Nationalgeographic.co.id—Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa remaja seringkali terlihat lesu dan lelah? Pertanyaan ini kerap muncul di benak orang tua, guru, dan para remaja sendiri.
Sebuah studi terbaru yang melibatkan Universitas Pennsylvania dan Universitas York di Amerika Serikat telah mengungkap fakta mengejutkan: kelelahan pada remaja ternyata memiliki dampak yang lebih luas dari sekadar kesulitan berkonsentrasi atau belajar.
Hingga 40% remaja sehat melaporkan mengalami kantuk yang cukup sering. Kondisi ini tidak hanya mengganggu aktivitas belajar mereka di sekolah, tetapi juga berpotensi memicu perilaku yang tidak diinginkan.
Penelitian yang dilakukan oleh kedua universitas tersebut menunjukkan adanya korelasi antara kelelahan pada remaja dengan peningkatan kecenderungan melakukan tindakan anti-sosial.
Remaja yang sering merasa lelah cenderung lebih sering berbohong, menipu, mencuri, bahkan terlibat dalam perkelahian.
Meskipun berbagai penelitian sebelumnya telah menyoroti masalah tidur pada remaja, studi ini memberikan pemahaman yang lebih mendalam.
Alih-alih hanya mengukur seberapa sering seorang remaja merasa ngantuk di siang hari, penelitian ini menggali lebih jauh tentang dampak kelelahan terhadap perilaku remaja. Hasilnya sangat signifikan dan menggarisbawahi pentingnya mengatasi masalah kelelahan pada remaja secara serius.
"Ini adalah penelitian pertama yang kami ketahui yang menunjukkan bahwa kantuk di siang hari selama masa remaja dikaitkan dengan tindak kriminal 14 tahun kemudian," ujar Profesor Adrian Raine dari Richard Perry University seperti dilansir dari laman Tech Explorist.
Awalnya, para peneliti mengamati berbagai studi yang telah dilakukan sebelumnya, di mana mereka mencatat berbagai perilaku sekaligus selama 39 tahun.
Misalnya, studi-studi ini seringkali menghubungkan antara kualitas tidur dengan masalah perilaku pada anak-anak. Namun, para ilmuwan ini tidak berhenti sampai di situ.
Mereka ingin mengetahui lebih jauh, apakah kebiasaan tidur saat remaja memiliki dampak jangka panjang pada perilaku seseorang ketika sudah dewasa.
Baca Juga: Heraia, Perlombaan Lari Khusus Remaja Putri dalam Sejarah Yunani Kuno
Untuk menjawab pertanyaan ini, para ilmuwan melibatkan 105 remaja laki-laki berusia 15 tahun dalam penelitian mereka. Para remaja ini diminta untuk menilai tingkat kantuk mereka menggunakan skala khusus.
Skala ini memiliki 7 poin, di mana poin pertama menunjukkan tingkat kewaspadaan yang sangat tinggi, seolah-olah mereka sedang sangat fokus dan berenergi.
Sebaliknya, poin ketujuh menunjukkan tingkat kantuk yang sangat dalam, di mana mereka bahkan bisa tertidur saat mendengar suara nada yang diputar melalui headphone.
Raine mengatakan, "Ini mewakili fungsi perhatian otak."
Selanjutnya, para ilmuwan mengumpulkan informasi tentang perilaku anti-sosial dari dua sumber utama. Pertama, mereka meminta para remaja untuk melaporkan sendiri perilaku-perilaku menyimpang yang pernah mereka lakukan.
Namun, mengingat kecenderungan remaja untuk menyembunyikan atau meremehkan tindakan yang tidak mereka banggakan, para ilmuwan juga mencari data dari sumber kedua, yaitu guru-guru mereka.
Para guru yang terlibat dalam penelitian ini dipilih secara khusus. Mereka adalah guru yang telah mengajar para remaja tersebut selama minimal empat tahun.
Dengan demikian, para guru memiliki pemahaman yang mendalam tentang perilaku para siswa mereka. Laporan dari para guru ini sangat berharga, terutama untuk mengkonfirmasi atau melengkapi informasi yang diberikan oleh para remaja.
Hal yang menarik adalah, dalam penelitian ini, laporan dari para remaja dan guru menunjukkan tingkat kesesuaian yang cukup tinggi. Artinya, baik para remaja maupun guru mereka cenderung memberikan laporan yang serupa mengenai perilaku anti-sosial yang dilakukan oleh para remaja.
Ini merupakan temuan yang cukup unik, karena seringkali terdapat perbedaan yang signifikan antara persepsi diri remaja dengan persepsi orang lain tentang mereka.
Setelah mengumpulkan data tentang perilaku anti-sosial pada masa remaja, para ilmuwan kemudian melacak perkembangan para peserta hingga mereka berusia 29 tahun.
Baca Juga: Dunia Hewan: Orca Menenggelamkan Kapal untuk Bersenang-senang bagai Remaja Iseng
Mereka mencari catatan kriminal para peserta di Kantor Catatan Kriminal Pusat di London. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara perilaku anti-sosial pada masa remaja dengan kemungkinan terlibat dalam tindakan kriminal di masa dewasa.
Hasilnya menunjukkan bahwa 17% dari peserta penelitian memiliki catatan kriminal pada usia 29 tahun. Temuan ini semakin memperkuat hipotesis awal para ilmuwan, yaitu bahwa kurang tidur pada masa remaja dapat menjadi faktor risiko terjadinya perilaku kriminal di masa dewasa.
Dengan kata lain, data-data tersebut berhasil mengungkap hubungan yang signifikan antara status sosial ekonomi, kurang tidur pada masa remaja, dan kecenderungan terlibat dalam tindak kriminal di kemudian hari.
Data-data tersebut juga menunjukkan bahwa remaja yang berasal dari latar belakang sosial ekonomi yang kurang mampu dan mengalami kesulitan sosial sejak dini cenderung lebih sering merasa kantuk di siang hari.
Para peneliti mengilustrasikan hubungan ini dengan sebuah analogi: sebuah rantai yang menghubungkan satu peristiwa ke peristiwa lainnya.
Mereka berhipotesis bahwa kurang tidur pada remaja yang berasal dari latar belakang sosial ekonomi rendah disebabkan oleh berbagai faktor, seperti lingkungan yang tidak kondusif untuk tidur nyenyak, stres akibat kondisi sosial ekonomi yang sulit, atau bahkan masalah kesehatan mental yang belum terdiagnosis.
Kurang tidur kemudian berdampak pada fungsi otak, menyebabkan kesulitan konsentrasi, penurunan kemampuan kognitif, dan gangguan perilaku. Kondisi ini dapat memperburuk masalah sosial yang sudah ada sebelumnya, sehingga membentuk lingkaran setan yang sulit diputus.
Dalam jangka panjang, remaja yang mengalami masalah ini berisiko lebih tinggi untuk terlibat dalam tindakan kriminal.
Temuan ini menunjukkan bahwa tidur yang cukup merupakan faktor penting dalam mencegah terjadinya perilaku kriminal.
Dengan memberikan perhatian yang lebih pada kualitas tidur remaja, terutama mereka yang berasal dari latar belakang sosial ekonomi yang kurang mampu, kita dapat membantu mereka tumbuh menjadi individu yang lebih baik.
Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa masalah kejahatan memiliki akar yang kompleks, penelitian ini menunjukkan bahwa solusi yang sederhana seperti memastikan remaja mendapatkan tidur yang cukup dapat memberikan dampak yang signifikan.
Dengan mendorong remaja untuk tidur lebih awal dan menciptakan lingkungan tidur yang kondusif, kita dapat mengurangi risiko terjadinya masalah perilaku di kemudian hari.
"Tidur lebih banyak tidak akan menyelesaikan kejahatan, tetapi mungkin bisa sedikit mengurangi," pungkas Raine.
KOMENTAR