Nationalgeographic.co.id—Pada bulan November 2018, seorang misionaris muda Amerika berenang dari perahu nelayan ke pantai terpencil di Samudra Hindia. Nasib nahas menimpanya. Ia dibunuh oleh penduduk asli pulau dengan busur dan anak panah.
Berita tentang pertemuan fatal di Pulau Sentinel Utara—sepetak tanah kecil di kepulauan Andaman—membuat dunia terkejut. Sebagian besar tidak menyadari bahwa tempat seperti itu ada di zaman modern ini. Sebuah pulau yang penduduknya yang berburu dan meramu masih hidup dalam keterasingan yang hampir total.
Misionaris yang percaya diri, John Allen Chau (26 tahun), memiliki misi untuk mengubah agama penduduk asli di pulau itu. Namun kunjungan singkatnya memberikan kejayaan lain yang khas abad ke-21. Dalam beberapa hari, tanpa sepengetahuan penduduk pulau, fakta keberadaan mereka menjadi viral.
Dalam 5 tahun sejak kematian Chau, Suku Sentinel, sebutan bagi anggota suku tersebut oleh orang luar, memiliki pengikut fanatik di seluruh dunia. Ketik “Pulau Sentinel Utara” di mesin pencari dan Anda akan mendapatkan banyak informasi.
Banyak penggemar penduduk pulau menganggap mereka sebagai “pahlawan”. Mengapa? Orang-orang kagum karena Suku Sentinel menolak keras dunia yang saling terhubung. Mereka dianggap sebagai praktisi detoks digital paling berkomitmen di planet ini.
“Dalam banyak hal, Sentinel Utara tetap menjadi terra incognita atau tanah tak dikenal,” tulis Adam Goodheart di laman National Geographic.
Apa yang diketahui dunia luar tentang Suku Sentinel?
Tidak ada pengunjung yang pernah memetakan bagian dalam pulau yang diselimuti hutan (kira-kira seukuran Manhattan). Bahkan mungkin tidak ada yang pernah sekadar mengobrol dengan penduduknya. Tidak seorang pun tahu jumlah populasi pulau itu, yang diperkirakan antara 50 dan 200 jiwa.
Tidak seorang pun kecuali Suku Sentinel yang tahu bahasa apa yang mereka gunakan serta hukum apa yang mengatur mereka. Bahkan tidak ada yang tahu dewa apa yang mungkin mereka sembah atau apa sebutan suku itu dalam bahasanya sendiri.
Dari perahu dan pesawat yang lewat, orang dapat melihat mereka sedang menombak ikan di perairan dangkal. Mereka mengarahkan kano menyeberangi laguna dan mengarahkan busur untuk berburu binatang buruan.
Menurut Survival International, ada lebih dari 100 suku hidup dalam pengasingan. Mereka tinggal di tempat-tempat mulai dari hutan hujan Amazon hingga Samudra Hindia hingga Indonesia. Suku Sentinel yang merupakan satu-satunya suku di pulau kecil yang terpencil, mungkin merupakan suku yang paling terisolasi di dunia.
Baca Juga: Jeli Lihat Gerakan Tangan Anak Suku Sentinel, Nyawa Antropolog India Ini Selamat
Apakah Suku Sentinel benar-benar terpisah dari modernitas?
Pada tahun 1975, National Geographic menerbitkan foto-foto dramatis tentang suku Sentinel. Dalam foto, tampak salah satu anggota Suku Sentinel melepaskan anak panah ke sebuah ekspedisi “kontak persahabatan”. Ekspedisi tersebut dilakukan oleh para antropolog dan pembuat film India. Gambar-gambar tersebut membantu mendefinisikan Suku Sentinel di mata khalayak global sebagai suku yang bermusuhan dan kuno.
Tidaklah tepat untuk mengatakan bahwa penduduk pulau itu hidup terpisah dari modernitas. Mereka hidup di masa kini, seperti kita semua. Mereka juga tidak kekurangan teknologi. Busur Suku Sentinel adalah alat yang ampuh dan dibuat dengan indah. Mereka menggunakannya dengan keterampilan yang luar biasa dan membuat kepala anak panahnya dengan logam bekas. “Mungkin dari bangkai kapal di dekatnya,” ungkap Goodheart.
Namun, sebagian besar dari 10.000 tahun terakhir sejarah manusia telah berlalu melewati Sentinel Utara. Pulau ini hampir sepenuhnya terhindar dari semua perangkat dan alat yang menghubungkan suku ke suku, benua ke benua. Termasuk tulisan, mesin uap, hingga telepon pintar.
Suku Sentinel mungkin telah mengetahui tentang dunia luar dari kontak sekilas mereka dengan orang-orang luar yang mencoba menjalin hubungan. Namun mereka mungkin tidak tahu bahwa rumah mereka adalah salah satu tempat terakhir yang sejenis di Bumi.
Mengapa Suku Sentinel bisa tetap terisolasi hingga kini?
Tampaknya tidak ada penjelasan sederhana tentang bagaimana Suku Sentinel berhasil tetap terisolasi begitu lama.
Sesekali selama beberapa abad terakhir, berbagai orang luar telah mencoba melakukan kontak dengan penduduk lokal Sentinel Utara. Yang pertama adalah Inggris saat mereka Inggris memperluas wilayah kekuasaannya di Kepulauan Andaman pada tahun 1850-an. Kemudian setelah India menguasai kepulauan tersebut.
Dari tahun 1967 hingga awal tahun 2000-an, antropolog pemerintah India terkadang dapat mendekati pantai dengan perahu. Dua kali pada tahun 1991 bahkan cukup dekat untuk memberikan kelapa dan pisang kepada penduduk pulau di ombak.
Lebih sering, Suku Sentinel menghilang begitu saja ke dalam hutan ketika penyusup mendekat. Atau mereka merespons seperti yang mereka lakukan kepada Chau. Pertama dengan gerakan dan seruan yang secara tidak salah lagi mengomunikasikan peringatan. Dan kemudian, jika gagal, dengan tembakan anak panah.
Mungkin tidak begitu misterius mengapa suku tersebut mempertahankan pertahanannya dengan begitu kuat. Kepulauan Andaman mencakup ratusan pulau. Beberapa di antaranya pernah menjadi rumah bagi komunitas pribumi yang berkembang pesat yang mungkin menyerupai Suku Sentinel secara bahasa dan budaya.
Baca Juga: Kala Kematian Misionaris di Pulau Sentinel Utara Justru Bahayakan Penduduk Asli
Pada abad ke-19, Inggris menyerbu pulau-pulau tersebut dan mendirikan koloni di salah satu pulau terbesar. Koloni itu menampung puluhan ribu tahanan dari pemberontakan yang gagal pada tahun 1857 di India Britania. Konsekuensi yang mengerikan pun terjadi. Penduduk pulau tersebut dihancurkan oleh penyakit dan kekerasan. Ironisnya, budaya asli ditekan oleh orang Eropa yang bermaksud untuk “mengkristenkan” dan “memperadabkan” mereka.
Suku Sentinel tidak memiliki kapal yang layak laut untuk berlayar di luar laguna mereka sendiri. Meski demikian, mereka pasti dikunjungi oleh penduduk pulau tetangga yang mungkin telah memperingatkan mereka. Bisa jadi, kabar tentang nasib buruk yang menanti di tangan penjajah pun sudah sampai ke Suku Sentinel.
Dan setidaknya pada satu kesempatan, Suku Sentinel sendiri mengalami invasi. Pada tahun 1880, seorang pejabat kolonial dan antropolog otodidak, Maurice Vidal Portman, berkunjung. Tujuan kunjungannya itu adalah untuk berteman dengan penduduk setempat, seperti yang ia ungkap dengan “riang”. Lebih tepatnya, ia mendarat bersama sekelompok besar pria bersenjata dan berjalan mondar-mandir selama 2 minggu. Mereka berhasil menangkap dan menculik empat anak kecil dan sepasang suami istri tua.
Tahanan malang terseut kemudian ia bawa ke koloni hukuman utama Inggris. Di sana, keenam anak itu jatuh sakit dengan cepat dan pria dan wanita tua itu meninggal. Anak-anak yang sakit itu dikirim kembali ke pulau mereka, dengan membawa banyak hadiah. Mikroba asing apa yang mungkin mereka bawa dalam perjalanan pulang itu hanya bisa ditebak.
Jadi, Suku Sentinel punya alasan kuat untuk merespons seperti yang mereka lakukan pada tahun 2004. Saat itu helikopter Penjaga Pantai India menukik rendah di atas pulau mereka. Para penjaga pantai datang untuk memastikan bahwa penduduknya selamat dari tsunami Samudra Hindia.
Seorang pria berlari keluar dari hutan dan menembakkan anak panah ke helikopter itu. Petugas penjaga pantai kembali dengan foto yang mencolok. Sosok berlari melintasi pantai, kakinya lincah bak seorang penari. Ia mengarahkan busurnya ke atas ke arah para pelintas udara. Tak satu pun ciri-ciri pria itu terlihat. Namun siluetnya yang kabur di atas pasir putih bersih memiliki keabadian lukisan gua Paleolitik dan kedekatan dengan tanda berhenti.
Suku Sentinel dikenal di seluruh dunia sebagai pendiam. Namun Suku Sentinel menyampaikan satu pesan yang lantang dan jelas: Biarkan kami.
Dunia luar perlahan merambah Suku Sentinel
Jika bepergian ke Kepulauan Andaman, salah satu hal teraneh yang akan Anda temukan tentang Suku Sentinel. Ternyata, mereka tidak terisolasi secara geografis. Hanya 32 km lautan yang memisahkan mereka dari pantai tempat para turis berenang dengan tenang.
Wisatawan dapat menikmati resor pantai dan spa yang memiliki 72 bungalow mewah di Andaman. Bungalow tersebut konon terinspirasi oleh gubuk-gubuk adat Andaman.
Suku Sentinel memang tidak dapat melihat resor mewah dari permukiman mereka. Tapi mereka mungkin dapat melihat kabut asap abu-abu kekuningan yang menyelimuti Port Blair, ibu kota administratif pulau tersebut. Mereka jelas dapat melihat jet penumpang. Jet melintas cukup dekat sehingga turis menempelkan wajah dan ponsel ke jendela untuk mengambil gambar yang layak diunggah di media sosial.
Suku Sentinel, pemburu-pengumpul yang jeli, tentu saja telah mengamati dunia luar dengan saksama sebagaimana dunia luar mengamati mereka. Mungkin lebih dari itu, karena perahu dan mesin terbang kita kini telah menjadi bagian yang akrab di lingkungan mereka.
Di pulau-pulau lain di Kepulauan Andaman, pantai-pantai dulunya bersih. Namun kini terendam oleh sampah dari negara-negara tetangga. Sandal jepit yang hilang, tampon, dan ratusan botol air. Pastinya sampah seperti itu juga mencapai pantai Sentinel Utara di mana Suku Sentinel tinggal.
Antropolog India Vishvajit Pandya melakukan beberapa perjalanan dengan perahu pada tahun 2000-an untuk mengamati Suku Sentinel dari jarak yang aman. Ia mengungkapkan bahwa ia pernah melihat beberapa penduduk pulau menggunakan terpal plastik biru sebagai atap gubug. Terpal itu mungkin dijatuhkan dari perahu yang lewat.
Karena kenyataannya adalah bahwa kita sudah merambah Suku Sentinel tanpa henti. Sama kejam dan sembrononya seperti penjajah kekaisaran mana pun. Perubahan iklim, penangkapan ikan berlebihan, polusi, dan sampah plastik akan mengancam tumbuhan dan hewan. Padahal, tumbuhan dan hewan tersebut dibutuhkan Suku Sentinel untuk bertahan hidup.
Namun, mistik pulau kecil itu—dan jejak digitalnya yang sangat besar—tidak menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Setidaknya untuk saat ini, isolasi Sentinel Utara memiliki tujuan yang mendesak bukan hanya bagi penduduk pulau tetapi juga bagi kita semua. Keterpencilan sempurna tempat itu, tak terikat oleh ruang dan waktu biasa, adalah fantasi penghiburan diri kita sendiri. Selama Suku Sentinel masih ada, kita dapat mengatakan kepada diri sendiri bahwa planet kita sendiri tetap, hingga tingkat tertentu, tak tersentuh.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR