Nationalgeographic.co.id—Pada tanggal 4 Juli 1776, Kongres Kontinental mengeluarkan Deklarasi Kemerdekaan. Dokumen memproklamasikan kedaulatan Amerika Serikat. Selain itu juga menyebut Raja George III dari Inggris Raya sebagai musuh dalam kisah asal-usul Amerika Serikat. Apa kaitannya Raja George III dengan kemerdekaan Amerika Serikat?
Sebagai raja konstitusional, George tidak membuat kebijakan yang memicu konflik di koloni—itu tugas Parlemen. Jadi, mengapa deklarasi justru menjelekkan-jelekkan raja? Peran apa yang dia mainkan dalam Revolusi Amerika?
Rupanya, sang raja turut membuka jalan menuju perang. Tindakannya kelak membuat ia kehilangan koloni sekaligus menjadi raja terakhir di Amerika.
Penguasa kerajaan
Raja George III yang berusia 22 tahun mewarisi takhta kakeknya pada tahun 1760. Ia juga mewarisi sebuah kerajaan yang membentang dari Amerika Utara hingga Asia.
“George tidak melihat dirinya sebagai pemimpin negara atau kerajaan,” tulis Parissa Djangi di laman National Geographic. Sebaliknya, rakyatnya—entah di York atau New York—adalah anak-anaknya. Menurut keyakinannya, “anak-anak” tersebut terikat kepadanya oleh kepatuhan dan kasih sayang.
Meskipun tidak memiliki banyak kekuasaan legislatif sebagai monarki konstitusional, dia tetap terlibat dalam politik. Sang raja memahami bahwa adalah tugasnya untuk memberikan persetujuan kerajaan atas permintaan Parlemen.
George juga bersandar pada perannya sebagai paterfamilias Inggris. Dia menekankan ketertiban, tugas, dan integritas baik dalam kehidupan keluarga dan kerajaan. Di dunia George, seorang raja memiliki kewajiban untuk mencontohkan kebajikan bagi rakyatnya. Rakyat harus mematuhinya.
Rakyat koloninya menghormati raja muda dari Inggris itu. “Bahkan Benjamin Franklin dengan bangga menghadiri penobatan George pada tahun 1761,” tambah Djangi. 2 tahun kemudian, Franklin memuji George yang memiliki kebajikan dan niat tulusnya untuk membuat rakyatnya bahagia.
Ketegangan meningkat
Bahkan ketika George mengutamakan stabilitas kerajaan yang tertata dengan baik, lanskap politik Inggris terusik. Hal ini membuat jurang pemisah antara koloni Amerika Utara dan anggota Parlemen di London makin lebar.
Pemerintahan George telah dimulai ketika Inggris fokus dalam Perang Tujuh Tahun melawan Prancis dan sekutunya. Perang berakhir pada 1763. Saat itu, Inggris memperoleh kerajaan baru yang diperluas dengan tanah di Amerika Utara yang membentang sampai ke Sungai Mississippi.
Rupanya perang menghabiskan banyak sumber daya. Inggris memiliki sejumlah besar hutang yang digunakan untuk membiayai perang. Untuk membayarnya, Parlemen memperkenalkan suksesi pajak di koloni Amerika. Karena pasukan Inggris perlu ditempatkan di tanah Amerika, mereka beralasan, rakyat di koloni itu harus menanggung biayanya.
Pajak membuat marah koloni. Awalnya, mereka mengarahkan kemarahan mereka pada politisi yang memerintah mereka, bukan raja. Bagaimana mungkin anggota Parlemen, pemerintah yang berada di seberang lautan, memungut pajak tanpa persetujuan mereka?
Parlemen memperburuk keadaan dengan mengesahkan Undang-Undang Teh pada Mei 1773. Meski dikeluhkan oleh koloni, undang-undang itu memberi British East India Company keunggulan kompetitif di pasar teh.
Akhirnya koloni mengambil tindakan pada bulan Desember tahun itu. Kaum revolusioner di Boston menyerbu pelabuhan kota, menaiki kapal dagang Inggris, dan melemparkan teh ke laut.
Raja George III berada di pihak Parlemen
Berita soal Pesta Teh Boston, tindakan kekacauan dan ketidaktaatan, mengejutkan George. Berpegang pada keyakinannya pada otoritas Parlemen dan perannya sebagai ayah kerajaan, George mendukung Parlemen. Parlemen mengesahkan empat undang-undang pada awal 1774 yang melemahkan kemampuan Massachusetts untuk mengatur dirinya sendiri. Dan sang raja menyetujuinya.
Oleh koloni Amerika, empat undang-undang itu disebut sebagai Tindakan yang Tidak Dapat Ditoleransi.
Ketika ketegangan meningkat, sebagian besar koloni Amerika mengirim delegasi ke Kongres Kontinental pada bulan September 1774. Tindakan itu dilakukan untuk menanggapi undang-undang baru dari Parlemen. Para delegasi mengungkapkan bahwa tindakan parlemen merupakan penghinaan terhadap kebebasan Inggris. Juga terhadap hak kesulungan mereka sebagai subjek mahkota.
Dalam petisi tersebut, para delegasi meminta bantuan kepada George.
“Kami, rakyat setia Yang Mulia, memohon untuk menyampaikan keluhan kami di hadapan takhta.” Delegasi menyamakan Tindakan yang Tidak Dapat Ditolerir dengan direndahkan menjadi perbudakan”. Para koloni mengungkapkan keluhan mereka karena menurut mereka, diam adalah ketidaksetiaan.
George pun berdiri dengan Parlemen.
Perang Revolusi meletus
Pada suatu pagi bulan April yang dingin dan lembap di tahun 1775, ketegangan antara rakyat dan penguasa memuncak. Saat itu, milisi kolonial dan pasukan Inggris bentrok di Lexington dan Concord, desa-desa dekat Boston. Perang Revolusi pun dimulai.
George melihat konflik tersebut sebagai peluang. “Saya tidak berpendapat bahwa dengan ketegasan dan ketekunan, Amerika akan tunduk,” katanya. Menurutnya, Kerajaan Inggris dapat membuat” anak-anaknya” yang memberontak menyesali saat mereka mengabaikan kepatuhan.
Kongres Kontinental membuat satu petisi terakhir kepada George pada Juli 1775. Menolak untuk menerimanya, George malah mengeluarkan proklamasi kerajaan yang menyebut perang itu sebagai “pemberontakan”. Sang raja mencela kaum revolusioner karena mempersiapkan, memerintahkan, dan mengadakan perang melawan kerajaan dengan pengkhianatan.
Kesetiaan koloni terhadap George sekonyong-konyong lenyap. Permusuhannya yang tanpa kompromi mengilhami Thomas Paine untuk berkomentar, "Bahkan orang biadab tidak akan berperang melawan anak mereka.”
Keluarga kerajaan George hancur; mengalami keterasingan yang kejam dan tidak dapat diubah.
Raja terakhir di Amerika Serikat
Sejauh menyangkut Kongres Kontinental, George bukan lagi raja di koloni Amerika. Sebaliknya, Deklarasi Kemerdekaan menguraikan 27 keluhan terhadap George III. Koloni bahkan menjulukinya sebagai tiran dan tidak layak menjadi penguasa rakyat bebas.
George tidak pernah mendapatkan kembali cengkeramannya di koloni Amerika. Sebaliknya, mantan rakyatnya membakar patungnya dan menggulingkan patung raja di New York.
Pada 1785, 2 tahun setelah Perang Revolusi mereda, George menerima duta besar baru dari Amerika Serikat: John Adams. Ia salah satu mantan bawahannya. Adams kemudian mengeklaim jika George memberi tahu alasan di balik tindakannya di tahun-tahun menjelang perang. “Saya melakukan apa yang menurut saya harus dilakukan oleh sebagai kewajiban pada rakyat.”
Tugas George untuk menjaga kerajaan, mendukung Parlemen, dan memulihkan ketertiban pada akhirnya menyebabkan kehancurannya. Upayanya untuk memenuhi kewajiban justru membuatnya menjadi raja terakhir di Amerika.
Kobarkan Semangat Eksplorasi, National Geographic Apparel Stores Resmi Dibuka di Indonesia
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR