Nationalgeographic.co.id—Dengan mata bulat besar yang berkilau di kegelapan malam, tarsius Filipina telah memikat hati banyak orang. Primata mungil ini, anggota keluarga Tarsiidae, telah menjadi ikonik dengan penampilannya yang unik, seringkali dibandingkan dengan karakter fiksi seperti ET atau Yoda.
Tubuhnya yang kecil, jari-jari panjang, dan gerakannya yang lincah membuat tarsius menjadi salah satu makhluk paling menarik di dunia satwa.
Sayangnya, pesona tarsius justru menjadi ancaman bagi keberlangsungan hidupnya. Permintaan yang tinggi sebagai hewan peliharaan eksotis telah mendorong perburuan liar terhadap tarsius.
Bayangkan saja, makhluk kecil yang seharusnya bebas melompat dari dahan ke dahan dipaksa hidup dalam kurungan sempit dan dipajang untuk kepentingan komersial.
Selain itu, tekanan dari pariwisata juga mengancam keberadaan tarsius. Wisatawan yang ingin berfoto bersama tarsius seringkali mengganggu habitat mereka dan menyebabkan stres pada hewan-hewan ini.
Hilangnya habitat akibat deforestasi dan perambahan hutan semakin memperparah keadaan. Tarsius sangat bergantung pada hutan primer sebagai tempat tinggalnya.
Kerusakan hutan tidak hanya mengurangi ketersediaan makanan, tetapi juga memisahkan populasi tarsius sehingga sulit bagi mereka untuk berkembang biak. Belum lagi, polusi suara dan cahaya dari aktivitas manusia juga mengganggu pola hidup alami tarsius yang nokturnal.
Sepert dilansir Discover Wild Life, ancaman-ancaman tersebut telah mendorong tarsius Filipina masuk dalam daftar merah spesies terancam IUCN dengan status "Terancam". Ini adalah peringatan serius bahwa jika tidak ada tindakan konservasi yang efektif, kita berisiko kehilangan salah satu keajaiban alam yang dimiliki oleh negara kita.
Hasil survei yang mengkhawatirkan
Gunung Matutum, yang menjulang megah di Tupi, South Cotabato, Filipina, telah lama dikenal sebagai benteng terakhir bagi salah satu primata terkecil dan paling unik di dunia: tarsius.
Menyadari pentingnya melindungi spesies endemik ini, Departemen Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (DENR) Filipina pada tahun 2013 mengambil langkah signifikan dengan mendirikan Suaka Tarsius di lanskap terlindungi gunung ini.
Baca Juga: Merdu! Ternyata Nyanyian Duet Tarsius Bagai Coloratura Musik Opera
Keputusan berani ini didasarkan pada hasil survei awal yang menunjukkan keberadaan populasi tarsius yang cukup sehat di kawasan tersebut.
Sebuah bab baru dalam upaya pelestarian tarsius di Gunung Matutum kemudian ditulis oleh organisasi non-pemerintah Endangered Species International (ESI).
Selama periode September 2023 hingga Juni 2024, ESI melakukan inventarisasi populasi tarsius secara intensif. Selama 54 hari, para peneliti menjelajahi area seluas 815 hektar yang mencakup sebagian besar Suaka Tarsius (509 hektar) dan wilayah sekitarnya (209 hektar).
Survei mendalam ini bertujuan untuk memperoleh data terkini mengenai populasi tarsius, persebaran, serta ancaman yang dihadapi oleh spesies mungil ini.
Hasil survei tersebut mengungkap fakta mengejutkan mengenai populasi tarsius Filipina di Suaka Tarsius, Gunung Matutum. Studi ini mengungkapkan penurunan drastis jumlah individu tarsius hingga sekitar 50% dibandingkan dengan survei awal yang dilakukan pada tahun 2012/2013.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, para peneliti tidak menemukan satupun bayi tarsius selama periode pengamatan terbaru, sebuah indikasi kuat bahwa populasi tarsius di kawasan ini sedang mengalami krisis reproduksi.
Jika pada survei 2012/2013 para peneliti berhasil mencatat 33 individu tarsius dalam kurun waktu 54 hari, maka pada survei terbaru ini, jumlah tersebut menyusut drastis menjadi hanya 5 individu.
Perbandingan ini menunjukkan penurunan populasi yang sangat signifikan dan mengisyaratkan adanya ancaman serius yang mengintai keberadaan tarsius di habitat alaminya.
Oleh karena itulah dibandingkan dengan survei awal tahun 2012/2013 yang hanya dilakukan di dalam Suaka Tarsius, survei terbaru mencakup area yang lebih luas.
Melalui cara ini, para konservasionis yang menemukan lebih sedikit tarsius di dalam suaka, berharap dapat melihat apakah mereka dapat menemukan lebih banyak di luar batas suaka.
Sayangnya, upaya untuk menemukan populasi tarsius di luar batas suaka juga tidak membuahkan hasil yang signifikan.
Baca Juga: Penemuan Dua Spesies Baru Tarsius di Sulawesi
Pierre Fidenci, pendiri dan presiden ESI, pun pada akhirnya harus menyampaikan sebuah kesimpulan yang menyedihkan dari hasil yang dilakukan oleh timnya.
"Berdasarkan semua penampakan, kami memperkirakan populasi tarsius Filipina di bawah 15 individu di Suaka Tarsius dan hanya sampai 21 individu tarsius untuk total 815 hektar," ujar Fidenci.
Padahal, pada survei 2012/2013, jumlah tarsius yang ditemukan di area Suaka Tarsius saja sudah mencapai 40 ekor.
Selain itu, Fidenci juga menyampaikan kabar buruk lain, "Kami tidak menemukan bayi tarsius selama survei 2023/2024, padahal kami menemukan bayi tarsius beberapa kali dalam survei pertama pada tahun 2012/2013."
Beragam gangguan yang wajib disingkirkan
Fidenci pun menyampaikan kekhawatiran mendalam terkait penurunan drastis populasi tarsius Filipina tersebut. "Situasi ini sangat mengkhawatirkan," tegasnya, "pasalnya, kita tahu bahwa habitat-habitat yang masih tersisa untuk tarsius di Filipina semakin terbatas."
Ancaman terhadap keberadaan primata mungil ini semakin kompleks dengan meningkatnya laju deforestasi, polusi suara, dan polusi cahaya, yang semakin mengintensifkan tekanan pada populasi tarsius.
Fidenci meyakini bahwa penurunan populasi tarsius di Suaka Gunung Matutum tidak lepas dari perubahan signifikan yang terjadi di komunitas desa sekitar, terutama di Purok Bagong Silang.
Desa B'laan ini, yang terletak di dalam kawasan suaka, mengalami transformasi yang cukup drastis setelah terhubung dengan jaringan listrik pada akhir tahun 2016.
Sebelumnya, masyarakat desa hidup dalam kegelapan malam, namun kini mereka dapat menikmati penerangan listrik yang memadai dan mengoperasikan berbagai peralatan elektronik.
"Pembangunan ini memungkinkan penduduk desa menggunakan lampu listrik pada malam hari dan mengoperasikan peralatan keras, seperti radio dan televisi, pada siang hari," papar Fidenci.
Baca Juga: Spesies Primata Unik Ditemukan di Filipina
Cahaya buatan tersebut dapat mengganggu ritme sirkadian tarsius, yang merupakan hewan nokturnal, serta mengacaukan ekosistem malam yang menjadi habitat bagi berbagai jenis serangga yang menjadi makanan utama tarsius.
Selain itu, peningkatan aktivitas manusia di malam hari akibat penggunaan listrik juga dapat menyebabkan peningkatan tingkat kebisingan yang mengganggu aktivitas tarsius dalam mencari makan dan berkomunikasi.
Tarsius, dengan sensitivitasnya yang tinggi terhadap cahaya, memang rentan terhadap gangguan lingkungan lainnya. "Polusi suara di siang hari, ketika tarsius biasanya tidur, mungkin telah menyebabkan gangguan tidur yang berdampak negatif pada kesejahteraan dan perilaku tarsius," jelas Fidenci.
Gangguan tidur ini berpotensi menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap kesejahteraan dan perilaku tarsius, mengancam keberlangsungan hidup spesies unik ini.
Selain masalah polusi suara dan cahaya, habitat tarsius di Lanskap Terlindungi Gunung Matutum juga mengalami tekanan akibat perambahan dan aktivitas pertanian.
Fidenci menyuarakan keprihatinan mendalam terhadap kondisi ini dan mendesak dilakukannya tindakan segera, tidak hanya di Gunung Matutum, tetapi juga di seluruh wilayah persebaran tarsius di Filipina.
Seperti dipaparkan diatas, data telah menunjukkan penurunan populasi tarsius Filipina di Suaka Tarsius secara signifikan selama satu dekade terakhir. Tren penurunan ini menjadi alarm bagi para konservasionis dan peneliti, menggarisbawahi urgensi penerapan langkah-langkah konservasi yang komprehensif.
Untuk menyelamatkan tarsius dari kepunahan, Fidenci mengusulkan beberapa langkah strategis. Pertama, restorasi habitat menjadi kunci. Penanaman kembali pohon-pohon asli akan membantu memulihkan ekosistem yang rusak dan menyediakan habitat yang lebih baik bagi tarsius.
Kedua, perambahan ilegal harus dihentikan dan penegakan hukum di dalam kawasan lindung harus diperkuat. Ketiga, upaya pengurangan kebisingan perlu dilakukan untuk menciptakan lingkungan yang lebih tenang bagi tarsius.
Terakhir, mendorong penerapan pertanian organik ekologis di sekitar kawasan lindung dapat membantu mengurangi dampak negatif aktivitas manusia terhadap habitat tarsius.
Peningkatan populasi manusia dan aktivitasnya, termasuk polusi suara yang semakin mengusik ketenangan Suaka Tarsius, telah menciptakan ancaman serius bagi kelangsungan hidup spesies ini. Oleh karena itu, upaya konservasi yang terpadu dan berkelanjutan menjadi sangat penting untuk memastikan kelestarian tarsius Filipina dan menjaga keanekaragaman hayati di negara tersebut.
Fidenci menegaskan, "Peningkatan populasi manusia, termasuk polusi suara di dalam Suaka Tarsius, sangat merugikan kelangsungan hidup spesies tersebut."
KOMENTAR