Nationalgeographic.co.id—Suara Oday Kodariyah bergetar dan matanya berkaca-kaca. Perempuan berusia 70 tahun itu menceritakan kembali masa lalunya, dan kejadian-kejadian lampau itu bagaikan film yang berputar di dalam kepalanya. Ibu sekaligus nenek yang biasa disapa sebagai Mamah Oday itu terkenang kembali atas perjuangan bertahun-tahun dia dan keluarga dalam mencari dan menggunakan tanaman obat demi mengobati kanker serviks yang dideritanya.
Sukses mengobati kanker serviks dengan tanaman obat, Mamah Oday kemudian memutuskan untuk menyebarkan kearifan lokal ini kepada sebanyak mungkin orang di sekitarnya. Bahkan dia juga membuka Kebun Tanaman Obat (KTO) Sari Alam dan melestarikan setidaknya 900 spesies tanaman obat di lahan seluas 5 hektare itu.
Atas dedikasinya inilah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indonesia kemudian memberikan Mamah Oday sebuah penghargaan Kalpataru untuk kategori Perintis Lingkungan Pelestari Sumber Daya Genetik Tanaman Obat. Penghargaan itu dia terima pada tahun 2018 dan pekan lalu Tugu Kalpataru sebagai bentuk simbolis penghargaan tersebut baru saja diresmikan oleh Yayasan KEHATI. Tugu itu dibangun di area depan KTO Sari Alam di Kabupaten Bandung.
Mamah Oday bercerita bahwa kiprahnya sebagai pelestari tanaman obat terjadi secara tidak sengaja. Hal ini bermula pada tahun 1991 ketika dia divonis menderita kanker serviks, penyakit berat yang mengancam nyawanya. Saat itu usianya baru 37 tahun.
Sejak tahun 1991 hingga 1993 Mamah Oday telah berusaha menjalani pengobatan konvensional dengan mengonsumsi obat-obatan kimia dari dokter. Namun belakangan tubuhnya seolah tidak kuat lagi menerima obat-obatan kimia itu dan efeknya justru buruk bagi tubuhnya.
"Tubuh saya sudah tidak bisa menerima obat itu, karena begitu makan langsung membengkak," tutur Mamah Oday saat National Geographic Indonesia temui pekan lalu.
Sisa hidup Mamah Oday diprediksi tidak akan lama lagi karena kanker serviks terus menggerogoti tubuhnya. Setiap setelah minum obat, kondisi tubuhnya justru terasa memburuk. Badannya bengkak dan dia malah merasa tambah sakit.
Oleh karena itu, Mamah Oday memutuskan untuk berupaya untuk mencari metode pengobatan alternatif. Dia mulai bertanya-tanya kepada sesepuh atau orang tua di sekitarnya.
"Kalau obat [konvensional] itu sudah tidak mampu di tubuh saya, masa saya harus menunggu mati, tidak berikhtiar apa pun?" ujarnya. "Kan saya orang muslim, harus berikhtiar. Tidak mungkin saya diam menunggu mati. Nah itu makanya keajaibannya itu. Jadi saya berikhtiar, berusaha [mencari dan memanfaatkan tanaman obat]."
Baca Juga: Kolaborasi Mamah Oday sang Penyintas Kanker dan KEHATI Sebarkan Ilmu Tanaman Obat
Dibantu oleh Djadjat Sudradjat, suaminya yang telah meninggal tahun lalu, kala itu Mamah Oday mencari berbagai tanaman obat ke berbagai daerah berdasarkan petunjuk dan rekomendasi dari orang-orang tua yang memahami kearifan lokal tersebut. "Nanya-nanya ke orang tua dulu," katanya.
Dia juga kemudian mulai menanam tanaman obat yang diperolehnya di lahan luas dekat tempat tinggal barunya." Jadi saya pindah dari [Kota] Bandung itu pindah ke sini [Desa Cukanggenteng, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung] sebetulnya saat itu saya menuju 'rumah terakhir'," ucap Mamah Oday dengan bibir bergetar menahan tangis.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR