Nationalgeographic.co.id—Cleopatra VII, ratu Mesir kuno, adalah salah satu wanita paling terkenal dalam sejarah dunia kuno. Hubungannya dengan Julius Caesar dan Mark Antony menjadi skandal di Romawi.
Negarawan Cicero, misalnya, menyimpulkan perasaannya tentang Cleopatra dengan kalimat sederhana, “Aku benci ratu.”
Hubungan Mark Antony, Julius Caesar dan Cleopatra kerap mendapatkan sorotan hingga kini. Namun banyak yang lupa jika ada wanita-wanita yang menjadi rival sang ratu Mesir kuno itu. Mereka adalah Fulvia dan Octavia, para istri Mark Antony.
Kisah mereka—yang penuh dengan episode balas dendam dan pertumpahan darah—layak untuk dibagikan.
Fulvia menikah dengan Mark Antony ketika jenderal dan politikus Romawi itu memulai perselingkuhannya dengan Cleopatra. Berasal dari keluarga kaya, ia telah menikah dua kali dan menjadi janda dua kali sebelum hubungannya dengan Mark Antony dimulai.
“Mark Antony memiliki catatan militer yang mengesankan,” tulis Daisy Dunn di laman Smithsonian Magazine. Fulvia berperan dalam pembentukan aliansi suaminya dengan Octavianus dan Marcus Aemilius Lepidus, sekutu Caesar lainnya.
Fulvia menderita akibat permusuhan lama Mark Antony dengan Cicero. Sang orator berulang kali mencela triumvirat tersebut atas ancaman yang mereka timbulkan terhadap republik. Cicero menggambarkan Fulvia sebagai penjahat yang haus darah dan rakus. Fulvia dikatakan telah membalas dendam setelah Cicero dibunuh oleh tentara Mark Antony pada tahun 43 SM.
“Fulvia diduga mengambil kepala Cicero yang telah dipenggal, meludahinya, dan menusuk lidahnya dengan jepit rambutnya,” tambah Dunn.
2 tahun kemudian, pertikaian antara Fulvia dan Cleopatra pun dimulai. Setelah Pertempuran Philippi, Mark Antony bertemu kembali dengan ratu Mesir kuno, yang sebelumnya pernah ditemuinya saat masih remaja. Perang saudara membuatnya mengeklaim kemenangan dengan Octavianus atas para Liberator yang membunuh Julius Caesar pada tahun 44 SM.
Sejarawan kuno banyak membahas ketertarikan antara para pemenang dan ratu Mesir kuno itu. “Mark Antony terpesona oleh penampilan dan kecerdasannya,” tulis sejarawan Appian, “dan langsung terpikat olehnya, seolah-olah dia masih muda. Padahal sebenarnya dia berusia 40 tahun.”
Cleopatra tahu bahwa hubungan dengan Mark Antony dapat saling menguntungkan. Dia membutuhkan dukungan dari Romawi. Sedangkan Mark Antony membutuhkan dana dan dukungan untuk perang yang sedang terjadi melawan Parthia.
Baca Juga: Para Wanita yang Memimpin dengan Gagah Berani dalam Sejarah Dunia Kuno
Berita tentang hubungan serius antara Mark Antonius dan Cleopatra menyebar ke Roma. Orang-orang secara alami berasumsi bahwa Fulvia akan melakukan apa pun untuk membawa sang suami pulang. Jadi, ketika Fulvia mengobarkan perang di Italia pada 41 SM, ia diyakini bertindak karena kecemburuan, kelicikan, dan dendam.
Motivasi Fulvia sebenarnya lebih kompleks. Perang Perusine membuatnya bergabung dengan saudara iparnya, Lucius. Ia berupaya untuk memperbaiki keseimbangan kekuasaan dalam triumvirat dengan mendukung Mark Antony atas Octavianus. Fulvia secara pribadi tersinggung oleh keputusan Octavianus untuk menceraikan putrinya agar dapat menikahi wanita lain.
Ketegangan antara mantan ibu dan menantunya itu semakin intens sehingga Octavianus mengeklaim bahwa Fulvia mengancamnya. “Tidurlah denganku,” katanya, “atau lawan aku.” Mereka memilih untuk bertarung.
Perang itu menyebabkan salah satu pengepungan paling berdarah dalam sejarah dunia kuno. Kekuasaan tampaknya berada di tangan Lucius, seorang senator senior. Namun kekuasaan sebenarnya, menurut sejarawan Romawi Cassius Dio, berada di tangan Fulvia. Ia membantu Lucius dalam mengumpulkan legiun dan juga melakukan perjalanan ke Praeneste (sekarang Palestrina di Italia tengah).
Selama perjalanan, pedang diikatkan di sisinya dan ia memberi isyarat kepada para prajurit dan bahkan sering berbicara kepada mereka. Fulvia dan Lucius mencari perlindungan di dalam tembok kota saat pasukan Octavianus mulai melemparkan rudal. Beberapa peluru ketapel timah yang dilepaskan para prajurit itu bertuliskan pesan-pesan kasar. Pasukan Octavian menang dan membuat warga di dalam tembok kelaparan hingga menyerah. Fulvia dan Lucius selamat.
Mark Antony tidak terburu-buru kembali ke Roma setelah bencana itu. Cleopatra telah mengandung anaknya, atau lebih tepatnya, anak-anaknya. Pada tahun 40 SM, Cleopatra melahirkan anak kembar. Keduanya diberi nama Cleopatra Selene, yang dinamai menurut bulan, dan Alexander Helios, yang dinamai menurut matahari. Anak ketiga, Ptolemy Philadelphus, segera menyusul.
Mark Antony hampir tidak punya waktu untuk mengenal anak-anaknya dari Fulvia di Roma. Tak lama kemudian, Fulvia memutuskan untuk pergi menemuinya bersama kedua putra mereka.
Namun, hanya ada sedikit waktu untuk reuni keluarga. Mark Antony menyalahkan Fulvia atas kekacauan Perang Perusine. Sang suami dengan riang meninggalkannya di Yunani, tempat Fulvia jatuh sakit. Saat itu Antony dipanggil ke sebuah konferensi dengan Octavianus di Italia. Di sana, ia mendapat kabar bahwa Fulvia meninggal karena penyakitnya.
“Kematian wanita yang mengobarkan api perang karena cemburu pada Cleopatra,” tulis Appianus, “tampaknya sangat menguntungkan bagi kedua belah pihak. Mereka terbebas darinya.”
Sebagian orang percaya bahwa Fulvia mengobarkan perang saudara sebagai tanggapan atas perselingkuhan suaminya dengan Cleopatra. Ironisnya, upayanya untuk membantu Mark Antony justru tidak pernah diakui.
Jika Cleopatra percaya bahwa ia sekarang memiliki Mark Antony untuk dirinya sendiri, ia salah besar. Sebagai bagian dari pembaruan aliansi politiknya dengan Octavianus, Mark Antony setuju untuk menikahi saudara perempuan calon kaisar, Octavia.
Cleopatra pun memiliki saingan baru. Octavia cantik, berkepala dingin, dan ibu tiga anak. Ia baru saja menjadi seorang janda. Menurut banyak orang, Octavia adalah sosok yang paling luar biasa.
Mark Antony sangat antusias dengan perjodohannya. Namun ia juga tidak berusaha menyembunyikan hubungannya yang sedang berlangsung dengan Cleopatra.
Octavia dan Mark Antony segera memiliki dua orang putri, Antonia yang Tua dan Antonia yang Muda. Namun, hubungan mereka menjadi tegang karena Mark Antony sering tidak ada dan meningkatnya ketegangan dengan Octavianus.
“Jika yang terburuk terjadi dan perang pecah,” Octavia memberi tahu saudaranya dengan penuh firasat, “adalah takdir bagi salah satu dari kalian untuk menang. Dan yang lain untuk ditaklukkan. Tetapi dalam kedua kasus, hidupku akan sengsara.”
Menurut penulis biografi Mark Antony, Plutarch, Octavia meramalkan bahwa ia ditakdirkan untuk menjadi istri dari pria yang membunuh saudaranya. Atau menjadi saudara perempuan dari pria yang membunuh suaminya.
Octavia akhirnya mengambil inisiatif untuk berlayar ke Mark Antony, mengikuti jejak tindakan Fulvia. Octavianus senang saudara perempuannya pergi. Jika Mark Antony tidak menghormati saudarinya, ia jadi punya alasan untuk menyatakan perang.
Octavia tiba di timur dan mendapati setumpuk surat dari suaminya yang tidak setia. Mark Antony meminta agar Octavia tidak melanjutkan perjalanannya saat ia sedang dalam perang. Ia frustasi tetapi tidak tertipu dengan anggapan bahwa Perang Parthia membuatnya tertahan.
Octavia pun mengirim sebuah pesan sederhana kepada Mark Antony. Ke mana dia harus mengirim barang bawaan dan hadiah yang dibawanya untuk para prajurit? Kebaikannya merupakan ciri khasnya dan membuat Mark Antony senang. Sebaliknya, Cleopatra menganggapnya sebagai tipu muslihat untuk membujuknya pergi.
Karena takut Mark Antony akan meninggalkannya demi istrinya, Cleopatra berhenti makan. Ia datang kepadanya dengan wajah kurus kering setiap kali Antony mengatakan bahwa dia harus pergi. Pada satu titik, Mark Antony begitu takut Cleopatra akan bunuh diri sehingga dia menunda serangan militer.
Plutarch percaya bahwa Cleopatra berutang budi kepada Fulvia karena mengajarkan Mark Antony untuk patuh kepada wanita yang mendominasi. Meski tidak adil, tetapi orang-orang Romawi merasa semakin simpatik terhadap Octavia. Terutama setelah Mark Antony memerintahkannya untuk meninggalkan rumah mereka.
Demi menjaga harga dirinya, Octavia setuju untuk melakukannya. Ia terus mengasuh tidak hanya anak-anaknya dari Antony, tetapi juga anak-anak Antony dari Fulvia. Pada tahun 32 SM, Mark Antony menceraikan Octavia. Dia pun bebas untuk menikahi Cleopatra.
Octavia bertekad agar saudaranya tidak menggunakannya sebagai alasan untuk menyatakan perang terhadap Mark Antony. Tetapi Octavianus tidak dapat menahan diri. Kesempatan untuk mengalahkan mitra politiknya akhirnya datang.
Octavianus meminta surat wasiat Mark Antony dibacakan dengan suara keras. Mark Antony meminta untuk dimakamkan bersama Cleopatra saat ia meninggal. Ia bahkan menunjuk anak-anaknya dengan Cleopatra sebagai ahli warisnya.
Senat Romawi, yang takut akan dominasi Mesir atas Romawi, mencabut kekuasaan politik Mark Antony. Ketika pemungutan suara disahkan untuk menyatakan perang terhadap Cleopatra, ketakutan terburuk Octavianus pun terpenuhi.
Pertempuran yang menentukan terjadi antara Mark Antony dan Cleopatra dengan Octavianus. Pertempuran itu berlangsung di perairan lepas pantai Actium di barat laut Yunani pada tahun 31 SM.
Cleopatra, yang memimpin armada cadangannya sendiri, memimpin terobosan penting. Namun, pasukan Octavianus menang.
Beberapa penulis dan penyair kuno menyiratkan bahwa Cleopatra sengaja membuat Mark Antony kalah untuk mendapatkan kekuasaan sebagai mitra. Pendapat itu tidak masuk akal. Yang pasti, keduanya berencana agar dapat menghindari perbudakan di tangan Octavianus.
Bunuh diri Cleopatra dan Mark Antony menjadi salah satu bagian paling terkenal dalam sejarah dunia kuno.
Namun, yang kurang diingat adalah bahwa di hari-hari terakhirnya, Cleopatra memohon keringanan hukuman kepada Octavianus. Sang ratu Mesir kuno menawarkan untuk mengirimkan hadiah kepada istri dan saudara perempuannya. Octavia mungkin adalah saingan cintanya, tetapi Cleopatra mengakui kekuatan dan pengaruhnya.
Octavia menjadi anggota terakhir dari cinta segitiga yang bertahan. Dengan murah hati, dia setuju untuk membesarkan anak-anak Cleopatra dan Fulvia yang masih hidup. Bersama dengan anak-anaknya sendiri. Cinta menaklukkan persaingan.
Source | : | Smithsonian Magazine |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR