Nationalgeographic.co.id—Berdasarkan analisis pengukuran karbon dioksida di atmosfer, sebuah fenomena mengkhawatirkan terungkap bahwa planet kita sedang mengalami penurunan kemampuan alaminya untuk menyerap karbon dioksida (CO2), gas rumah kaca utama yang menyebabkan pemanasan global.
Data menunjukkan bahwa tumbuhan dan tanah Bumi, yang selama ini menjadi andalan dalam menyerap karbon dioksida dari udara, mencapai puncak efektivitasnya dalam proses yang disebut sekuestrasi karbon pada tahun 2008.
Namun, setelah melewati tahun 2008, kemampuan penyerapan karbon dioksida oleh tumbuhan dan tanah justru mengalami tren penurunan yang berkelanjutan.
Peralihan dari tren positif menjadi negatif ini menandai terlampauinya sebuah titik kritis yang sangat signifikan, meningkatkan potensi terjadinya kerusakan iklim yang tidak terkendali dan berpotensi membawa dampak yang lebih luas bagi kehidupan di Bumi.
Selama kurang lebih satu abad terakhir, ekosistem tumbuhan dan pepohonan di Bumi menikmati periode yang relatif menguntungkan. Peningkatan konsentrasi karbon dioksida di atmosfer, yang merupakan salah satu penyebab utama masalah lingkungan, justru paradoksnya memberikan manfaat bagi pertumbuhan tanaman, bertindak sebagai semacam pupuk alami yang memacu fotosintesis.
Selain itu, suhu global yang lebih hangat secara umum juga berkontribusi pada perpanjangan musim tanam di berbagai wilayah, memberikan lebih banyak waktu bagi tumbuhan untuk tumbuh dan menyerap karbon dioksida.
Akan tetapi, dinamika positif ini ternyata memiliki batasnya. Pada titik tertentu, berbagai dampak negatif dari pemanasan iklim mulai mengalahkan manfaat awal tersebut.
Bencana alam seperti kebakaran hutan yang semakin sering dan dahsyat, kekeringan yang meluas dan berkepanjangan, badai dengan intensitas yang meningkat, banjir yang lebih sering terjadi, serta penyebaran hama dan penyakit tanaman yang baru dan sulit dikendalikan, semuanya secara signifikan mengurangi kemampuan tumbuhan untuk menjalankan fungsi pentingnya dalam menyerap karbon dioksida.
Lebih lanjut, tekanan panas ekstrem yang semakin sering dialami oleh tanaman juga turut memperburuk situasi, membatasi kapasitas penyerapan karbon mereka.
Emisi antropogenik yang tak melampaui batas
Apa yang dipaparkan di atas merupakan rangkuman dari hasil analisis yang disusun oleh James Curran, mantan kepala eksekutif Scottish Environment Protection Agency, dan putranya Sam. Hasil analisis keduanya diterbitkan dalam jurnal Weather, pada 15 Januari 2025, dengan tajuk "Natural sequestration of carbon dioxide is in decline: climate change will accelerate."
Baca Juga: Revolusioner: Ilmuwan Pecahkan Kode untuk Konversi Karbon Dioksida yang Efisien
Keduanya telah mengkonfirmasi sebuah tren yang mengkhawatirkan terkait kemampuan planet kita dalam menyerap CO2 dari atmosfer secara alami. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa tingkat sekuestrasi CO2 oleh biosfer terestrial – yaitu semua ekosistem daratan yang meliputi hutan, lahan gambut, padang rumput, dan tanah – kini mengalami penurunan setelah mencapai titik puncaknya pada tahun 2008.
Sebelum tahun 2008, mekanisme alami yang sangat penting ini menunjukkan kinerja yang menggembirakan, dengan tingkat sekuestrasi CO2 yang terus meningkat sebesar 0,8% per tahun sejak tahun 1960-an. Jika tren positif ini terus berlanjut tanpa gangguan, diperkirakan peningkatan konsentrasi CO2 tahunan di atmosfer saat ini dapat dikurangi hingga lebih dari 30%.
Sayangnya, efek positif yang sebelumnya membantu meringankan masalah peningkatan CO2 ini kini telah hilang. Sebaliknya, tingkat sekuestrasi CO2 alami sekarang justru mengalami penurunan sebesar 0,25% per tahun, sebuah perubahan arah yang sangat signifikan dan mengkhawatirkan.
Akibat dari penurunan ini, konsentrasi CO2 di atmosfer diperkirakan akan meningkat lebih cepat dari sebelumnya, sebanding dengan tingkat emisi CO2 global tahunan yang terus berlangsung.
Untuk memberikan gambaran yang lebih sederhana, jika sekuestrasi alami tidak mengalami kegagalan dan tetap berfungsi optimal, tingkat peningkatan konsentrasi CO2 atmosfer saat ini yang berada di sekitar +2,5 ppm (parts per million) per tahun diperkirakan akan menjadi sekitar +1,9 ppm, yang menunjukkan betapa besar dampak penurunan sekuestrasi alami ini.
Konsekuensi lebih lanjut yang diungkapkan oleh analisis, merujuk pada Persamaan (1) dalam penelitian Curran dan Curran (2016b), adalah bahwa emisi antropogenik – yaitu emisi yang disebabkan oleh aktivitas manusia – sekarang perlu diturunkan setidaknya sebesar 0,3% per tahun.
Penurunan emisi ini diperlukan hanya untuk mengkompensasi penurunan sekuestrasi terestrial yang sedang terjadi. Hal ini merupakan faktor yang sangat signifikan karena peningkatan tahunan emisi jangka panjang yang relatif stabil sebesar +0,45 Gt CO2 (Gigaton karbon dioksida) saat ini setara dengan peningkatan sekitar +1,2% per tahun.
Merujuk pada gambar di atas, diperkirakan konsekuensi dari penurunan sekuestrasi ini hanya akan menjadi semakin serius di masa depan karena tingkat penurunannya tampaknya semakin cepat dari waktu ke waktu.
Efek yang berkembang dan sangat merusak ini diperkirakan akan semakin mempercepat laju perubahan iklim global. Sekali lagi, fenomena ini menekankan betapa eratnya hubungan antara darurat iklim yang kita hadapi dengan kondisi alam dan lingkungan.
Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi kita untuk mengambil setiap upaya yang diperlukan sesegera mungkin untuk membangun kembali keanekaragaman hayati global yang telah banyak hilang, serta untuk memulihkan jasa ekosistem yang terkait, termasuk fungsi vital sekuestrasi CO2 alami.
Upaya-upaya ini bukan hanya penting untuk kelestarian lingkungan, tetapi juga krusial untuk masa depan peradaban manusia di planet ini.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR