Nationalgeographic.co.id - Orang-orang Yahudi telah mengalami permusuhan dari umat Kristen Eropa selama berabad-abad dalam sejarah Abad Pertengahan. Permusuhan itu yang sekarang dikenal dengan istilah modern sebagai anti-semit.
Istilah ini berasal dari kategorisasi ilmiah sosial selanjutnya dari subfamili bahasa Afro-Asia yaitu Ibrani, Aram, Arab, dan Amharik. Kata ini juga merupakan deskripsi masyarakat di kawasan ini yang berasal dari keturunan putra sulung Nuh yang bernama Sem.
Namun, penggunaan anti-Semitisme dalam sejarah abad pertengahan yang paling umum berkaitan dengan Yahudi dan Yudaisme. Kategori antropologis dan fisiologis modern yang sekarang mendefinisikan ras tidak ada di dunia kuno.
Unsur-unsur ini dimasukkan ke dalam aspek anti-Semitisme pada Abad Pertengahan. Kritik politik muncul dimulai dengan gerakan Zionis abad ke-18 yang menghasilkan negara pendudukan Israel.
Dalam sejarah Abad Pertengahan, anti-Semit Kristen berkembang selama berabad-abad. Umat Kristen Eropa telah berabad-abad memiliki prasangka dan melakukan permusuhan terhadap orang-orang Yahudi.
Dasar dari pandangan anti-Semit telah tertanam dalam kisah seorang pengkhotbah yang berkelana pada abad ke-1, Yesus dari Nazareth, di provinsi Romawi di Yudea. Kisahnya diceritakan dalam Injil (“kabar baik”) Markus, Matius, Lukas, dan Yohanes.
Agama Kuno
Agama sebagai konsep atau kategori tersendiri tidak ada di dunia kuno. Masyarakat kuno ditentukan oleh kelompok etnis mereka yang memiliki ikatan darah (silsilah), bahasa, geografi, mitos, dan ritual yang sama.
Tradisi leluhur dituangkan dalam hukum (perjanjian, kontrak) mengenai perilaku, peran gender, dan bentuk pemerintahan, dan keseimbangan antara manusia dan Tuhan dipertahankan melalui doa dan ritual.
Yahudi adalah kelompok etnis yang membedakan diri dengan dua elemen tambahan, yaitu orang-orang Yahudi memiliki penanda identitas yang berbeda: sunat, aturan makan, dan pemeliharaan hari Sabat.
Orang Yahudi juga dilarang menyembah tuhan lain. Namun, orang-orang Yahudi kuno bukanlah penganut monoteis dalam pengertian modern.
Orang-orang Yahudi memahami hierarki kekuasaan di surga, dan teks-teks Yahudi secara konsisten mengacu pada keberadaan tuhan semua bangsa yang diciptakan oleh Tuhannya orang Yahudi.
Kisah dasar gagasan bahwa orang Yahudi bersifat monoteistik adalah ketika Musa menerima perintah Tuhan di Gunung Sinai. Dua perintah pertama dari Sepuluh Perintah Allah menyatakan:
Penyembahan di dunia kuno selalu berarti pengorbanan. Orang Yahudi bisa berdoa kepada malaikat dan kekuatan lain di surga, tetapi mereka hanya mempersembahkan korban (hewan, sayuran, persembahan) kepada Tuhan Yahudi.
Sebelum munculnya agama Kristen, orang-orang non-Yahudi sering mengkritik adat istiadat Yahudi.
Penolakan orang Yahudi untuk berpartisipasi dalam ratusan pengorbanan dan festival penyembahan dewa dianggap sebagai tindakan misantropis, sebuah ketidaksukaan atau kebencian terhadap umat manusia lainnya.
Beberapa ahli mendeskripsikan literatur ini sebagai "anti-Yahudi", bukan anti-Semit. Istilah itu merujuk langsung kepada kebencian terhadap orang-orang Yahudi.
Dalam sejarahnya yang panjang, orang Yahudi telah mengalami banyak pengusiran. Pengusiran orang-orang Yahudi telah terjadi sejak zaman para Nabi, bahkan dalam sejarah Abad Pertengahan.
Para nabi orang Yahudi menjelaskan, bahwa pengusiran-pengusiran tersebut sebagai hukuman Tuhan kepada orang-orang Yahudi. Mereka dihukum karena mereka melakukan penyembahan berhala dan mengabaikan perintah-perintah Allah.
Pada saat yang sama, mereka menyampaikan pesan harapan bahwa Tuhan akan campur tangan dalam sejarah manusia sekali lagi. Orang Yahudi yakin, bahwa di 'hari-hari terakhir', tuhan akan mewujudkan kerajaan untuk mereka di bumi.
Konteks sejarah Kristen
Pada tahun 63 SM, Roma menaklukkan Yerusalem di bawah kepemimpinan Pompey Agung (106-48 SM), yang mengangkat kaum Herodian sebagai raja.
Setelah serangkaian gubernur Romawi yang tidak kompeten dan korup pada abad ke-1 M, Pemberontakan Besar Yahudi pada tahun 66 M pecah, yang menyebabkan kehancuran Bait Suci Kedua pada tahun 70 M. Inilah konteks Injil, yang dimulai dengan Markus.
Pada tahun 20-an-30-an M, seorang pengkhotbah keliling, Yesus dari Nazaret, mulai memproklamirkan bahwa "kerajaan Allah" seperti yang dinubuatkan oleh para nabi sebelumnya sudah dekat.
Kutipan dan singgungan terhadap sejarah Yahudi, Hukum Musa, dan para nabi membenarkan klaim tentang Yesus. Mereka yang mengikuti ajarannya menjadi satu dengan sekte penganut Yahudi.
Injil Markus ditulis sekitar satu generasi setelah kematian Yesus yang bersejarah, diikuti oleh Matius, Lukas, dan terakhir Yohanes.
Itu bukanlah empat sumber independen, dan kita tidak memiliki kesaksian tertulis dari saksi mata mengenai peristiwa ini. Tidak ada catatan kontemporer yang bertahan. Yesus tidak meninggalkan tulisan, dan Injil tidak ditulis oleh murid-murid Yesus.
Markus harus mengatasi tiga masalah utama. Peran Yesus sebagai Mesias tidak mengangkat derajat bangsa Yahudi. Orang-orang Yahudi masih menderita di bawah pendudukan Romawi.
Pada saat Markus menulis, terdapat lebih banyak orang non-Yahudi (eks-pagan) yang terlibat dalam gerakan ini dibandingkan dengan orang Yahudi.
Sementara itu, Yesus disebutkan dianiaya dan mati karena perbedaan agama dengan para pemimpin Yahudi, dan bukan sebagai pengkhianat Kekaisaran Romawi.
Yesus diyakini akan kembali ke bumi di masa depan. Dalam Markus 4:10-11, ketika para murid bertanya kepada Yesus mengapa Dia mengajar dengan perumpamaan, Dia menjawab kepada mereka:
"Ini adalah kalimat dari Nabi Yesaya, yang telah mengecam orang-orang Yahudi karena kesalahan mereka dalam berbuat dosa."
Dengan kata lain, Yesus sendirilah, yang menggenapi Yesaya, yang menghalangi mayoritas orang Yahudi untuk percaya. Bagi kebanyakan orang Yahudi, seorang mesias yang disiksa dan kemudian mati tidak akan banyak membantu perjuangan Yahudi.
Sementara itu, kematian melalui penyaliban dibahas dalam kisah Markus sebagai pengadilan palsu oleh kepemimpinan Yahudi yang menyebabkan kematian Yesus. Terlepas dari kenyataan penyaliban tersebut, Yesus bukanlah pengkhianat Roma. Implikasinya, para pengikutnya juga tidak bersalah atas pengkhianatan.
Markus menciptakan narasi kuat bahwa Yesus mati karena perbedaan agama di kalangan orang-orang Yahudi dan bukan karena politik kekaisaran Romawi.
Source | : | World History Encyclopedia |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR