Pada awal tahun 1900, Pemerintah Ottoman sedang mempertimbangkan untuk menghentikan kedatangan siswa dari Jawa karena hasil yang tidak memuaskan dan pada 22 Februari tahun itu pemerintah memutuskan bahwa siswa-siswa dari Jawa yang ingin belajar di Istanbul harus membayar biaya perjalanan mereka sendiri bersama dengan beberapa biaya lainnya.
Kedatangan siswa-siswa ini di Istanbul dilaporkan oleh pers Turki serta oleh pers Belanda. Informasi tentang pendaftaran siswa-siswa ini di sekolah-sekolah Ottoman segera tersebar dan menjadi perhatian serius para pejabat di Hindia Belanda, di parlemen dan kementerian luar negeri di Den Haag serta duta besar Belanda di Istanbul.
Pers dan pejabat Belanda menganggap anak-anak tersebut sebagai elemen penting dari proyek politik Pan-Islamisme yang berpotensi berbahaya bagi kepentingan kolonial di Hindia Timur. Kekesalan ini mungkin sebagian menyebabkan tekanan untuk pencopotan konsul Kamil Bey yang terjadi pada pertengahan Oktober 1898.
Kamil Bey, bagaimanapun, terus memainkan peran penting dalam proses pengiriman siswa setelah ia meninggalkan kantor konsulat di Batavia. Selama pertemuan parlemen Belanda pada 2 Februari 1899, seorang anggota parlemen mengingatkan Menteri Luar Negeri Belanda tentang ide-ide politik yang mungkin berkembang di antara para siswa ini setelah mereka kembali ke Jawa.
Oleh karena itu, para siswa diharapkan datang ke konsulat Belanda di Istanbul dan paspor mereka diperiksa. Namun, Menteri Luar Negeri mengabaikan kekhawatiran tersebut dan menganggap bahwa isu kedatangan siswa telah dibesar-besarkan oleh pers Belanda.
Namun, pada akhir Januari, Kementerian Luar Negeri Belanda telah meminta konsul Belanda di Istanbul untuk mengumpulkan informasi tentang siswa dari Jawa.
Isu bahaya Pan-Islamisme di Mata Belanda
Setelah mengumpulkan informasi, konsul Belanda menyimpulkan bahwa isu bahaya Pan-Islamisme melalui pendidikan para siswa di Istanbul sebenarnya tidak berdasar, karena sekolah-sekolah tempat siswa-siswa ini mendaftar adalah lembaga pendidikan modern yang kurang relevan untuk penyebaran ide-ide politik semacam itu. Konsul Belanda tampaknya berpikir bahwa para siswa ini adalah orang Jawa, mungkin karena istilah “siswa Jawa” yang digunakan oleh pers Ottoman dan dokumen resmi.
Namun, hal ini dikritik oleh Snouck Hurgronje dalam suratnya kepada Pemerintah Belanda pada 22 April 1899 yang secara eksplisit mengidentifikasi bahwa para siswa ini semuanya keturunan Arab.
Para siswa pergi ke Istanbul dengan paspor yang disiapkan oleh Konsul Ottoman di Batavia. Masalah kewarganegaraan kemudian menjadi isu.
Pemerintah kolonial Belanda menempatkan Hadrami yang menetap di Hindia Belanda dalam kategori sosial Orang Asing Timur, berbeda dengan orang Eropa dan pribumi.
Baca Juga: Bagaimana Hubungan Politik Komunitas Arab di Batavia dan Ottoman?
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR