Nationalgeographic.co.id—Istilah demokrasi, yang berasal dari bahasa Yunani dan berarti “pemerintahan oleh rakyat,” merujuk pada sistem di mana semua warga negara yang memenuhi syarat memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka.
Konsep demokrasi memiliki sejarah panjang dan berkembang secara independen dalam berbagai budaya tanpa seorang penemu tunggal.
"Demokrasi pertama kali muncul di Yunani kuno, di mana masyarakatnya bereksperimen dengan berbagai sistem politik yang disesuaikan dengan kebutuhan dan budaya masing-masing negara-kota yang merdeka," ungkap Syed Rafid Kabir dalam "Who Invented Democracy? The True History Behind Democracy" pada laman History Cooperative.
Periode ini menjadi tempat tumbuhnya prinsip-prinsip demokrasi yang kemudian membentuk dunia modern. Pada wilayah Yunani, dari medan keras Sparta hingga pusat intelektual Athena, sistem pemerintahan berkembang dalam berbagai bentuk.
Pada awalnya, monarki—di mana kekuasaan diwariskan dan dipegang seumur hidup oleh seorang raja—adalah sistem pemerintahan yang umum. Raja biasanya memerintah berdasarkan dekrit, yang dianggap sebagai hukum dan tradisi negara-kota.
Namun, seiring waktu, aristokrasi mulai mengambil peran. Sistem ini ditandai dengan pemerintahan oleh kelompok bangsawan yang mengklaim hak mereka berdasarkan kelahiran mulia dan kebijaksanaan yang dianggap lebih unggul.
"Oligarki juga muncul di beberapa negara-kota, di mana kekuasaan dipegang oleh segelintir orang kaya dan berpengaruh," tulis Kabir. Sistem ini seringkali lebih mengutamakan kepentingan kelompok kecil daripada masyarakat luas.
Sebaliknya, tirani—yang pada masa itu tidak selalu memiliki konotasi negatif seperti sekarang—mengacu pada pemerintahan yang dipegang oleh seorang individu yang merebut kekuasaan tanpa dasar hukum. Para tiran ini bisa dianggap sebagai perebut kekuasaan atau, dalam beberapa kasus, sebagai pemimpin yang membela rakyat melawan ketidakadilan sistem yang ada.
Setiap bentuk pemerintahan tersebut menjadi bagian dari "laboratorium politik" Yunani yang kaya, berkontribusi pada evolusi demokrasi yang kita kenal hari ini.
Demokrasi di Athena
"Demokrasi Athena, yang sering dipandang sebagai pelopor dalam sejarah demokrasi, berkembang melalui sejumlah reformasi penting," jelas Kabir.
Baca Juga: Representasi Adonis Mitologi Yunani dalam The Picture of Dorian Gray
Reformasi awal oleh Draco, diikuti oleh perubahan signifikan yang dipelopori Solon, mengarah pada pembentukan Ecclesia, sebuah Majelis yang menjadi inti lembaga demokrasi Athena. Namun, demokrasi Athena benar-benar terbentuk di bawah kepemimpinan Cleisthenes, yang mendirikan Dewan Lima Ratus sebagai bagian dari sistem pemerintahan yang lebih inklusif.
"Pada masa Pericles, demokrasi Athena mencapai puncaknya dengan memperluas partisipasi politik ke lebih banyak warga laki-laki," lanjutnya.
Sistem ini adalah demokrasi langsung, di mana setiap warga laki-laki memiliki hak untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan di Majelis, memengaruhi kebijakan di Dewan, dan bahkan menjabat dalam jabatan publik melalui proses undian.
Meski demikian, demokrasi ini memiliki batasan yang signifikan. Perempuan, non-warga negara, dan budak dikecualikan, sehingga hanya sebagian kecil dari warga laki-laki kaya yang dapat menikmati partisipasi penuh.
Demokrasi Athena sangat bergantung pada perbudakan sebagai fondasi ekonominya, yang menjadikannya berbeda jauh dari konsep hak pilih universal dalam demokrasi modern. Struktur ini mencerminkan ketimpangan yang tajam antara idealisme demokrasi dan realitas sosial pada masa itu.
Demokrasi Yunani
Pemikiran para filsuf besar Yunani kuno memberikan pengaruh mendalam terhadap seni pemerintahan, termasuk demokrasi. Tokoh-tokoh seperti Socrates dan Plato mengungkapkan keraguan mereka terhadap konsep dan praktik demokrasi.
"Mereka menyoroti potensi bahaya dari kekuasaan mayoritas yang bisa berubah menjadi tirani massa, serta risiko manipulasi oleh demagog yang mampu memengaruhi opini publik," kata Kabir.
Socrates, yang dikenal sebagai pemikir yang kontroversial dan penuh teka-teki, tidak pernah menulis ide-idenya sendiri, tetapi pemikirannya terdokumentasi dalam dialog-dialog Plato.
Dalam The Republic, Plato menyajikan kritik tajam terhadap demokrasi, menyoroti kelemahannya yang memungkinkan orang-orang tanpa keahlian atau pengetahuan yang memadai membuat keputusan penting bagi pemerintahan.
"Kritik ini mencerminkan keprihatinan mendalam atas ketidakteraturan dalam sistem yang berbasis pada suara mayoritas," jelasnya.
Baca Juga: Thrasybulus, Jenderal Yunani Kuno yang Memulihkan Demokrasi Athena
Daya Tarik Kekuasaan dan Perspektif Aristoteles tentang Demokrasi
Plato memperingatkan bahwa daya tarik kekuasaan dan kepentingan pribadi sering kali dapat merusak proses demokrasi. Ia menyoroti risiko apabila agenda masyarakat didikte oleh keinginan mayoritas tanpa kendali, yang dapat menghasilkan keputusan yang hanya menguntungkan segelintir pihak atau bahkan berujung pada tirani.
Dalam perdebatan ini, Aristoteles, murid Plato, menawarkan perspektif yang lebih seimbang. Dalam karyanya Politik, Aristoteles tidak sepenuhnya menolak demokrasi, melainkan menganalisis berbagai bentuknya dengan cermat. Ia berpendapat bahwa sistem demokratis dapat berfungsi dengan baik jika dilengkapi dengan ketentuan konstitusional yang mencegah penyalahgunaan kekuasaan, seperti demagogi atau anarki.
Menurut Aristoteles, masyarakat yang sehat harus mengupayakan pemerintahan yang seimbang, di mana keputusan didasarkan pada kepentingan bersama, bukan pada kekayaan atau status individu tertentu.
Pemilihan Umum dan Kewarganegaraan di Yunani Kuno
Meskipun demokrasi langsung menjadi ciri khas Athena, beberapa negara-kota Yunani mulai menerapkan elemen-elemen perwakilan yang meletakkan dasar bagi pemerintahan modern. Jika Athena menonjolkan partisipasi langsung dengan membiarkan warga negara laki-laki memberikan suara pada undang-undang dan kebijakan, Sparta dan beberapa negara-kota lainnya memperkenalkan sistem pemilihan pejabat untuk mewakili kepentingan masyarakat. Perbedaan ini menunjukkan keberagaman dalam struktur politik Yunani kuno.
Di Athena, kewarganegaraan adalah pilar utama struktur sosial dan politik. Kewarganegaraan tidak hanya melibatkan hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, tetapi juga kewajiban untuk berkontribusi pada kehidupan negara-kota, termasuk dinas militer dan debat politik.
Namun, kewarganegaraan Athena bersifat eksklusif, diwariskan melalui garis keluarga, dan hanya berlaku bagi mereka yang memenuhi kriteria tertentu, membatasi partisipasi pada kelompok tertentu dalam masyarakat.
Pola-pola ini mencerminkan kompleksitas dan inovasi sistem politik Yunani kuno, yang meskipun belum sempurna, menjadi landasan bagi pengembangan pemerintahan demokratis di masa depan.
Partisipasi Aktif sebagai Identitas Warga Athena
Keterlibatan aktif warga Athena dalam proses politik merupakan ciri khas yang membedakan mereka dari bentuk kewarganegaraan pasif yang sering terlihat dalam beberapa demokrasi modern, di mana partisipasi pemilih cenderung rendah.
Baca Juga: Furies 'Membuka' Pergeseran Konsep Balas Dendam-Keadilan Yunani Kuno
Bagi warga Athena, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik bukan hanya hak, tetapi juga bagian integral dari identitas mereka sebagai warga negara. Tingkat keterlibatan semacam ini mencerminkan semangat civic engagement yang jarang terlihat dalam sistem demokrasi modern yang sering kali berjuang meningkatkan partisipasi pemilih.
Pluralisme Politik di Yunani Kuno
Saat sistem perwakilan mulai muncul di sejumlah negara-kota Yunani, para pejabat terpilih berfungsi sebagai saluran untuk menyuarakan berbagai kepentingan masyarakat. Meskipun tidak memiliki struktur formal seperti yang dikenal dalam demokrasi modern, masyarakat Yunani kuno berhasil mengembangkan bentuk pluralisme politik yang mencerminkan keragaman kepentingan dan keinginan komunitas mereka.
Dalam konteks ini, meskipun skala kecil memungkinkan implementasi demokrasi langsung seperti di Athena, bentuk partisipasi serupa masih ditemukan di beberapa wilayah modern, seperti kanton Swiss, yang mempertahankan elemen-elemen demokrasi langsung. Demokrasi langsung menawarkan keuntungan unik: refleksi cepat atas keinginan warga negara.
"Dalam hal ini, pengalaman politik Yunani kuno menjadi pengingat penting bahwa desain sistem demokrasi dapat dan seharusnya disesuaikan dengan skala dan kebutuhan masyarakat yang dilayaninya," jelas Kabir.
"Nilai-nilai partisipasi langsung ini tetap relevan sebagai inspirasi untuk meningkatkan keterlibatan dan keberagaman dalam sistem politik modern," tegasnya.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR