Nationalgeographic.co.id—Mitologi Yunani Kuno hingga sastra dan seni modern banyak mengisahkan Prometheus yang muncul sebagai penipu sekaligus pembela umat manusia.
Carol Dougherty dalam bukunya Prometheus menjelaskan bahwa cerita Prometheus versi penulis Hesiod menempatkan manusia di suatu tempat di antara dunia para dewa dan dunia binatang dalam sebuah dunia yang ditandai oleh pranata pengorbanan, pertanian, pernikahan, dan pengetahuan yang tidak sempurna tentang masa depan.
Selain itu, seksualitas dan hubungan gender memainkan peran penting dalam pemikiran tentang kondisi manusia pada saat itu. "Dengan membaca mitos Prometheus dalam konteks lintas budaya, kita dapat mengenali bagaimana mitosnya membantu menggali kedalaman budaya Yunani kuno," ungkap Dougherty.
"Ambiguitas dalam kisah ini mengartikulasikan hubungan antara manusia dan dewa, manusia dan hewan, pria dan wanita, budaya dan alam," paparnya. Prometheus juga mengungkap narasi menarik tentang kehidupan manusia Yunani Kuno: masyarakat patriarki, menggantungkan hidup pada pertanian yang langka sumber daya.
Pada zaman berikutnya di Yunani, pemberian api oleh Prometheus kepada umat manusia dianggap sebagai permulaan kemajuan, tapi Hesiod membaca mitos ini sebagai senjakala Zaman Emas. "Bagaimana tidak? gara-gara Prometheus, manusia diusir oleh para dewa dan harus berjuang menjalani hidup yang penuh rintangan," jelas Dougherty.
Kepercayaan Terhadap Prometheus di Athena
Kisah Prometheus memang menjadi karya penting di dunia sastra, namun perannya sangat kecil dalam kehidupan beragama orang orang Yunani zaman arkaik dan klasik. Lucian dari Samosata (120-80 M) menertawakan hal ini dalam karyanya yang berjudul 'Prometheus'.
Pembukaan drama 'Prometheus Bound' karya Aeschylus dibuat parodi, dialog ini berlangsung di Kaukasus di mana Hermes dan Hephaestus tengah bersiap mengikat Prometheus ke gunung. Diceritakan dengan nuansa layaknya di pengadilan, Hermes dan Hephaestus melayangkan tuduhan dan Prometheus dibolehkan membela diri.
Prometheus menyangkal bahwa dirinya menjadi biang kerok segala penderitaan, sebaliknya ulahnya justru membawa berkah. Pertanian mulai berkembang di permukaan bumi, laut-laut diarungi, dan bermunculan berbagai altar, kuil, serta perayaan agama. 'Sejauh mata memandang, terdapat kuil untuk Zeus, Apollo, Hera, dan untuk Anda, wahai Hermes. Tapi tak satu pun untuk Prometheus' (Lucian, Prometheus 14).
Meski tak terdengar gaungnya di banyak kota, namun lain di Athena. Para warga Athena mendirikan sebuah altar untuk Prometheus di Akademi, yang menjadi tempat awal dari beberapa prosesi dan acara penting dalam kalender sipil Athena.
Festival Panathenaic menjadi perayaan paling penting di Athena. Salah satu prosesi yang menandai berakhirnya festival dilakukan dengan menyalakan api menggunakan obor dari altar Prometheus yang terletak di luar kota menuju pusat kota.
Baca Juga: Prometheus si Penipu Jenaka Tapi Kurang Ajar dalam Mitologi Yunani
Sepanjang sejarah peradaban manusia, kemampuan membuat api atau meminjam istilah Rudyard Kipling yang menyebutnya sebagai 'bunga merah manusia' merupakan hal begitu menakjubkan. Begitu juga pemahaman orang Athena, pemberian api oleh Prometheus menjadi landasan sesembahan dan perayaan yang mereka lakukan.
Beda tempat lain cerita, asal-usul api di kota-kota lain juga punya kisahnya tersendiri. Orang Argos mempercayai bahwa Phoroneus, raja kuno merekalah yang 'menemukan' api.
Dalam Hymne Homeros kepada Hermes, dewa Hermes disebut sebagai sosok yang pertama kali menciptakan api dengan menggosokkan dua batang kayu kering. Tapi di Athena, Prometheus yang punya kuasanya.
Prometheus, Satir, dan Api
Perlombaan obor juga menghubungkan Prometheus dengan satir, makhluk setengah manusia setengah kuda, dan dewa Dionysus yang dikelilingi 'maenad' atau nimfa-nya. Bagian atas badan satir serupa manusia bertelinga runcing dengan bawahan tubuh kuda.
Makhluk mitologi ini digambarkan punya alat kelamin besar yang selalu tegang dan lebih mirip punya keledai daripada manusia. Sifat kebinatangannya juga mengerikan dan kelakuannya mirip aspek kunci budaya manusia (makan, minum, seks), sosoknya juga muncul dalam konteks kepercayaan, permainan, dan bergabagi praktik keagamaan.
Satir merupakan makhluk di batas ambang dunia manusia dan hewan, mereka membesar-besarkan humor untuk mengkritik lembaga dan ritual manusia. Mereka adalah tukang lawak yang nakal dan rakus, wajar jika orang Athena menyeret mereka dalam mitos Prometheus.
François Lissarrague menyebut fungsi satir untuk mempertanyakan tingkah laku budaya manusia. Sebagai tokoh penipu lokal Athena, mereka punya pandangan unik tentang pemberian api oleh Prometheus untuk orang Athena.
Sebagai bagian dari festival Dionysiac pada abad kelima, para penulis tragedi Athena membuat sandiwara satir dan dunia satir yang suka ikut campur adalah dunia yang cocok untuk kisah Prometheus. Unsur kisah Prometheus - pemberontakan, kecerdikan, dan tindakannya sebagai penyelamat umat manusia - cocok dengan tema-tema dasar sandiwara satir.
Ditilik dari judulnya saja (Cyclops, Busiris, Sciron, dll), kebanyakan sandiwara satir mengisahkan kekalahan penjahat, monster, atau penipu. Seperti mitos dan kultus Prometheus, banyak sandiwara satir juga menceritakan 'belenggu dan kebebasan' serta menciptakan kompetisi olahraga.
Sandiwara satir diambil dari kisah-kisah mitologi dan diubah melalui apa yang François Lissarrague sebut sebagai 'cermin rumah hantu' dunia satir. Satir sebagai sosok setengah manusia setengah kuda yang erotis tampil di panggung sebagai perusuh dan pencipta kekacauan untuk merusak alur cerita tragis.
Baca Juga: Prometheus Mencuri Api, Unsur Sakral Berbagai Budaya Yunani Kuno
Aeschylus pernah menyusun drama satir berjudul 'Prometheus Fire-Kindler' yang dipentaskan bersama dengan trilogi yang 'The Persians' termasuk di dalamnya pada tahun 472 SM.
Prometheus Fire-Kindler menceritakan kemenangan Prometheus atas buruan Zeus, hingga tercipta perlombaan obor untuk merayakan aksinya. Menarik untuk berargumen bahwa adegan-adegan pada lukisan bejana mungkin mengilustrasikan drama satir Promethean karya Aeschylus, tapi tak semudah itu.
Beberapa sarjana mengusulkan bahwa drama satir Aeschylus dihidupkan kembali di panggung Athena tiga puluh tahun setelah kematiannya. Meski begitu, lekatnya Prometheus dan satir tetap populer setelah kematian Aeschylus.
Bahkan para penulis berikutnya masih terus bereksperimen menuliskan kisah drama satir api Prometheus.
Cara membuat obor tahan lama dari linen dan lilin, tertuang dalam satu baris kalimat dalam "Prometheus Fire-Kindler:"dan linen, damar, serta lilitan panjang linen mentah." Plutarch mengutip cerita lucu reaksi para satir saat pertama kali melihat api, ada yang mencoba menciumnya tapi dicegah oleh Prometheus: "dasar kambing! Jenggotmu bisa kebakaran."
Sebuah fragmen papyrus juga mengabadikan hal pertama yang dilakukan satir saat punya api - mengejar para nimfa: "jika ada Naiad memanggilku, akan kukejar dia sambil berputar-putar mengelilingi api. Aku percaya pada nimfa yang bisa berjoget melakukan tarian penghormatan untuk hadiah Prometheus."
Kalimat-kalimat selanjutnya menyebut Prometheus sebagai pemberi kehidupan (pheresbios) dan pemberi hadiah (speusidoros). Jadi setelah kehadiran api, para satir dan nimfa merayakannya dengan riang gembira.
Kenakalan Prometheus jadi kisah abadi yang terus diolah sembari memahami karakter orang-orang Athena. Lantas, karakter yang bagaimana dan introspeksi budaya seperti apa yang diciptakan obor Prometheus di antara orang-orang Athena pada abad kelima waktu itu?
Mitos tentang Prometheus punya makna yang lebih spesifik, terutama dalam ingatan Athena pasca Perang Persia. Lebih dari sekadar perayaan umum tentang sifat rancu api, Aeschylus dengan kisah Prometheus membuat warga Athena merenungkan trauma mereka yang baru saja terjadi dan mengubah kenangan buruk untuk kembali bangkit bersama kecerdasan Prometheus dan Athena.
Baca Juga: Tipu Daya Prometheus dan Ritual Pengorbanan Sapi dari Yunani Kuno
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR