Pada tahun 1735 hingga 1736, Kaisar Yongzheng dan putranya Qianlong memutuskan untuk merenovasi Shaolin dan membersihkan lahannya dari “biksu palsu”. Para biksu palsu itu adalah ahli bela diri yang menggunakan jubah biksu tanpa ditahbiskan. Kaisar Qianlong bahkan mengunjungi Shaolin pada tahun 1750 dan menulis puisi tentang keindahannya. Tapi ia kemudian melarang seni bela diri biara.
Shaolin di era modern
Selama abad ke-19, para biksu Shaolin dituduh melanggar sumpah biara mereka dengan makan daging dan minum alkohol. Banyak yang melihat vegetarianisme sebagai hal yang tidak praktis bagi para pejuang.
Reputasi kuil mendapat pukulan serius selama Pemberontakan Boxer tahun 1900. Saat itu para biksu Shaolin terlibat — mungkin secara keliru — dalam mengajarkan seni bela diri. Sekali lagi pada tahun 1912, ketika dinasti terakhir jatuh, Kekaisaran Tiongkok masuk ke jurang kekacauan. Semua kekacauan itu berakhir dengan kemenangan komunis di bawah Mao Zedong pada tahun 1949.
Sementara itu, pada tahun 1928, panglima perang Shi Yousan membakar 90% Kuil Shaolin. Sebagian besar tidak akan dibangun kembali selama 60 hingga 80 tahun. Negara ini akhirnya berada di bawah pemerintahan Ketua Mao dan biksu Kuil Shaolin kehilangan relevansi budayanya.
Shaolin di era pemerintahan Komunis
Pada awalnya, pemerintahan Mao tidak peduli dengan apa yang tersisa dari Shaolin. Namun, sesuai dengan doktrin Marxis, pemerintahan baru secara resmi bersifat ateis.
Pada tahun 1966, Revolusi Kebudayaan pecah dan kuil Buddha menjadi salah satu target utama Pengawal Merah. Beberapa biksu Shaolin yang tersisa dicambuk di jalanan dan kemudian dipenjara. Teks, lukisan, dan harta Shaolin lainnya dicuri atau dihancurkan.
Peristiwa itu mungkin akhirnya menjadi akhir dari Shaolin di Tiongkok. Film "Shaolin Shi" atau "Kuil Shaolin" tahun 1982 membangkitkan memori akan perjuangan biksu Shaolin dalam sejarah Tiongkok.
Sepanjang tahun 1980an dan 1990an, pariwisata di Shaolin meledak, mencapai lebih dari 1 juta orang per tahun pada akhir tahun 1990an.
Warisan Batuo
Sulit membayangkan apa yang dipikirkan kepala biara pertama Shaolin jika dia bisa melihat kuil itu sekarang. Dia mungkin akan terkejut dan bahkan kecewa dengan banyaknya pertumpahan darah dalam sejarah kuil tersebut. Di era modern, Kuil Shaolin pun hanya berfungsi sebagai tujuan wisata.
Namun, untuk bertahan dari kekacauan yang menjadi ciri banyak periode sejarah Tiongkok, para biksu Shaolin harus mempelajari keterampilan para pejuang yang paling penting, yaitu bertahan hidup. Meskipun ada sejumlah upaya untuk menghancurkannya, kuil tersebut bertahan dan bahkan berkembang hingga saat ini di dasar Pegunungan Songshan.
Source | : | ThoughtCo. |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR