Nationalgeographic.co.id—Setelah Perang Dunia II berakhir, Amerika Serikat menjalankan operasi rahasia bernama Operation Paperclip, sebuah program kontroversial dalam sejarah yang merekrut ratusan ilmuwan Nazi untuk bekerja di dalam negeri.
Mereka bukan sekadar ilmuwan biasa, melainkan tokoh kunci dalam pengembangan senjata, roket, hingga teknologi militer Nazi Jerman. Dengan dalih demi kemenangan dalam Perang Dingin melawan Uni Soviet, AS menutup mata terhadap masa lalu kelam mereka dan menyambut mereka sebagai aset strategis.
Di sinilah sejarah moral menjadi abu-abu, ketika sains, kekuasaan, dan politik bertemu dalam satu persimpangan gelap.
Apa Itu Operasi Paperclip?
Pada musim semi tahun 1945, pasukan Sekutu semakin mendekati jantung kekuasaan Nazi Jerman. Akhir Perang Dunia II di Eropa sudah di depan mata. Di tengah situasi itu, para pejabat Amerika mulai menyusun rencana untuk dunia pascaperang—termasuk upaya merekrut ilmuwan-ilmuwan terbaik Jerman guna mendorong kemajuan teknologi Amerika Serikat.
Amerika, di satu sisi, kagum, namun juga gentar terhadap keunggulan teknologi militer Jerman selama perang. Mereka khawatir dengan kemungkinan munculnya Wunderwaffen (senjata ajaib) generasi baru, terutama setelah mendengar laporan mengenai senjata mematikan seperti rudal jelajah V-1 dan roket V-2 yang sangat presisi.
Ketika ketegangan Perang Dingin mulai memanas, kekhawatiran terbesar Amerika adalah jika ilmuwan-ilmuwan Jerman justru direkrut oleh Prancis atau Uni Soviet.
“Amerika Serikat harus mencegah ilmuwan Jerman jatuh ke tangan Soviet dengan menahan mereka di AS,” kata Brian Crim, profesor sejarah di University of Lynchburg dan penulis buku Our Germans: Project Paperclip and the National Security State.
Maka, para ilmuwan yang sebelumnya bekerja untuk Partai Nazi pun dibujuk dengan janji kontrak kerja dan kehidupan baru di Amerika.
Operasi Paperclip—yang kadang juga disebut sebagai Project Paperclip—dipimpin oleh Joint Intelligence Objectives Agency.
Tujuannya adalah memanfaatkan keahlian teknologi para ilmuwan tersebut untuk mengembangkan program dirgantara, militer, dan luar angkasa Amerika. Secara resmi, operasi ini berlangsung hingga tahun 1947, namun inisiatif serupa terus berlanjut hingga 1962.
Melalui program ini, sekitar 1.500 ilmuwan dari Jerman dan Austria dibawa ke Amerika, dan sebagian besar dari mereka akhirnya menjadi warga negara AS.
Dalam memilih ilmuwan mana yang akan direkrut, pejabat Amerika menggunakan daftar berisi 15.000 nama yang sebelumnya disusun oleh insinyur Jerman bernama Werner Osenberg selama masa perang. Saat pasukan Sekutu mulai menyerbu pada tahun 1945, para pejabat Jerman panik.
Mereka merobek dokumen milik Osenberg dan berusaha membuangnya ke toilet di Universitas Bonn. Beruntung, dokumen-dokumen yang nyaris hancur itu berhasil diselamatkan, dan kemudian menjadi dasar bagi Amerika dalam menentukan siapa saja ilmuwan yang akan direkrut.
Kenapa Disebut Operasi Paperclip?
Nama program ini berasal dari penggunaan paperclip (penjepit kertas) sebagai penanda khusus pada dokumen para kandidat ilmuwan. Dalam bukunya The Nazis Next Door: How America Became a Safe Haven for Hitler's Men, jurnalis Eric Lichtblau menjelaskan bahwa para perekrut memeriksa latar belakang para ilmuwan untuk mengetahui apakah mereka masih menjadi anggota Partai Nazi atau setidaknya memiliki afiliasi terhadap ideologi Nazi—meskipun secara resmi ini hanyalah formalitas belaka.
Menurut sejarawan Brian Crim, pejabat Amerika “menjepitkan paperclip di bagian atas berkas keamanan milik ilmuwan yang mereka minati.”
Tujuannya adalah memberi sinyal kepada penyelidik agar tidak terlalu mendalami rekam jejak para ilmuwan tersebut. “Sebagian besar dari mereka memang anggota Partai Nazi atau terlibat dalam organisasi terlarang seperti Schutzstaffel (SS),” jelas Crim. “Paperclip itu pada dasarnya mengatakan, ‘Jangan telisik terlalu jauh—orang ini milik kita.’”
Meskipun tak ada lembaga resmi Amerika yang secara terbuka menjelaskan proses penyaringan ilmuwan dalam Operasi Paperclip, sejumlah jurnalis dan ilmuwan independen kemudian mengungkap fakta-fakta kontroversial mengenai latar belakang beberapa ilmuwan yang terlibat dalam program ini.
Peran Operasi Paperclip dalam Perlombaan Luar Angkasa
Pada 1950–1960-an, program luar angkasa Amerika berkembang pesat seiring meningkatnya persaingan dengan Uni Soviet dalam ambisi menaklukkan Bulan. Beberapa ilmuwan hasil rekrutmen Operasi Paperclip memainkan peran penting dalam mendukung Amerika dalam apa yang disebut sebagai perlombaan luar angkasa.
Salah satu tokohnya adalah ilmuwan Jerman Wernher von Braun. Di Jerman, ia dikenal sebagai pencipta roket V-2—rudal balistik jarak jauh pertama di dunia. Namun, von Braun juga pernah menjabat sebagai perwira di SS, organisasi paramiliter elite yang setia kepada Partai Nazi.
Setelah dibawa ke Amerika, ia pertama kali ditempatkan di Fort Bliss, Texas, lalu pindah ke Huntsville, Alabama, bersama timnya. Mereka mengembangkan berbagai roket dan rudal untuk militer Amerika sebelum akhirnya bergabung dengan NASA pada tahun 1960. Di sana, von Braun menjadi tokoh utama dalam pengembangan program antariksa, serta pendukung vokal eksplorasi luar angkasa.
Ilmuwan eks-Nazi lainnya yang turut terlibat dalam program luar angkasa adalah Kurt Debus, mantan anggota SS yang kemudian menjadi direktur pertama Kennedy Space Center. Ada juga Hubertus Strughold, yang merintis penelitian di bidang kedokteran luar angkasa. Namun, setelah kematiannya, ia dikritik karena pernah terlibat dalam eksperimen medis terhadap tahanan kamp konsentrasi saat masih berada di Jerman.
Kontroversi
Operasi Paperclip menuai kontroversi karena proses seleksi yang longgar terhadap ilmuwan eks-Nazi. Beberapa ilmuwan seperti Georg Rickhey dan Arthur Rudolph terlibat dalam kejahatan perang, namun tetap direkrut dan diberi posisi penting di Amerika.
Rickhey sempat diadili di Jerman namun dibebaskan, sementara Rudolph menghindari pengadilan dengan meninggalkan AS dan melepaskan kewarganegaraannya.
Warisan Operasi Paperclip masih diperdebatkan. Sejarawan Brian Crim menyebut kontribusi ilmuwan tersebut bagi sains Amerika kerap dibesar-besarkan. Program ini juga menimbulkan dilema etika karena memberi keuntungan besar pada eks-Nazi. Pertanyaan tentang apakah sains benar-benar netral secara moral masih terus diperdebatkan hingga kini.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR