Nationalgeographic.co.id—Kerajaan Bhutan, sebuah negara kecil yang terletak di jantung pegunungan Himalaya timur, telah dikenal luas selama lima dekade terakhir sebagai salah satu negara yang paling bahagia dan juga paling hijau di dunia.
Pemerintah Bhutan telah mengambil langkah yang visioner dengan memilih untuk mengukur kemajuan negaranya tidak hanya melalui indikator ekonomi konvensional seperti Produk Domestik Bruto (PDB), tetapi juga dengan mengedepankan konsep Kebahagiaan Nasional Bruto (KNB) dan memberikan penekanan yang kuat pada perlindungan lingkungan.
Umumnya, PDB memang sering digunakan sebagai tolok ukur untuk menilai pertumbuhan ekonomi dan kekuatan ekonomi suatu negara dari tahun ke tahun. Model pembangunan yang konvensional pun seringkali menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan utama.
Namun, Bhutan memiliki pandangan yang berbeda. Konsep Kebahagiaan Nasional Bruto (KNB) yang dianut oleh Bhutan didasarkan pada filosofi yang mendalam, yaitu keyakinan bahwa kemajuan sejati sebuah masyarakat dapat dicapai ketika pembangunan material dan spiritual berjalan seiringan, saling melengkapi, dan memperkuat satu sama lain.
Secara geografis, Bhutan terletak di antara dua negara besar Asia, yaitu Tiongkok dan India. Negara dengan luas wilayah sekitar 38.000 kilometer persegi ini berbatasan langsung dengan Tiongkok di sebelah utara, serta India di sisi selatan, timur, dan barat.
Keistimewaan lain dari Bhutan adalah hutannya yang sangat luas, meliputi sekitar 70% dari total wilayah negara. Hutan-hutan ini tidak hanya menjadi kekayaan alam yang tak ternilai, tetapi juga berfungsi sebagai penyerap karbon alami yang sangat efektif, mampu menangkap dan menyimpan karbon dioksida (CO2) dari atmosfer.
Berdasarkan data yang tercatat pada tahun 2017, Bhutan menghasilkan emisi CO2 sebanyak 2,2 juta ton. Namun, luasnya hutan Bhutan memiliki potensi luar biasa untuk menyerap hampir tiga kali lipat dari jumlah emisi tersebut, menjadikannya negara dengan kontribusi positif terhadap lingkungan global.
Lebih dari itu, seperti dilansir Earth.Org, Bhutan juga aktif dalam menghasilkan dan mengekspor energi terbarukan, yang sebagian besar berasal dari potensi sungai-sungai deras yang mengalir di wilayahnya.
Melalui ekspor energi terbarukan ini, Bhutan mampu mengimbangi sekitar 6 juta ton emisi CO2, menunjukkan komitmennya yang kuat terhadap keberlanjutan lingkungan dan perannya sebagai negara yang bertanggung jawab dalam isu perubahan iklim global.
Negara-negara penghasil karbon tertinggi
CO2 telah diidentifikasi sebagai gas rumah kaca utama yang dihasilkan oleh aktivitas manusia, dengan kontribusi mencapai sekitar 80% dari total emisi karbon secara global.
Baca Juga: Sustainability: Metode Baru Ini Diklaim Bisa Tekan Emisi Karbon dari Padi
Dominasi emisi karbon ini menjadikan CO2 sebagai faktor pendorong utama di balik perubahan iklim dan berbagai permasalahan lingkungan yang kita saksikan di seluruh dunia saat ini.
Secara sederhana, dapat dipahami bahwa emisi karbon ini bekerja dengan memerangkap energi matahari di atmosfer bumi, yang kemudian mengakibatkan terjadinya peningkatan suhu global secara berkelanjutan.
Dampak yang ditimbulkan oleh emisi karbon ini sangatlah signifikan dan luas. Peningkatan risiko terjadinya berbagai kejadian cuaca ekstrem, seperti banjir, kekeringan, dan badai yang lebih dahsyat, adalah salah satu konsekuensi utamanya.
Selain itu, emisi karbon juga memperburuk masalah kekurangan pangan dan air bersih, mengancam ketersediaan sumber daya vital bagi kehidupan manusia.
Lebih lanjut, kenaikan suhu global, pencairan es di kutub dan pegunungan, serta kenaikan permukaan laut yang diakibatkan oleh emisi karbon ini secara kolektif menciptakan ketidakamanan yang semakin meningkat bagi banyak komunitas di seluruh dunia.
Ironisnya, sebagian besar negara di dunia saat ini menghasilkan emisi karbon dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan kapasitas alam untuk menyerapnya. Kondisi ini menimbulkan ancaman serius terhadap stabilitas iklim global.
Sebagai gambaran, pada tahun 2020, diperkirakan lima negara menjadi penyumbang emisi karbon tertinggi di dunia. Tiongkok tercatat sebagai penghasil emisi terbesar dengan kontribusi mencapai 31% dari total emisi global.
Diikuti oleh Amerika Serikat dengan 14%, India 7%, Rusia 5%, dan Jepang 3%. Data ini menunjukkan bahwa sejumlah kecil negara memiliki peran yang sangat besar dalam masalah emisi karbon global.
Bhutan malah sebaliknya
Di tengah tantangan global ini, Bhutan muncul sebagai contoh yang unik dan inspiratif. Negara kecil yang terletak di Himalaya ini berhasil mencapai status sebagai negara dengan emisi karbon negatif.
Bagaimana Bhutan dapat mencapai prestasi luar biasa ini? Jawabannya terletak pada komitmen kuat terhadap konservasi lingkungan yang telah menjadi bagian integral dari identitas dan kebijakan negara mereka.
Baca Juga: Proyek Offset Karbon Tanah Terbesar di Dunia Ternyata Ilegal, Kok Bisa?
Konservasi yang ketat memainkan peran krusial dalam upaya Bhutan mengendalikan tingkat karbon di negaranya. Konstitusi Bhutan secara tegas menetapkan bahwa minimal 60% dari total wilayah negara harus tetap tertutup oleh hutan.
Komitmen ini bukan hanya sekadar pernyataan di atas kertas, tetapi diwujudkan dalam tindakan nyata. Lebih dari separuh wilayah Bhutan saat ini dilindungi sebagai hutan nasional, cagar alam, dan kawasan perlindungan satwa liar. Pemerintah Bhutan juga aktif menciptakan kondisi yang mendukung bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan lindung.
Dukungan ini bertujuan untuk memastikan bahwa masyarakat setempat dapat berperan aktif dalam melindungi hutan, serta mencegah aktivitas-aktivitas yang merusak seperti perburuan liar, pertambangan ilegal, dan pencemaran hutan.
Program-program perlindungan sumber daya nasional, seperti "Clean Bhutan" atau "Green Bhutan," juga sangat aktif dijalankan untuk memperkuat upaya konservasi ini.
Selain fokus pada perlindungan hutan, Bhutan juga sangat protektif terhadap keanekaragaman hayati yang dimilikinya melalui berbagai kebijakan dan program inovatif.
Salah satu contohnya adalah penyediaan listrik gratis bagi petani. Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada pembakaran kayu sebagai sumber energi, yang merupakan salah satu penyumbang emisi CO2. Bhutan memanfaatkan potensi sungai-sungainya yang melimpah untuk menghasilkan listrik tenaga air.
Pembangkit listrik tenaga air ini menyediakan sumber energi yang sepenuhnya terbarukan dan bersih. Bahkan, Bhutan berhasil menghasilkan listrik dalam jumlah yang sangat besar dari tenaga air, sehingga mampu menjual surplus energi tersebut ke negara tetangga seperti India.
Inisiatif ini bukan hanya merupakan strategi perdagangan yang cerdas, tetapi juga menjadi cara efektif untuk memastikan bahwa tidak ada produksi energi intensif karbon di wilayah sekitar.
Bhutan juga memberikan subsidi lingkungan untuk mendorong penggunaan teknologi yang lebih ramah lingkungan. Subsidi diberikan untuk pembelian lampu LED, yang jauh lebih hemat energi dan menghasilkan emisi karbon yang lebih rendah dibandingkan dengan jenis pencahayaan konvensional.
Lebih lanjut, Bhutan menjalin kerja sama dengan perusahaan otomotif Nissan untuk mengembangkan program subsidi yang mempromosikan penggunaan kendaraan listrik di seluruh negeri. Langkah ini merupakan upaya proaktif untuk mengurangi emisi dari sektor transportasi.
Baca Juga: Dampak Perubahan Iklim, Tumbuhan Kini Tak Lagi Berselera pada Karbon
Sebagai upaya untuk menjaga konektivitas ekosistem dan meningkatkan keanekaragaman hayati, pemerintah Bhutan telah menciptakan koridor-koridor biologis yang menghubungkan satu kawasan lindung dengan kawasan lindung lainnya.
Dengan adanya koridor ini, berbagai jenis hewan dapat bebas bergerak di seluruh negeri. Mobilitas ini sangat penting untuk membantu mereka beradaptasi dengan lebih baik terhadap perubahan iklim dan meningkatkan populasi mereka secara alami.
Melalui kombinasi kebijakan konservasi yang ketat, investasi dalam energi bersih, dan perlindungan keanekaragaman hayati, Bhutan telah berhasil menjadi negara dengan emisi karbon negatif. Prestasi ini menjadikan Bhutan sebagai contoh inspiratif bagi negara-negara lain di dunia dalam upaya mengatasi tantangan perubahan iklim global.
Mengapa sulit ditiru?
Meskipun langkah-langkah yang telah diambil oleh Bhutan dalam menjaga kelestarian lingkungan sangat menginspirasi dan dapat menjadi contoh bagi negara lain, penerapan strategi serupa secara global menghadapi tantangan yang signifikan.
Mewujudkan emisi karbon global menjadi nol bukanlah tugas yang mudah, karena tingkat pelepasan gas di suatu negara sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Negara-negara yang berhasil mencapai tingkat emisi yang lebih rendah dari rata-rata umumnya memiliki karakteristik tertentu, seperti ketersediaan sumber tenaga air yang melimpah seperti Portugal, atau sumber panas bumi yang besar seperti Islandia.
Selain itu, infrastruktur jaringan listrik yang kokoh, tingkat ketergantungan yang rendah pada bahan bakar fosil, dan implementasi kebijakan yang secara aktif mendukung pengurangan emisi karbon juga memainkan peran krusial.
Negara-negara yang diberkahi dengan sumber daya hidroelektrik atau panas bumi, didukung oleh jaringan listrik yang mumpuni, memiliki ketergantungan yang minimal pada bahan bakar fosil, dan memiliki kebijakan yang memprioritaskan pengurangan karbon, secara alami akan menghasilkan emisi yang lebih rendah dibandingkan negara lain yang tidak memiliki karakteristik serupa.
Namun, penting untuk menyadari bahwa tidak semua negara di dunia memiliki akses yang sama terhadap sumber energi terbarukan yang melimpah dan mudah diakses.
Bhutan, sebagai negara yang terletak di wilayah pegunungan dan memiliki populasi yang relatif kecil, hanya sekitar 800.000 penduduk, memiliki kondisi yang sangat spesifik.
Sebagai negara yang bukan merupakan negara industri besar, kebutuhan energi Bhutan jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara industri maju lainnya. Walaupun investasi dalam sistem energi listrik bersih berskala global adalah hal yang mungkin dilakukan, tantangan untuk mencapai emisi karbon nol tetaplah besar.
Sumber energi bersih yang cukup kuat untuk memenuhi kebutuhan energi seluruh populasi dunia mungkin hanya dapat dipenuhi oleh tenaga atom, yang meskipun efisien, juga memiliki risiko dan kekhawatiran tersendiri terkait dengan keamanan dan limbah radioaktif.
Masa depan Bhutan
Lalu, bagaimana dengan masa depan Bhutan dalam menjaga komitmen lingkungannya? Pada konferensi COP21 yang berlangsung di Paris pada tahun 2015, Bhutan telah membuat janji yang kuat bahwa emisi gas rumah kacanya tidak akan melebihi jumlah karbon yang mampu diserap oleh hutan-hutan yang ada di negara tersebut.
Proyeksi emisi Bhutan memang menunjukkan potensi peningkatan hingga hampir dua kali lipat pada tahun 2040. Meskipun demikian, dengan mempertahankan tingkat tutupan hutan yang ada saat ini, Bhutan diperkirakan akan tetap mempertahankan statusnya sebagai negara dengan karbon negatif.
Mempertahankan status karbon negatif ini sangatlah penting bagi Bhutan, sebuah negara di kawasan Asia Selatan, di mana kesadaran lingkungan dan penghargaan yang tinggi terhadap alam merupakan bagian integral dari nilai-nilai budaya dan masyarakatnya.
Bhutan saat ini berada "di jalur pembangunan hijau dan rendah karbon," sebuah visi yang didorong oleh inisiatif pemerintah untuk menjadikan negara ini sebagai negara bebas limbah pada tahun 2030. Selain itu, Bhutan juga menerapkan kebijakan yang bijaksana dalam mengelola pariwisata.
Dengan membatasi jumlah pengunjung yang masuk ke negara tersebut dan memberlakukan biaya harian yang cukup signifikan, yaitu hingga 250 dolar AS per orang, Bhutan berupaya untuk memastikan bahwa lingkungan alamnya tidak rusak akibat dampak negatif dari pariwisata massal.
Kebijakan ini merupakan langkah proaktif untuk menjaga kelestarian lingkungan Bhutan di tengah perkembangan sektor pariwisata.
KOMENTAR