Nationalgeographic.co.id - Meski kerap disebut sebagai "mutiara tersembunyi di puncak Kepala Burung", nyatanya Kampung Malaumkarta tidak terpaut terlalu jauh dari ingar bingar Kota Sorong.
Kampung Malaumkarta jaraknya hanya sekitar 40 kilometer dari Bandara Domine Eduard Osok atau membutuhkan waktu tempuh sekitar dua hingga tiga jam berkendara dari pusat Kota Sorong.
Terletak di Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, Kampung Malaumkarta telah menjadi salah satu daya pikat bagi pelancong di Semenanjung Doberai.
Topografi Kampung Malaumkarta terdiri dari gunung, lembah, serta lereng-lereng gunung yang memanjang dari timur Papua hingga barat, menuju gugusan pulau di Semenanjung Kepala Burung.
Bentuk wilayahnya membentuk teluk yang menjorok ke laut, melingkar menyerupai tanjung, dan berhadapan langsung dengan Laut Pasifik di arah utara, searah dengan garis khatulistiwa.
Hamparan pasir putih yang membentang tampak serasi dengan deburan air laut yang terempas di pantai.
Belum lagi, panorama senja yang menciptakan semburat jingga di kaki cakrawala, ketika baskara tergelincir ke peraduan.
Deretan pepohonan di sepanjang garis pantai yang selaras dengan gugusan pegunungan di sekelilingnya membuat kemolekan kampung ini tidak terbantahkan.
Tidak heran jika banyak wisatawan yang betah duduk berlama-lama di pantai Kampung Malaumkarta.
Pantai bukan satu-satunya atraksi wisata yang ditawarkan oleh Malaumkarta. Hanya sepelemparan batu dari pesisir Malaumkarta, terdapat Pulau Um.
Pulau kecil ini hanya dihuni oleh kawanan kelelawar dan burung camar. Di waktu tertentu, pulau ini menjadi tempat persinggahan bagi penyu untuk memijahkan telurnya.
Dalam kondisi cuaca yang bersahabat, Pulau Um bisa ditempuh sekitar sepuluh menit menggunakan perahu bermesin tunggal dari Pantai Malaumkarta.
Bagi masyarakat Malaumkarta, Pulau Um memiliki nilai tersendiri. Pada masa perjuangan kemerdekaan, terutama saat masa konflik, Pulau Um menjadi tempat pengungsian bagi masyarakat suku Moi untuk bersembunyi dari ancaman.
Hal ini mengubah pola permukiman suku Moi, yang semula bermukim di sekitar pegunungan, menjadi lebih mengarah ke daerah pesisir.
Nama "Malaumkarta" sendiri merupakan gabungan dari kata "mala" yang berarti gunung dalam bahasa suku Moi, "um" merujuk kepada Pulau Um, dan "karta" dari nama ibu kota negara, Jakarta.
Pascakemerdekaan, pulau kebanggaan masyarakat Malaumkarta tersebut benar-benar tidak berpenghuni dan hanya sesekali dikunjungi oleh nelayan dan wisatawan.
Baca Juga: Sejarah Kecil Kemelut Rumah Tangga Eropa di Soerabaia Tahun 1913
Selain menikmati lanskap alam dan menjelajahi Pulau Um, wisatawan juga dapat menyelami keindahan bawah lautnya.
Di perairan Kampung Malaumkarta terdapat bangkai pesawat tempur peninggalan Jepang dari era Perang Dunia ke-2.
Pesawat milik Dai Nippon yang karam itu, kini menjadi rumah bagi berbagai biota laut dan menjelma "magnet" bagi pegiat keindahan bawah air.
Karena potensi wisatanya, Kampung Malaumkarta masuk ke dalam 75 desa terbaik Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2023 dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia.
Giat konservasi di balik rekreasi
Di balik geliat pariwisatanya, masyarakat sadar bahwa jagat Malaumkarta harus tetap terpelihara. Suku Moi yang bermukim di Malaumkarta terus menerapkan nilai-nilai leluhur untuk menjaga keseimbangan alam.
Karenanya, mereka masih senantiasa menerapkan tradisi egek bagi kawasan perairan di sekitar Malaumkarta.
Seperti sasi bagi masyarakat Maluku dan Papua, tradisi egek merupakan kearifan pengelolaan sumber daya alam dengan memberikan batasan, baik dari segi luas wilayah, jenis spesies, dan waktu tertentu dengan tujuan untuk menjaga kelestarian sumber daya alam. Egek dijalankan oleh dewan adat dan gereja yang berasal dari masyarakat Malaumkarta.
Masyarakat lain ikut mengelola kawasan konservasi perairan secara adat. Perairan di sekitar Malaumkarta dibagi menjadi beberapa zona, yaitu zona egek, zona tabung ikan, dan zona keramat.
Sumber daya perairan di zona egek dan zona tabung ikan masih bisa dimanfaatkan oleh masyarakat dengan mempertimbangkan batasan tertentu, sedangkan perairan di zona keramat sama sekali tidak boleh terintervensi oleh tangan manusia.
Melihat semangat konservasi yang dilakukan oleh masyarakat Malaumkarta, Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) memberikan pendampingan melalui program Pendanaan Berkelanjutan untuk Penguatan Penghidupan Masyarakat.
Baca Juga: Diperdebatkan Sejarawan, Berapa Angka Harapan Hidup Orang Yunani Kuno?
Melalui program ini, masyarakat didampingi untuk mengelola sumber daya alam setempat secara berkelanjutan agar memberi manfaat ekonomi, serta melibatkan generasi muda dalam upaya konservasi melalui Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH).
Melalui PLH, misalnya, anak-anak muda diedukasi mengenai kegiatan konservasi dan pentingnya menjaga alam dengan metode yang mudah dipahami.
Pelajaran-pelajaran tersebut dilakukan melalui kesenian, seperti menyanyikan lagu terkait kelestarian alam, atau melalui buku-buku bergambar. Anak-anak inilah yang kelak meneruskan tongkat estafet akan kelestarian Malaumkarta.
Pada akhirnya, Malaumkarta tidak hanya bicara soal wisata dan rekreasi, tetapi juga beririsan dengan keseimbangan alam yang perlu dijaga agar keberlanjutan dan kesejahteraan dapat berjalan beriringan. Dengan begitu, harmoni antara manusia dan lingkungan bukan sekadar angan.*
(*)Artikel ditulis oleh rekan YKAN National Geographic Indonesia, Adia Puja.
Penulis | : | Yasmin FE |
Editor | : | Sheila Respati |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR