Pada abad ke-19, Inggris menyerbu pulau-pulau tersebut dan mendirikan koloni di salah satu pulau terbesar. Koloni itu menampung puluhan ribu tahanan dari pemberontakan yang gagal pada tahun 1857 di India Britania. Konsekuensi yang mengerikan pun terjadi. Penduduk pulau tersebut dihancurkan oleh penyakit dan kekerasan. Ironisnya, budaya asli ditekan oleh orang Eropa yang bermaksud untuk “mengkristenkan” dan “memperadabkan” mereka.
Suku Sentinel tidak memiliki kapal yang layak laut untuk berlayar di luar laguna mereka sendiri. Meski demikian, mereka pasti dikunjungi oleh penduduk pulau tetangga yang mungkin telah memperingatkan mereka. Bisa jadi, kabar tentang nasib buruk yang menanti di tangan penjajah pun sudah sampai ke Suku Sentinel.
Dan setidaknya pada satu kesempatan, Suku Sentinel sendiri mengalami invasi. Pada tahun 1880, seorang pejabat kolonial dan antropolog otodidak, Maurice Vidal Portman, berkunjung. Tujuan kunjungannya itu adalah untuk berteman dengan penduduk setempat, seperti yang ia ungkap dengan “riang”. Lebih tepatnya, ia mendarat bersama sekelompok besar pria bersenjata dan berjalan mondar-mandir selama 2 minggu. Mereka berhasil menangkap dan menculik empat anak kecil dan sepasang suami istri tua.
Tahanan malang terseut kemudian ia bawa ke koloni hukuman utama Inggris. Di sana, keenam anak itu jatuh sakit dengan cepat dan pria dan wanita tua itu meninggal. Anak-anak yang sakit itu dikirim kembali ke pulau mereka, dengan membawa banyak hadiah. Mikroba asing apa yang mungkin mereka bawa dalam perjalanan pulang itu hanya bisa ditebak.
Jadi, Suku Sentinel punya alasan kuat untuk merespons seperti yang mereka lakukan pada tahun 2004. Saat itu helikopter Penjaga Pantai India menukik rendah di atas pulau mereka. Para penjaga pantai datang untuk memastikan bahwa penduduknya selamat dari tsunami Samudra Hindia.
Seorang pria berlari keluar dari hutan dan menembakkan anak panah ke helikopter itu. Petugas penjaga pantai kembali dengan foto yang mencolok. Sosok berlari melintasi pantai, kakinya lincah bak seorang penari. Ia mengarahkan busurnya ke atas ke arah para pelintas udara. Tak satu pun ciri-ciri pria itu terlihat. Namun siluetnya yang kabur di atas pasir putih bersih memiliki keabadian lukisan gua Paleolitik dan kedekatan dengan tanda berhenti.
Suku Sentinel dikenal di seluruh dunia sebagai pendiam. Namun Suku Sentinel menyampaikan satu pesan yang lantang dan jelas: Biarkan kami.
Dunia luar perlahan merambah Suku Sentinel
Jika bepergian ke Kepulauan Andaman, salah satu hal teraneh yang akan Anda temukan tentang Suku Sentinel. Ternyata, mereka tidak terisolasi secara geografis. Hanya 32 km lautan yang memisahkan mereka dari pantai tempat para turis berenang dengan tenang.
Wisatawan dapat menikmati resor pantai dan spa yang memiliki 72 bungalow mewah di Andaman. Bungalow tersebut konon terinspirasi oleh gubuk-gubuk adat Andaman.
Suku Sentinel memang tidak dapat melihat resor mewah dari permukiman mereka. Tapi mereka mungkin dapat melihat kabut asap abu-abu kekuningan yang menyelimuti Port Blair, ibu kota administratif pulau tersebut. Mereka jelas dapat melihat jet penumpang. Jet melintas cukup dekat sehingga turis menempelkan wajah dan ponsel ke jendela untuk mengambil gambar yang layak diunggah di media sosial.
Suku Sentinel, pemburu-pengumpul yang jeli, tentu saja telah mengamati dunia luar dengan saksama sebagaimana dunia luar mengamati mereka. Mungkin lebih dari itu, karena perahu dan mesin terbang kita kini telah menjadi bagian yang akrab di lingkungan mereka.
Di pulau-pulau lain di Kepulauan Andaman, pantai-pantai dulunya bersih. Namun kini terendam oleh sampah dari negara-negara tetangga. Sandal jepit yang hilang, tampon, dan ratusan botol air. Pastinya sampah seperti itu juga mencapai pantai Sentinel Utara di mana Suku Sentinel tinggal.
Antropolog India Vishvajit Pandya melakukan beberapa perjalanan dengan perahu pada tahun 2000-an untuk mengamati Suku Sentinel dari jarak yang aman. Ia mengungkapkan bahwa ia pernah melihat beberapa penduduk pulau menggunakan terpal plastik biru sebagai atap gubug. Terpal itu mungkin dijatuhkan dari perahu yang lewat.
Karena kenyataannya adalah bahwa kita sudah merambah Suku Sentinel tanpa henti. Sama kejam dan sembrononya seperti penjajah kekaisaran mana pun. Perubahan iklim, penangkapan ikan berlebihan, polusi, dan sampah plastik akan mengancam tumbuhan dan hewan. Padahal, tumbuhan dan hewan tersebut dibutuhkan Suku Sentinel untuk bertahan hidup.
Namun, mistik pulau kecil itu—dan jejak digitalnya yang sangat besar—tidak menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Setidaknya untuk saat ini, isolasi Sentinel Utara memiliki tujuan yang mendesak bukan hanya bagi penduduk pulau tetapi juga bagi kita semua. Keterpencilan sempurna tempat itu, tak terikat oleh ruang dan waktu biasa, adalah fantasi penghiburan diri kita sendiri. Selama Suku Sentinel masih ada, kita dapat mengatakan kepada diri sendiri bahwa planet kita sendiri tetap, hingga tingkat tertentu, tak tersentuh.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR