Bagaimana kisah Sobekneferu menjelaskan pemerintahan perempuan di Mesir kuno
Firaun perempuan pertama yang memiliki bukti definitif adalah Sobekneferu. Ia memegang gelar firaun Mesir dari tahun 1760 hingga 1756 SM. Kisahnya menjadi firaun rumit. Setelah kematian ayahnya Amenemhat III, ada tiga pilihan untuk menggantikan Amenemhat. Mereka adalah putranya Amenemhat IV, putrinya yang lain Neferuptah, atau Sobekneferu. Hasilnya, Amenemhat IV menjadi raja dan memerintah selama sekitar 10 tahun hingga kematiannya. Pada saat itu, Neferuptah juga telah meninggal, meninggalkan Sobekneferu di tempat suksesi yang sah.
Bukti ini memberi kita garis waktu umum suksesi untuk dinasti ke-12, yang berakhir dengan Sobekneferu. Meskipun sedikit detail yang masih ada, Amenemhat IV mungkin merupakan kerabat jauh firaun sebelumnya. Hal ini menunjukkan preferensi untuk penguasa laki-laki di masa itu.
Namun, kisah Sobekneferu juga menyoroti pentingnya garis keturunan kerajaan. Takhta yang kosong tanpa pewaris laki-laki menghasilkan garis keturunan yang jelas bagi Sobekneferu untuk menjadi pemimpin. Dalam kasus ini, garis keturunan keluarga dapat disimpulkan lebih penting daripada memahkotai seorang laki-laki. Hal ini mungkin cara sebagian besar firaun perempuan berkuasa. “Berada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat dan satu-satunya pilihan yang layak,” tulis lyssa Kucinski di laman The Collector.
Perempuan Mesir kuno sering memegang gelar penting
Kesetaraan relatif antara perempuan dan laki-laki dalam hukum, masyarakat, dan agama di Mesir kuno menjelaskan mengapa firaun wanita ada.
Sebagian besar perempuan Mesir kuno tidak bekerja di luar rumah, Namun mereka yang bekerja menerima gaji yang sama dengan rekan laki-lakinya. Tidak seperti perempuan di bagian lain dunia kuno, perempuan Mesir kuno memiliki tanah milik. Mereka juga menerima penghargaan terhormat untuk pertempuran militer dan bisa mengembangkan bisnis perdagangan.
Kaum perempuan Mesir kuno bahkan memegang posisi tertinggi dalam kepemimpinan agama dan politik. Dipersonifikasikan sebagai dewi, Maat mewakili ketertiban dan keadilan. Pemujaannya merupakan bagian dari deskripsi pekerjaan firaun. Dan jika Maat tidak ditenangkan, kekacauan akan terjadi. Dengan tidak adanya pewaris laki-laki, menempatkan ratu sebagai firaun mungkin dapat mencegah ketidakseimbangan kosmik.
Sementara perempuan Mesir kuno yang lebih miskin memprioritaskan peran sebagai ibu dan mengurus rumah tangga. Sedangkan perempuan yang kaya dapat memainkan peran yang jauh lebih besar dalam masyarakat. Alih-alih mengurus rumah tangga secara pribadi, perempuan Mesir kuno dapat mengelola sekelompok pelayan. Ia mungkin juga memiliki lebih sedikit anak. Pasalnya, tenaga kerja tambahan yang disediakan oleh keluarga besar tidak diperlukan. Oleh karena itu, perempuan berpangkat tinggi berada dalam posisi untuk mengambil peran kepemimpinan, termasuk posisi kerajaan.
Firaun perempuan berperan sebagai raja laki-laki
Meskipun pria dan wanita di Mesir kuno dianggap setara di bawah hukum, posisi raja ditetapkan melalui suksesi laki-laki. Para perempuan yang mengambil status firaun sering kali mengadopsi karakteristik laki-laki. “Tujuannya adalah untuk meniru para pendahulu mereka dan memperkuat legitimasi mereka,” tambah Kucinski.
Secara umum, firaun menggambarkan diri mereka sendiri dengan gambaran yang konsisten. Hal ini untuk menunjukkan kelanjutan kepemimpinan Mesir kuno yang sukses. Dari pendahulunya, para penerus akan meniru hiasan kepala kerajaan, tubuh maskulin yang kuat, dan janggut palsu yang disebut pschent.
Source | : | The Collector |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR