Nationalgeographic.co.id—Penambangan pasir laut secara historis dimulai pada akhir 1970-an. Semula, pasir laut di Kepulauan Riau digunakan untuk mencegah pendangkalan laut, tetapi kemudian menjadi komoditas ekonomi bagi Pemerintah Singapura.
Survei yang diungkap menunjukkan bahwa Singapura telah menggunakan sekitar 300 juta meter kubik pasir dari Indonesia untuk memperluas daratannya. Meski begitu, pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, penambangan pasir laut dilarang dilakukan untuk mencegah tenggelamnya pulau-pulau kecil akibat ekspor pasir yang tidak terkendali.
Penghentian ekspor pasir laut merupakan tindakan konkret dalam mencegah munculnya dampak lingkungan yang lebih masif dan sulit dipulihkan, yaitu hilangnya pulau-pulau kecil, terutama di lokasi pengambilan pasir laut.
Tindakan ini disertai dengan pertimbangan bahwa, jika program pencegahan kerusakan pada pulau-pulau kecil telah benar-benar terlaksana, maka pencabutan larangan ini akan ditinjau kembali.
Ekspor pasir laut dianggap membawa banyak dampak merugikan yang dapat dengan cepat mempengaruhi masyarakat setempat. Mengacu pada jurnal yang diterbitkan oleh Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, penambangan pasir laut telah dikaitkan dengan polusi, erosi, dan risiko bencana alam.
Eksplorasi pasir dapat meningkatkan risiko pencemaran lingkungan, terutama air dan udara. Pencemaran tidak hanya terjadi akibat hilangnya garis pasir yang signifikan, tetapi juga polusi air akibat aktivitas eksplorasi dan penambangan pasir laut.
Alasannya adalah, bahwa aktivitas eksplorasi sering meninggalkan jejak polusi yang dapat merusak kualitas air dan membahayakan kehidupan laut. Salah satu indikatornya dapat dilihat dari kekeruhan air laut yang berdampak negatif pada keindahan dan juga kehidupan biota laut di dalamnya.
Kerusakan daya dukung ekosistem alami
Penambangan pasir laut secara ekstensif (terutama pasir yang dekat daratan dan pasir sungai) secara substansial mengubah lingkungan fisik, kimia, dan biologi alam, khususnya sungai.
Kehadiran PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang membuka kembali keran ekspor pasir laut dikhawatirkan akan menyebabkan laju eksploitasi pasir meningkat secara eksponensial. Jika ini terjadi, risiko kerusakan signifikan dan tidak dapat dipulihkan pada habitat alami akan semakin tinggi.
Penambangan pasir yang kembali diizinkan secara hukum memiliki dampak kontraproduktif terhadap Pasal 22 PP Nomor 26 Tahun 2023 yang mengharapkan penambangan pasir yang diawasi dapat menjaga daya dukung ekosistem alami, terutama pesisir dan laut.
Baca Juga: Blue Carbon: Sedimen Dasar Laut, 'Bintang Utama' Penyerapan Karbon yang Pantang Diusik
Hal ini akan sulit untuk dilaksanakan karena penambangan pasir memang memberikan nilai ekonomi langsung bagi masyarakat sekitar. Begitu potensi ini diakui oleh masyarakat, khususnya penduduk setempat, laju pemulihan dan pengawasan kemungkinan akan tertinggal dari upaya untuk mempertahankan daya dukung ekosistem alami.
Rozi Beni dan Sharfina Milla Atsari dalam Potential Adverse Impacts Of Sea Sand Export Policy On Ecologically Sustainable Development In Indonesia yang terbit dalam jurnal Al-Daulah menyebut tantangan serupa yang terjadi di Sungai Amaravathy Chettipalayam di India dan Sungai Kelani di Sri Lanka.
"Ini adalah ilustrasi yang jelas bahwa penambangan pasir, ketika dilakukan tanpa mempertimbangkan faktor lingkungan atau dilakukan secara ceroboh, dapat membuat suatu daerah rentan terhadap banjir bandang," tulis Rozi dan Sharfina.
Penyebab utamanya adalah pendalaman dasar sungai dan berkurangnya air tanah akibat aktivitas penambangan pasir. Konsekuensinya, termasuk erosi tepi dan pendalaman saluran, dapat merusak jembatan terdekat dan struktur rekayasa lainnya.
Jika tidak ditangani, penambangan pasir laut dapat meningkatkan kerentanan terhadap bencana alam, terutama karena pengurangan daratan yang signifikan akibat penyusutan pesisir. Hilangnya daya dukung ekosistem pesisir menyebabkan wilayah tersebut menjadi rentan terhadap banjir bandang atau abrasi pantai.
"Namun, nilai ekonomi tinggi dari penambangan dan ekspor pasir adalah salah satu penyebab utama sulitnya pelaksanaan larangan penambangan pasir di sungai," lanjutnya. Pada tingkat mikro, hal ini disebabkan oleh ketergantungan masyarakat pesisir pada penambangan pasir sebagai sumber mata pencaharian.
Selain menyebabkan kekurangan air dan gangguan pada proses pertanian, penambangan pasir memiliki dampak besar terhadap ketahanan pangan. Aktivitas semacam ini juga dapat merusak terumbu karang, mangrove, dan padang lamun.
"Terumbu karang, misalnya, merupakan habitat yang sangat penting bagi beberapa spesies laut, termasuk ikan, kepiting, dan udang. Aktivitas eksplorasi ini dapat merusak lanskap dan mengubah lingkungan visual," papar Rozi dan Sharfina.
Kegiatan eksplorasi pasir yang tidak terkendali dapat menghasilkan gundukan pasir dan lubang besar yang dapat mengubah anatomi dan lanskap lingkungan, termasuk nilai estetika dan sejarah yang penuh jejak masa lalu.
Akibatnya, gangguan pada lanskap dapat berdampak negatif terhadap daya tarik pariwisata dan aktivitas ekonomi lainnya yang bergantung pada keindahan alam. Terutama jika pulau-pulau kecil hilang akibat aktivitas eksploitasi pasir laut.
Oleh karena itu, operasionalisasi pembangunan berkelanjutan secara ekologis yang disertai dengan perencanaan, pengawasan, dan pelaksanaan yang berkelanjutan dan holistik memainkan peran yang sangat penting dalam menjaga ekosistem laut, terutama terkait dengan integritas wilayah darat dan laut Indonesia.
Baca Juga: Tambang Pasir Laut Buat Nelayan Habiskan Waktu 15 Kali Lebih Lama untuk Tangkap Ikan
Penambangan Pasir Pantai di Pulau Morotai
Penambangan pasir telah dilakukan di lahan petani di sepanjang kawasan pesisir pantai Desa Momujiu dan Sabatai Kecamatan Morotai Selatan, Kabupaten Pulau Morotai. Secara umum daerah ini merupakan tutupan vegetasi hutan pantai yang didominasi oleh tanaman kelapa, pala, ketapang, dan tumbuhan lainnya.
Kegiatan Penambangan pasir kawasan pesisir pantai ini telah berlangsung lama hingga menghasilkan dampak nilai ekonomi, sosial, dan lingkungan fisik untuk masyarakat kawasan pesisir pantai,
Hal ini diungkap oleh Irfan H. Abd Rahman dan Parto Sumtaki dalam Analisis Dampak Penambangan Pasir Pantai Terhadap Kerusakan Lingkungan Fisik di Kecamatan Morotai Selatan Kabupaten Pulau Morotai yang dimuat jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan.
Tak hanya itu, penambang pasir juga dilakukan untuk menyuplai kebutuhan pasir untuk pembangunan di Kabupaten Pulau Morotai, Kecamatan Morotai Selatan. "Pemilik kawasan pesisir pantai ini merupakan masyarakat asli Morotai yang bermukim di desa Momujiu dan Sabatai," tulis Irfan dan Parto.
Dulunya pemilik kawasan pesisir ini dijadikan sebagai lahan kebun kelapa kemudian lama-kelamaan diubah dengan lahan penambangan pasir.
"Berdasarkan hasil penelusuran di lapangan, ada sekitar 13 pemilik lahan yang masuk dalam kawasan pesisir pantai yang memberikan lahan mereka untuk dijadikan tempat penambangan pasir. Selanjutnya hasil penjualan akan dibagikan sama banyak kepada setiap keluarga yang punya hak," jelas mereka.
Meski begitu, perubahan lingkungan akibat kegiatan pertambangan yang bersifat permanen tidak dapat dihindarkan. Berdasarkan observasi, maka dapat dideskripsikan dampak negatif penambangan pasir akibat kerusakan di kawasan pesisir pantai kecamatan morotai selatan, yakni bekas penambangan pasir dengan diameter mencapai 30- 50 meter dan kedalaman sampai 3-4 meter di sepanjang pesisir pantai.
Kemudian bekas penambangan ini terjadi genangan air, akibatnya menjadi sarang jentik-jentik nyamuk yang berpotensi terjadinya perkembangbiakan penyakit malaria.
Kemudian terjadi kerusakan ekosistem pantai sebagai akibat hilangnya hutan pantai hal ini ditunjukkan dengan tumbangnya pohon-pohon kelapa, ketapang, dan lainnya. Padahal posisi hutan pantai sepanjang kawasan pesisir pantai secara ekologi merupakan tameng alam yang sangat berguna untuk menahan lajunya gempuran ombak, intrusi air laut yang masuk ke daratan dan aktivitas abrasi laut.
Selain itu, ada kerusakan jalan tani antar lahan petani dan pesisir pantai. Jalan sekitar pesisir pantai digunakan oleh warga sekitar sebagai jalan penghubung masyarakat yang bertani antara desa Momujiu dan Sabatai.
Jalan pesisir tersebut kondisinya sangat rusak sehingga dapat membahayakan bagi pengendaraan bermotor petani maupun masyarakat pada umumnya. Kegiatan pengangkutan penambangan pasir di kawasan pesisir pantai yang menggunakan angkutan truk membawa pasir yang kapasitas yang banyak dan membebani jalan petani kemudian lintas antara desa.
Selain itu juga pengangkutan bobot beban yang berlebihan akan dapat menimbulkan kecelakaan lalu lintas terutama di lokasi lahan tani maupun jalan utama.
Kegiatan penambangan pasir di kawasan pesisir pantai Kecamatan Morotai Selatan yang dilakukan selama ini mengakibatkan perubahan kondisi fisik sepanjang bibir pantai berupa banyaknya cekungan atau lubang bekas penambangan pasir. Sehingga menimbulkan tingkat abrasi pantai yang tinggi di wilayah pesisir pantai.
Perubahan garis pantai yang semakin menjorok ke daratan di beberapa lokasi garis pantai semakin mendekati pemukiman warga desa Sabatai Baru. Kerusakan fisik pantai sekaligus akan mengurangi nilai keindahan atau estetika pantai yang selama ini menjadi sala satu komoditas andalan kepariwisataan di Kecamatan Morotai selatan.
Tingkat kerusakan lingkungan fisik lebih tinggi, dari perbandingan yang cukup para dengan angka presentasi 71% rusak berat dan 29% rusak ringan. Penelitian tahun 2020 tersebut menemukan bahwa kegiatan penggalian pasir memberikan dampak yang cukup signifikasi terhadap keberlangsungan fungsi ekologi dari ekosistem hutan pantai, di mana hutan pantai akan mengalami degradai yang cukup tinggi hingga mencapai angka berhektar pada beberapa tahun kemudian.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR