Nationalgeographic.co.id—Selasa, 18 Maret 2025, pasar saham Indonesia diguncang oleh penurunan tajam yang membuat jantung para investor berdebar kencang. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tiba-tiba terjun bebas, kehilangan lebih dari 6 persen nilainya hanya dalam beberapa jam perdagangan.
Bursa Efek Indonesia (BEI) terpaksa memberlakukan trading halt, menghentikan sementara perdagangan untuk meredakan kepanikan yang melanda pasar.
Kejadian ini mengingatkan kita pada peristiwa kelam yang pernah mengguncang pasar saham dunia: Black Monday, 19 Oktober 1987. Saat itu, Dow Jones Industrial Average (DJIA) anjlok 22,6 persen dalam sehari, sebuah tragedi yang mencoreng sejarah keuangan global.
Pertanyaannya, apakah anjloknya IHSG pada 18 Maret 2025 ini sekadar guncangan sesaat, ataukah pertanda awal dari badai yang lebih besar? Apakah kita bisa belajar dari pengalaman Black Monday untuk menghadapi gejolak pasar saat ini?
Mari kita telusuri lebih dalam, menggali pelajaran berharga dari masa lalu untuk menghadapi tantangan masa depan.
Black Monday dan Penyebabnya
Tanggal 19 Oktober 1987, seperti dilansir laman Investopedia, menjadi catatan kelam dalam sejarah keuangan global ketika pasar saham dunia terguncang oleh peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Black Monday.
Pada hari yang penuh gejolak tersebut, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) mengalami penurunan yang sangat mencengangkan, yakni sebesar 22,6%, hanya dalam waktu satu hari perdagangan.
Peristiwa ini tidak hanya mengejutkan para pelaku pasar, tetapi juga menandai dimulainya penurunan pasar saham secara global dan tercatat sebagai salah satu hari terburuk dalam sejarah keuangan modern. Bahkan, indeks S&P 500 mengalami kerugian yang lebih besar lagi pada hari itu, mencapai angka 30%.
Para ekonom pada masa itu meyakini bahwa kombinasi antara ketidakstabilan geopolitik dan munculnya praktik perdagangan program terkomputerisasi menjadi faktor utama yang mempercepat gelombang aksi jual yang masif.
Meskipun tidak ada berita besar yang signifikan muncul pada akhir pekan sebelum terjadinya Black Monday, serangkaian faktor yang saling terkait menciptakan suasana kepanikan yang melanda para investor.
Baca Juga: Bagaimana Kejatuhan Pasar Saham Turut Memicu Great Depression 1929?
Salah satu pemicu utama adalah kondisi bull market yang sangat kuat dan telah berlangsung sejak tahun 1982, yang membuat pasar menjadi sangat rentan terhadap koreksi harga yang substansial setelah mengalami kenaikan harga saham hingga tiga kali lipat dalam kurun waktu tersebut.
Selain itu, perdagangan program terkomputerisasi, yang pada saat itu belum semasif sekarang, mulai menunjukkan dampaknya di beberapa perusahaan Wall Street.
Kejatuhan pasar saham pada tahun 1987 ini menjadi sorotan penting mengenai peran inovasi keuangan dan teknologi dalam meningkatkan volatilitas pasar.
Dalam sistem perdagangan otomatis, atau yang dikenal sebagai perdagangan program, proses pengambilan keputusan oleh manusia dihilangkan, dan perintah untuk membeli atau menjual dieksekusi secara otomatis berdasarkan level harga indeks acuan atau saham tertentu.
Sebelum terjadinya kejatuhan, model yang digunakan cenderung menghasilkan umpan balik positif yang kuat, yang berarti semakin banyak perintah beli dikeluarkan ketika harga naik, dan sebaliknya, semakin banyak perintah jual dikeluarkan ketika harga mulai menurun.
Strategi perdagangan program lain yang dikenal sebagai portfolio insurance juga diyakini menjadi salah satu faktor kunci di balik Black Monday.
Strategi ini bertujuan untuk melindungi portofolio saham dari risiko pasar dengan melakukan short-selling pada kontrak berjangka indeks saham, sehingga potensi kerugian dapat dibatasi jika harga saham mengalami penurunan, tanpa perlu menjual saham yang dimiliki.
Namun, program komputer mulai melikuidasi saham secara otomatis ketika target kerugian tertentu tercapai, yang justru mendorong harga semakin rendah. Hal ini kemudian menciptakan efek domino, di mana pasar yang terus menurun memicu lebih banyak perintah stop-loss, sementara tawaran untuk membeli saham menghilang dari pasar.
Situasi ini diperparah dengan adanya fenomena triple witching yang terjadi pada tanggal 16 Oktober, hari Jumat sebelum kejatuhan. Triple witching merupakan kedaluwarsa serentak dari kontrak opsi saham, kontrak berjangka indeks saham, dan kontrak opsi indeks saham, yang mengakibatkan volatilitas yang sangat tinggi pada jam-jam terakhir perdagangan hari Jumat, dengan aksi jual besar-besaran yang terus berlanjut setelah jam perdagangan reguler berakhir.
Terakhir, iklim politik internasional yang tidak menentu juga turut membuat para investor merasa gelisah. Peran media dalam memperkuat perkembangan ini juga tidak luput dari kritik.
Meskipun terdapat berbagai teori yang mencoba menjelaskan penyebab pasti kejatuhan tersebut, sebagian besar analis sepakat bahwa kepanikan massal menjadi faktor utama yang mempercepat dan memperburuk situasi. Begitu penurunan harga saham dimulai, para investor terus melakukan penjualan tanpa henti.
Baca Juga: Kadin: Sustainability Jadi Kunci Target Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen
Dampak Black Monday
Setelah terjadinya kejatuhan pasar yang dramatis, Federal Reserve mengambil langkah cepat dengan memangkas suku bunga sebesar setengah poin persentase.
Langkah ini diharapkan dapat membebaskan modal dan mendorong peningkatan aktivitas pinjaman dalam perekonomian. Selain itu, bank sentral Amerika Serikat tersebut juga menyuntikkan miliaran dolar ke dalam sistem keuangan melalui kebijakan pelonggaran kuantitatif.
Sebagai respons terhadap Black Monday, para regulator memperkenalkan berbagai mekanisme perlindungan baru yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejatuhan kilat akibat perdagangan program. Salah satu mekanisme penting yang diperkenalkan adalah circuit breaker pada pasar saham terkemuka.
Circuit breaker ini dirancang untuk secara otomatis menghentikan perdagangan jika terjadi pergerakan harga yang tidak lazim. Circuit breaker dapat menghentikan seluruh perdagangan di bursa jika indeks tertentu, seperti S&P 500 di Amerika Serikat, mengalami penurunan yang signifikan.
Selain itu, terdapat juga circuit breaker untuk saham individu, yang hanya menghentikan perdagangan pada sekuritas tertentu. Tujuan utama dari mekanisme ini adalah untuk mencegah para pedagang melakukan penjualan panik selama penurunan harga yang tiba-tiba.
Pada tahun 2022, level circuit breaker ditetapkan pada penurunan 7%, 13%, dan 20%. Penurunan sebesar 7% dari harga penutupan hari perdagangan sebelumnya dianggap sebagai penurunan Level 1, yang akan menghentikan perdagangan selama 15 menit.
Penurunan sebesar 13% merupakan Level 2 dan juga akan menghasilkan penghentian perdagangan selama 15 menit. Sementara itu, penurunan sebesar 20% akan mengakhiri perdagangan untuk hari tersebut.
Mungkinkah Black Monday Terulang?
Sejak peristiwa Black Monday, berbagai mekanisme perlindungan telah diterapkan ke dalam pasar keuangan untuk meminimalisir risiko terjadinya penjualan panik, termasuk pembatasan perdagangan dan circuit breaker.
Namun, perkembangan teknologi telah membawa perubahan signifikan dalam praktik perdagangan, terutama dengan munculnya algoritma perdagangan frekuensi tinggi (HFT) yang didukung oleh superkomputer.
Algoritma ini mampu memindahkan volume perdagangan yang sangat besar hanya dalam hitungan milidetik. Meskipun HFT dapat meningkatkan likuiditas pasar, algoritma ini juga terbukti dapat berkontribusi dan bahkan menyebabkan terjadinya flash crash, seperti yang terjadi pada tahun 2010.
Flash Crash tahun 2010 merupakan contoh bagaimana kesalahan dalam algoritma HFT dapat mengirim pasar saham anjlok hampir 9% hanya dalam beberapa menit.
Peristiwa ini kemudian mendorong pemasangan pita harga yang lebih ketat, meskipun pasar saham tetap mengalami beberapa momen volatilitas yang signifikan sejak tahun 2010.
Di tengah krisis global tahun 2020, pasar keuangan kembali mengalami guncangan yang serupa pada bulan Maret ketika tingkat pengangguran mencapai level tertinggi sejak Depresi Hebat, sebelum akhirnya pulih selama musim panas tahun yang sama.
KOMENTAR