Nationalgeographic.grid.id—Rumah Kaca gubahan Pramoedya Ananta Toer, menyibak satu fakta menarik tentang pembantaian etnik Tionghoa di Tanah Betawi (Batavia, kini Jakarta) pada tahun 1740.
Salah seorang plot dalam karangan Pram bernama Pangemanann, dikisahkan tengah menyidik seluk beluk jejak Gubermen Hindia, hingga dia dihadapkan pada kasus besar yang dikenang dengan istilah Belanda "Chineezenmoord."
Kartika Sari bersama dengan tim risetnya menulis pada jurnal INNOVATIVE: Journal Of Social Science Research berjudul Sejarah Kelam: Konflik Warga Tionghoa di Indonesia dengan VOC (Geger Pacinan Oktober 1740) terbitan 2024.
Sejatinya, sejak lama orang-orang Tionghoa melakukan perdagangan ke Nusantara. Puncaknya terjadi pada zaman VOC, di mana etnis Tionghoa banyak yang tinggal dan menetap di daerah-daerah Nusantara, termasuk Batavia.
Sampai-sampai, VOC menerbitkan kebijakan pada 10 Juni 1727 untuk memulangkan orang-orang Tiongkok di Batavia yang telah menetap lebih dari 12 tahun dan masa tinggalnya telah habis. Mereka yang kadaluwarsa masa tinggalnya akan dianggap ilegal.
Secara berangsur-angsur, hingga pada tahun 1739 hingga 1740, orang-orang Tionghoa di Batavia mulai resah akibat kebijakan-kebijakan VOC yang semakin mendiskreditkan mereka.
Keresahan dalam masyarakat Tionghoa dipicu oleh represi pemerintah dan berkurangnya pendapatan akibat jatuhnya harga gula. Terjadi pemberontakan-pemberontakan kecil yang dilakukan orang Tionghoa terhadap VOC.
Keputusan paling kontroversial dikeluarkan Gubernur Jenderal VOC, Adriaan Valckenier yang dikemukakan di depan Raad van Indië (Dewan Hindia). Ia menyebut bahwa kerusuhan apapun yang terjadi, akan ditanggapi dengan kekerasan mematikan.
Hal itu, lantas memercik api pertengkaran antara etnik Tionghoa dengan VOC. Di sebuah pabrik gula di Meester Cornelis (kini Jatinegara), etnik Tionghoa dilaporkan membunuh 50 orang Belanda.
Di suatu hari dilaporkan suatu pembegalan oleh orang-orang Tionghoa, saat Kompeni dalam perjalanan ke Tangerang mereka diserang orang warga Tionghoa di Kaduwang yang menyebabkan tewasnya 16 serdadu.
Alhasil, Valckenier menerapkan sejumlah kebijakan untuk meredam kebringasan orang-orang Tionghoa di Batavia. kebijakan itu terkandung dalam maklumat yang dikeluarkan pada 8 Okober 1740.
Baca Juga: Batavia: 'Kapal Karam Terburuk' dengan Kisah yang Jauh Lebih Mencekam
Maklumat itu berisi: Ketentuan yang dibuat karena banyaknya perempuan Tionghoa yang diungsikan ke luar kota, ketentuan tersebut adalah pelarangan setiap orang memasuki kota untuk mengungsikan perempuan Tionghoa.
Bagi orang-orang Tionghoa yang tidak menaati aturan untuk menyerahkan senjata dan melakukan perlawanan pada pejabat hukum beserta pasukan Kompeni akan menembak mati mereka.
Secara umum, pada jam 18.30 semua orang Tionghoa harus menetap di rumahnya dan dilarang menghidupkan lampu. Setelahnya, dilaporkan sejumlah pasukan Kompeni juga menjarah harta dan senjata orang Tionghoa.
Tidak habis di situ, sang gubernur jenderal bahkan mengutus para pasukannya untuk menghabisi pemukiman Tionghoa di Batavia.
Sebagaimana kebijakan awal Valckenier untuk menghabisi para pemberontak, pasukan VOC mulai menghujani rumah-rumah orang Tionghoa dengan meriam.
Tidak hanya orang Eropa, Valckenier bahkan membuat desas-desus kengerian, bahaya laten jika Tionghoa berniat akan menguasai Batavia. Hal itu menyebabkan kalangan pribumi, budak, dan orang asing pula.
Kewaspadaan hingga kebrutalan mendorong pembantaian atas Tionghoa. "Aksi pembantaian juga dilakukan oleh para budak dan pendatang dari Timur Tengah. Mereka dipaksa ikut menyerang dengan ancaman keselamatan nyawa," terus Kartika Sari.
Kekerasan ini dengan cepat menyebar ke hampir seluruh kota Batavia, sehingga lebih banyak orang Tionghoa dibunuh secara keji.
Puncaknya di 10 Oktiober 1740 pengumpulan orang Tionghoa yang diperintahkan oleh Gubernur Jenderal Valckenir. Pada orang Tionghoa tersebut dilakukan pemburuan ke rumah-rumah dan tempat tersembunyi mereka.
Sekiranya, ditemukan 500 orang dari pemburuan tersebut langsung diarahkan ke Stadthuis, balaikota Batavia (kini Museum Fatahillah). Di sanalah tahanan-tahanan Tionghoa itu dipenggal kepalanya.
Orang Tionghoa yang berada di rumah sakit juga ikut diburu dan dibawa ke pinggir sungai agar memudahkan untuk pembuangan jenazah mereka.
Lebih sadisnya lagi, Gubernur Jenderal menawarkan hadiah sebesar dua pukat untuk siapa saja yang bisa memenggal kepala orang Tionghoa. Ketakutan menjalar sana-sini, banyak di antara orang Tionghoa menjadi putus asa dan depresi.
Bahkan saking menderitanya orang-orang Tionghoa itu, "menyebabkan mereka membuat pilihan untuk membunuh dirinya dengan gantung diri," imbuh Kartika Sari.
Pada 13 Oktober 1740 kobaran api masih menyala-nyala di Batavia, pada kekacauan dan kekejaman antara Kompeni VOC dengan warga Tionghoa itu diperhitungkan memakan korban sebanyak 7.000 sampai 10.000 korban jiwa dari warga Tionghoa.
Source | : | jurnal INNOVATIVE: Journal Of Social Science Research |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR