5. The Divine Comedy
Meskipun bukan hal yang aneh bagi para penulis untuk memasukkan dendam mereka ke dalam karya mereka, Dante Alighieri, seorang penyair Italia, membawanya ke tingkat berikutnya ketika ia menulis The Divine Comedy.
Disusun antara tahun 1308 dan 1321 dan terdiri dari tiga bagian "Inferno", "Purgatorio", dan "Paradiso", puisi epik ini dianggap sebagai salah satu karya sastra dunia yang paling penting. Hal ini mengesankan mengingat karya ini pernah dilarang oleh Gereja.
Puisi tersebut menceritakan perjalanan Dante melalui Neraka, Api Penyucian, dan Surga, dipandu oleh penyair Romawi Virgil dan cinta idealnya, Beatrice.
Ini adalah karya alegoris kompleks yang mengeksplorasi tema dosa, penebusan, dan tatanan ilahi. Tema-tema ini berarti bahwa pada abad ke-14, unsur-unsur The Divine Comedy masuk dalam Indeks Buku Terlarang Gereja Katolik, sebuah daftar teks yang dianggap sesat atau berbahaya bagi iman.
Hal yang tidak membantu adalah bahwa karya tersebut berfungsi sebagai kritik terhadap hierarki Gereja dengan Dante yang menggambarkan beberapa mantan paus dan saingan politiknya berada di neraka.
Eksplorasinya terhadap tema-tema seperti keadilan ilahi, penebusan, dan kondisi manusia menantang norma-norma agama dan masyarakat yang berlaku. Seluruh teks sebenarnya ditujukan untuk mengganggu pihak mapan sebanyak mungkin.
Gereja tidak pernah secara resmi melarang The Divine Comedy, tetapi Gereja menganggap puisi itu terlarang dan melakukan yang terbaik untuk menyembunyikannya selama beberapa abad. Syukurlah, puisi itu bertahan dan terus memikat para pembaca.
Deskripsi Dante yang jelas dan simbolis tentang Neraka, Api Penyucian, dan Surga, serta penggunaan dialek Tuscan, memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perkembangan bahasa Italia. Karyanya melampaui pembuangannya dan menjadi landasan sastra Italia dan simbol kebebasan artistik.
Pemutihan pada Terumbu Karang, Kala Manusia Hancurkan Sendiri Benteng Pertahanan Alaminya
Source | : | ancient origins |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR