Selain itu, pola migrasi mereka yang musiman membantu menyebarkan biji-bijian dan nutrisi melintasi ekosistem, sering kali membuka jalur bagi hewan lain.
Aurochs hidup dalam struktur kawanan yang terorganisir. Betina dan anak-anaknya berkumpul dalam kelompok, sementara pejantan dewasa cenderung lebih soliter atau berkelompok dengan pejantan lain di luar musim kawin.
Namun, walaupun mereka terlihat sebagai hewan yang tangguh dan tak tergoyahkan, kenyataannya aurochs sangat rentan terhadap perubahan yang dibawa oleh manusia.
Jalan Menuju Kepunahan
Tragisnya, seiring waktu dan berkembangnya peradaban, aurochs mulai menghadapi ancaman yang tak terelakkan.
Kemajuan teknologi dan ekspansi wilayah manusia secara bertahap mengikis habitat alami yang menjadi rumah bagi makhluk-makhluk ini.
Rumah mereka yang hijau dengan cepat berubah menjadi lahan pertanian dan pemukiman manusia. Dengan hilangnya habitat, hilang pula kesempatan mereka untuk bertahan hidup.
"Peradaban manusia yang berkembang bertanggung jawab atas hilangnya habitat yang dramatis karena sebagian besar wilayah hidupnya diubah menjadi padang rumput untuk ternak dan kuda domestik atau ladang pertanian," kata Daniel.
Tak hanya itu, Perburuan yang tak terkendali juga semakin mempercepat kepunahan aurochs. Pemburu dari berbagai strata masyarakat, mulai dari bangsawan hingga rakyat jelata, mengincar aurochs untuk diambil daging, kulit, dan tanduknya yang megah.
Belum selesai, semua ini, masih harus ditambah dengan penyakit yang dibawa oleh hewan ternak domestik. Hal ini menambah daftar tantangan yang harus dihadapi oleh aurochs untuk bertahan hidup.
Populasi aurochs terakhir yang diketahui bertahan hidup di hutan Jaktorow, sebuah wilayah di Polandia yang telah mendapat perlindungan kerajaan.
Baca Juga: Asal-usul Pengorbanan: Dari Hadiah untuk Dewa Hingga Faktor Ekonomi
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR