Nationalgeographic.co.id—Mitologi Yunani Kuno hingga sastra dan seni modern banyak mengisahkan mitos Prometheus, dewa Yunani yang menantang dan mencuri api Zeus untuk umat manusia.
Secara umum mitologi Yunani Kuno memang mudah diadaptasi ke dalam teks dan konteks yang baru atau berbeda sama sekali, tapi melebihi semua itu Prometheus adalah mitos yang luar biasa fleksibel.
Saking fleksibelnya mitos Prometheus, kita perlu melihat ke membandingkan beberapa naskah untuk meraba-raba jalan cerita mitos Prometheus pada Yunani kuno.
Sebut saja puisi Homer yang tidak memuat mitos Prometheus, sehingga kita harus mencari dewa Yunani pencuri api itu untuk kali pertama pada karya penyair kuno Hesiod.
Hesiod mengisahkan Prometheus dalam dua karya puitis: Theogony dan Works and Days. Dalam Theogony, Hesiod menjelaskan bahwa Prometheus membantu umat manusia melakukan ritual pengorbanan dengan menipu Zeus agar tidak medapat bagian tulang sapi—melainkan dagingnya.
Ketika Zeus menyembunyikan api dari manusia sebagai hukuman, Prometheus mencurinya kembali dari dewa-dewa Olympian dan memberikannya kepada manusia. Akibatnya ia dan umat manusia mendapat hukuman berat.
Dalam Works and Days, Hesiod menceritakan secara lebih rinci bagaimana Zeus menurunkan wanita pertama, Pandora, kepada manusia sebagai balasan pencurian api, dan dalam Theogony, ia menceritakan bagaimana Prometheus diikat ke pegunungan Kaukasus di mana seekor elang mencucuk dan memakan habis hatinya yang terus-menerus tumbuh kembali di setiap malam hari hingga tiba hari pembebasan saat Heracles muncul.
Prometheus versi penyair Yunani Hesiod adalah sosok penipu yang jadi biang kerok masyarakat Yunani Kuno hidup menderita, sementara pada abad ke-5 SM, mitos Prometheus membuat penyair dan filsuf Athena untuk berpikir lebih positif tentang revolusi (baik politik maupun intelektual) dan kemajuan manusia menuju kehidupan yang lebih beradab dan sejahtera.
Beralih ke periode Romantis, peran ganda Prometheus sebagai pemberontak dan pencipta umat manusia juga mengaduk-aduk imajinasi para penyair dan penulis Eropa.
Meskipun Prometheus tidak sepenuhnya dilupakan selama tahun-tahun antara dua masa itu — dalam tradisi Kristen awal, Prometheus disatukan dengan Kristus sebagai simbol penderitaan manusia, dan menjadi acuan penting bagi sosok Satan dalam Paradise Lost karya Milton — karakter pemberontak nan cerdik ini membuat Prometheus cocok bagi para penyair kecewa atas Revolusi Prancis, sehingga mencari 'superhero' di panggung politik dan seni.
Berawal di Jerman dan Inggris pada 1790-an, gerakan Romantis yang berfokus pada kreativitas, imajinasi, dan kebebasan, menyebar ke seluruh Eropa antara tahun 1800 dan 1830.
Baca Juga: Berada di Antara Dua Dunia, Prometheus 'Ajarkan' Makna Menjadi Manusia
Ada beberapa penulis berpengaruh di akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 yang menganggap Prometheus sebagai inspirasi kunci dalam visi imajinatif mereka untuk mengubah dunia.
Bagi Goethe, Byron, dan keluarga Shelley, Prometheus adalah pembangkang penguasa, simbol penderitaan sekaligus pencipta umat manusia.
Prometheus Goethe dan Kreativitas Seni
Johann Wolfgang Goethe (1749–1832) yang hidup pada ambang Romantisisme Eropa, membuat gebrakan awal dengan menerbitkan novel The Sorrows of Young Werther pada usia 25 tahun (1774).
Masa kejayaan Goethe atas kesuksesan berbagai karya-karyanya menjadikannya "perwujudan seni Jerman yang" pada abad ke-19. Setelah Jerman bersatu dalam betuk kekaisaran pada tahun 1871, universalisme dan kosmopolitanisme yang terkandung dalam karya-karya Goethe mampu melepaskan orang Jerman dari patriotisme lokal dan menemukan identitas baru sebagai negara-bangsa.
Carol Dougherty dalam bukunya Prometheus menyebutkan bahwa sepanjang karier Goethe, mitos Prometheus muncul secara berkala. Pada tahun 1773, ia menulis dua babak drama berjudul Prometheus (yang diterbitkan pada tahun 1830).
"Dalam drama tersebut, Prometheus menjadi putra Zeus yang memberontak dan bersikeras menciptakan dunia manusia dengan caranya sendiri. Prometheus juga mengajarkan manusia cara menghadapi kehidupan duniawi," tulis Carol.
"Pada tahun berikutnya, ia menyusun ode liris untuk Prometheus dengan tema serupa. Prometheus juga memengaruhi karya paling terkenal lainnya yang berjudul Faust."
"Baik Prometheus ataupun Faust punya karakter sama-sama sebagai pencipta, pemberontak, dan pendukung umat manusia, setelah sebelumnya menjadi pelayan setia Tuhan yang berpaling dan kemudian didamaikan dengan kekuatan ilahi," paparnya.
Pada tahun 1808, dalam sebuah epik mengenai hakikat umat manusia berjudul Pandora, Goethe mengadaptasi peran Prometheus sebagai simbol dari konflik abadi antara dewa-dewa dan manusia untuk menggambarkan pertarungan kekuatan di dalam diri manusia.
Selain karya-karya puisi ini, Goethe memakai saripati mitos Prometheus untuk merenungkan kehidupannya sendiri sebagai penyair. Pada tahun 1813–1814, dalam sebuah karya berjudul Poetry and Truth, Goethe menjelaskan bahwa Prometheus baginya merupakan sosok jenius yang menjembatani antara para dewa dan manusia.
Baca Juga: Plato Ubah Mitos Prometheus hingga Jadi Alat Gerakan Intelektual Revolusioner
Prometheus memberikan pengaruh kuat pada Goethe sebagai seniman, hingga ia berkata: “Dongeng Prometheus hidup dalam diriku.” Goethe merasa Prometheus memberikannya kekuatan di tegah rasa keterasingannya dari estetika sastra, agama, dan politik.
Khususnya, penciptaan umat manusia oleh Prometheus yang membantu Goethe menjelajahi kemungkinan dan batasan proses kreativitas berkarya.
Meskipun Prometheus meresap dalam semua karya-karya Goethe, ada yang paling menonjol yakni dalam himne free-verse untuk Prometheus (1773).
Puisi tersebut mencemooh kekuatan Jupiter dan, sebagai gantinya, memuji kreativitas manusia. Puisi itu disusun sebagai dialog antara Prometheus dan Jupiter, tapi Jupiter sama sekali tak berbicara. Absennya suara Jupiter ini menunjukkan bahwa sang dewa memang tidak punya belas kasihan terhadap umat manusia.
Satu-satunya suara dalam puisi itu adalah suara Prometheus yang menantang dalam kesepian terhadap para dewa:
"Aku harus menyembahmu? Untuk apa?
Pernahkah kau meringankan derita umat manusia yang tertekan?
Pernahkah kau menenangkan tangisan manusia yang ketakutan?"
Prometheus meremehkan otoritas dewa yang tak pernah hadir utuk manusia dan menekankan penderitaan manusia yang begitu mendalam karena Jupiter tak punya belas kasihan.
Dengan cara ini, Goethe menampilkan ketegasan Prometheus dalam peperangan antara dewa dan manusia demi kepentingan manusia.
Seperti yang diargumenkan Carl Kerenyi, Prometheus di sini digambarkan sebagai "prototipe manusia yang tegas dan menerima nasibnya tanpa tunduk atau menyerah."
Baca Juga: Politik Identitas Athena Abad ke-5 'Dicampuri' Mitos Prometheus
Sementara para dewa tak peduli terhadap penderitaan manusia, Prometheus telah memodelkan keberadaan manusia berdasarkan dirinya sendiri. Puisi tersebut diakhiri dengan:
"Di sini aku duduk, menciptakan manusia seperti dalam anganku,
Suatu ras yang serupa denganku: Untuk menderita, untuk menangis,
Untuk merasa, untuk berbahagia – dan tak pernah mengindahkanmu, Seperti aku!"
Prometheus versi Goethe yang menantang para dewa menjadi cikal bakal umat manusia yang juga suka memberontak. Seperti Faust versi Goethe, Prometheus tidak gentar diabaikan oleh para dewa, melainkan merangkul keadaan ini, karena memiliki kekuatan untuk mencipta seperti dalam angannya.
Prometheus mengekspresikan kekuatan kreatif ilahi yang melekat pada manusia, puisi ini disebut oleh seorang kritikus sebagai "teks paling egosentris dalam sejarah sastra Jerman." Tak hanya puisinya, sosok Goethe sendiri dengan kejeniusannya berpuisi mampu menciptakan dirinya sendiri melalui puisinya.
Melalui Prometheus, manusia, dan tentu saja Goethe sendiri, dapat mengambil bagian dalam proses kreatif – dan itulah, mungkin, tindakan pemberontakan yang tertinggi.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR