapa petani juga kerap meminta sisa kulit bawang untuk dibawa pulang ke ladang masing-masing.
“Di sini tidak pernah ada sisa sampah. Sampah-sampah bawang biasa dibawa petani pupuk, kadang saya bagikan ke warga yang gemar bercocok tanam. Sering juga mereka yang meminta sendiri,” tuturnya.
Tak hanya mencari untung, Vinrike juga memiliki niat mulia. Sebagian keuntungan dari penjualan bawang ia dedikasikan untuk memenuhi kebutuhan tujuh anak asuhnya. Ketujuh anak tersebut berasal dari panti asuhan gereja. Rata-rata dari mereka juga tidak memiliki keluarga dekat maupun orangtua.
“Ada beberapa anak yang saya asuh langsung di rumah, tetapi ada juga yang saya titipkan di panti asuhan gereja. Saya berharap mereka bisa mendapat hidup yang layak, sebagaimana anak-anak kandung saya,” lanjutnya.
Berbicara omzet, Vinrike mengaku bisa mengantongi Rp 5 juta hingga Rp 20 juta per bulan, tergantung jumlah panen dan pesanan. Ia mengaku, merawat anak yatim merupakan panggilan hatinya sejak muda.
“Waktu saya masih nona-nona, saya sudah menjadi orangtua asuh untuk panti asuhan gereja,” ungkapnya.
Tak hanya ingin menafkahi kehidupan sehari-hari anak angkatnya, Vinrike juga berkomitmen untuk menyekolahkan ketujuh anak tersebut hingga mengenyam pendidikan tinggi dan berkeluarga.
“Saya masih punya target. Di masa tua, uang yang saya kumpulkan bisa diubah menjadi panti asuhan bagi anak-anak yang membutuhkan. Itu motivasi saya untuk terus mengembangkan usaha ini,” tegasnya.
Untuk memperkenalkan usaha yang dirintisnya, pemerintah setempat mengenalkan Vinrike dengan tim Lingkar Temu Lestari (LTKL). Sebagai informasi, LTKL merupakan organisasi yang dibentuk oleh berbagai pemerintah daerah dalam rangka mempertahankan ekosistem berbasis lingkungan.
Tahun ini, LTKL bersama pemerintah Kabupaten Sigi akan menggelar Festival Lestari: Tumbuh Lebih Baik. Ia berharap, Bawang Garing Lestari bisa mendapat suntikan dana dari investor maupun dukungan pemerintah daerah.
Baca Juga: Langkah Awal untuk Berlomba di Ajang Ultra Trail Dunia
“Saya nantinya akan ikut serta dalam Festival Lestari yang diselenggarakan di Taman Taiganja, Sigi. Harapannya, saya bisa mendapat investasi untuk membuat dapur khusus yang lebih nyaman untuk memproduksi bawang goreng,” pungkasnya.
Bawang goreng jadi jalan untuk bangkit pascagempa
Bagi masyarakat di Kabupaten Sigi, bawang merah juga menjadi komoditas yang membantu mereka bangkit dan bertumbuh kembali pasca mengalami bencana gempa likuifaksi dengan magnitudo 7,4 skala Richter.
Sistem irigasi sawah rusak. Akibatnya, para petani hanya bisa menanam palawija dengan pengairan yang mengandalkan datangnya musim hujan. Pada akhirnya, bawang merah dari Kabupaten Sigi menjadi penyelamat.
Sebagai wilayah yang subur, Kabupaten Sigi memiliki lembah yang cocok untuk ditanami bawang merah. Bawang merah merupakan komoditas yang melimpah di kabupaten tersebut.
Selain dipasok ke pasar-pasar di seluruh Sulawesi Tengah. Tak hanya itu, berkat bantuan pihak ketiga, Kabupaten Sigi dapat membuat pengolahan produk dari bawang merah. Warga diajak membuat bawang goreng untuk dipasok dan dipasarkan ke beberapa wilayah di Sulawesi Tengah.
Dengan memproduksi bawang goreng secara rumahan, keluarga-keluarga di Kabupaten Sigi dapat kembali menggerakkan roda ekonominya.
Penulis | : | Fathia Yasmine |
Editor | : | Sheila Respati |
KOMENTAR