"Orang-orang Afrika yang diperbudak seringkali hanya diberi makan sekali atau dua kali sehari selama berada di geladak, dan kualitas serta jumlah makanan berkurang seiring pelayaran yang panjang," imbuh Bell.
Belum lagi para budak Afrika secara tragis diberi jatah air yang tidak mencukupi dengan kebutuhan minum mereka yang layak. Hal ini menyebabkan mereka mengalami dehidrasi dan diare.
Selain wabah penyakit yang menggerogoti kesehatan mereka, secara perlahan kondisi yang buruk juga menggerogoti kewarasan para budak di geladak kapal yang terombang-ambing sekitar 80 hari.
Brendan Wolfe menulis kepada Encyclopedia Virginia dalam artikel berjudul Slave Ships (2012), menyebut jika sakit mental menjadi momok berikutnya yang membunuh para budak di geladak kapal yang mengerikan.
Bagi kapten dalam kapal budak, menjaga ketertiban dalam kapal menjadi sangat penting. Namun, sering kali, pendisiplinan di atas kapal budak menjadi keterlaluan. Pengekangan dan diskriminasi malah memunculkan pemberontakan budak.
Kapten berusaha keras meredam pemberontakan dengan caranya yang tidak lazim. Bagi budak yang tertuduh dalam pemberontakan akan dikenai cambuk ekor sembilan (cambuk yang terdiri dari sembilan tali yang diikatkan pada gagang) dan cambuk kuda.
Kekerasan yang sering dilihat secara umum di atas geladak kapal, tak pelak membuat suasana menjadi kacau akibat perkelahian. Tak sedikit juga dari mereka yang mengalami sakit mental, memilih untuk bunuh diri.
Selain kekerasan, contoh ekstrem terjadi di atas kapal budak Zong pada tahun 1781. Selama beberapa hari, para awak kapal—atas desakan sang kapten—mengikat dan membuang 122 orang Afrika yang masih hidup ke laut.
"Hal ini dilakukan tampaknya karena sang kapten khawatir akan wabah penyakit, dan pemilik kapal bertanggung jawab atas semua kematian yang berhubungan dengan penyakit," imbuh Brendan.
Selain 122 tawanan yang dilempar ke laut, sepuluh orang lainnya bunuh diri dan enam puluh orang meninggal karena penyakit, sehingga mengurangi muatan manusia kapal dari 470 menjadi 278.
Orang Afrika di kapal budak hidup dalam teror. Banyak dari mereka telah dipisahkan dari teman-teman, keluarga, dan komunitas mereka ketika pertama kali ditangkap, dan kemudian dipisahkan lagi di atas kapal.
Akibat teror yang membuat mereka stres, beberapa budak memilih untuk bunuh diri dengan melompat ke laut, sementara yang lain menolak untuk makan.
Kru kapal sering memperlakukan para pemogok makan dengan kekejaman khusus demi mencegah virus yang menyebar demi memperkuat imun mereka. Namun, caranya terbilang ekstrem.
Beberapa pemaksaan dilakukan oleh para kru kapal, termasuk diberi makan dengan bantuan spekulum oris, alat berbentuk gunting dengan bantuan sekrup ibu jari, memaksa rahang mereka terbuka untuk dijejali makanan.
Setelah mencapai daratan Dunia Baru, Amerika, orang-orang Afrika yang selamat hingga tiba di pelabuhan mulai dibersihkan. Mereka dilumuri minyak kelapa sawit untuk mempercantik penampilan mereka untuk dijual di pasar-pasar pelabuhan.
Source | : | Journal of African American History |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR