Nationalgeographic.co.id - Sebagai gunung vulkanik teraktif di Jawa, Merapi sangat dihormati masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta yang tinggal di sekitarnya. Alih-alih sebagai bentang alam, warga sekitar Merapi menganggap bahwa gunung tersebut merupakan sosok hidup yang dapat berinteraksi dengan manusia.
Hal itu diungkap Antropolog Bambang Hudayana dari Universitas Gadjah Mada di jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik (2021). Dia menyebutkan bahwa keyakinan akan kekuatan supranatural gunung berapi sudah melekat oleh masyarakat Jawa sejak periode Kesultanan Mataram (1586–1755).
Secara simbolis, sultan-sultan Mataram kerap mengadakan upacara sekaten setiap tahunnya. Di dalam upacara, terdapat gunungan--miniatur gunung yang terdiri dari makanan--sebagai simbol kekuasaan Sultan yang tinggi dan kemakmuran. Sultan-sultan periode Mataram juga mengadakan ritual labuhan sebagai bentuk menjaga warganya dari ancaman erupsi.
Arwah Eyang Merapi
Gunung Merapi dianggap sebagai raja arwah yang disebut sebagai Eyang Merapi. Arwah-arwah di sekitarnya adalah pengikut. "Eyang [Merapi] dan arwah pengikut-pengikutnya mengontrol erupsi dan kesuburan," terang Bambang.
Penelitian lain dilakukan oleh Najiyah Martiam dari University of Florida di salah satu bab dalam buku Grounding Religion: A Field Guide to the Study of Religion and Ecology (2017).
Warga menyebut bahwa Eyang Merapi atau arwah Merapi kerap datang melalui mimpi setiap gunung akan erupsi. Arwah tersebut biasanya menjelma lelaki tua dengan baju koko atau terkadang mengenakan baju adat Jawa seperti surjan dan batik. Arwah tersebut akan datang memberi tahu apa yang harus dilakukan warga.
"Gunung Merapi berbeda dari gunung berapi lainnya karena sangat aktif," terang Sumarno, salah satu warga Merapi di sisi Yogyakarta. "Jiwa-jiwa orang yang mati diambil oleh Merapi; mereka bekerja untuk Merapi."
"Kalau ada yang hilang dan tidak pernah ditemukan. Saya diberitahu oleh laki-laki yang selalu datang dalam mimpi saya bahwa dia dipekerjakan oleh Merapi karena pekerjaannya yang sangat bagus," lanjutnya.
Menghormati bukan menyembah
Terdapat kesalahan persepsi umum memandang bahwa penghormatan terhadap Merapi sebagai bentuk penyembahan. Masyarakat yang meyakini bahwa Gunung Merapi sebagai makhluk hidup bukan hanya dilakukan kalangan penganut agama leluhur, melainkan juga oleh penganut agama-agama resmi.
Baca Juga: Menyaksikan Sejarah Alam Gunung Merapi dari Pelukis ke Pelukis
Gunung Merapi merupakan objek sakral yang melindungi permukiman setempat. Ibaratnya, menghormati Merapi seperti menghormati Bendera Merah Puti sebagai simbol persatuan Indonesia, bukan Tuhan yang disembah dalam agama. Bagi warga lokal, arwah gunung Merapi--sebagai makhluk ciptaan--akan bekerja melindungi warga atas izin Tuhan.
Ada empat jenis ritual penghormatan Gunung Merapi, di antaranya ritual mitigasi dan gotong royong (merti bumi), tradisi Malam Satu Suro yang diadopsi dari kalender Islam, dan ritual pembersihan. Secara keseluruhan, ritual ini digunakan sebagai doa yang dipanjatkan untuk kebutuhan dan kesejahteraan agar dapat hidup aman di sekitar Gunung Merapi.
Alasan inilah yang membuat Mbah Marijan, mantan juru kunci Gunung Merapi bagi Keraton Yogyakarta enggan untuk mengevakuasi diri pada erupsi 2006. Dengan tetap di Merapi, sebagai orang yang paling memahami Gunung Merapi, dia bisa memohon agar orang lain diberi keselamatan.
"Jika saya turun [dari Merapi] saya merasa seperti memikirkan diri saya sendiri," tutur Mbah Marijan di pelbagai media. Hal inilah yang dilakukan Mbah Marijan sampai akhirnya wafat dalam erupsi hebat Merapi pada 2010.
Melansir Detik.com, pada erupsi 2006, Mbah Marijan memiliki pandangan politik atas Kesultanan Yogyakarta. Baginya, Sultan Hamengkubuwono X memintanya turun untuk evakuasi menggunakan asasnya sebagai "Gubernur Derah Istimewa Yogyakarta" bukan Keraton Yogyakarta yang berpegang teguh pada adat.
Kemarahan Merapi atas Kerusakan Alam dan Moral
Sejak 2004, Gunung Merapi menjadi kawasan taman nasional. Status perlindungannya telah ditetapkan sejak 1931 sebagai cagar alam untuk melindungi sumber air, sungai, dan penyangga kehidupan di Sleman, Kota Yogyakarta, Klaten, Boyolali, dan Magelang.
Najiyah mendapati bahwa para juru kunci menyebut istilah 'Merapi meletus' atau 'Merapi erupsi' terdengar seperti tidak menghormati Merapi. "Biasanya orang berpendidikan (modern) mengakatan seperti itu... Bagi saya, Merapi itu sedang membangun atau berkembang," tutur Mbah Marijan dalam wawancara Najiyah.
Bagi warga sekitar Merapi, termasuk juru kunci, erupsi adalah cara Gunung Merapi bekerja. Gunung tersebut dapat merespons aktivitas perusakan yang dilakukan manusia seperti alam, mengganggu kehidupan non-manusia--termasuk arwah dan biota--dan moralitas.
Itu sebabnya, Hudayana menjelaskan, banyak dusun-dusun yang terdampak akibat letusan Merapi pada 2010 berkaitan dengan kerusakan alam. Dusun-dusun tersebut diduga terlibat dalam penggalian pasir secara massal sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan dan membuat usaha wisata seks.
Sejak erupsi 2010, warga lokal meningkatkan kembali literasi kebudayaan dan dielaborasikan dengan kesadaraan bencana yang dilakukan pemerintah berdasarkan pengetahuan lokal. Penegasan ini dilakukan oleh masyarakat Merapi sebagai adat istiadat yang harus dipatuhi pengunjung ketika memasuki area pariwisata.
Juru kunci Merapi berikutnya, Suraksohargo Asihono, bekerja sama Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) untuk menyelaraskan adat dan sains.
"Tapi Juru Kunci bukan paranormal, bukan dukun, dan juga bukan kiai," ujarnya di BBC Indonesia. "Kami sebagai juru kunci mengajak masyarakat meningkatkan kewaspadaan".
Source | : | detik.com,BBC Indonesia,Taylor & Francis Online |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR