Buddhisme Tibet dan peran lama
Lama merupakan guru penting pengetahuan esoterik dalam garis keturunan agama. Konsep reinkarnasi lama berkembang dalam Buddhisme Tibet saat Buddhisme Vajrayana dibawa dari India dan berakar di Tibet.
Buddhisme masuk ke Tibet dalam dua penyebaran utama. Menurut sejarah tekstual, Buddhisme pertama kali dibawa dari Tiongkok dan Nepal ke Tibet di bawah pemerintahan raja Srong-brtsan-sgam-po (605–660 M). Buddhisme kemudian menjadi agama negara di bawah keturunannya Khri-srong-lde-btsan (755–797).
Namun, kekaisaran Tibet dan biara-biara Buddha runtuh selama abad ke-9. Buddhisme berkembang lagi, dalam apa yang disebut penyebaran kedua, yang dimulai pada pertengahan abad ke-10. Bentuk ajaran Buddha yang berakar paling kuat di Tibet selama pertukaran ini adalah Vajrayana. Ajaran ini didasarkan pada teks-teks Tantra dan juga mencakup banyak gagasan yang dikembangkan di cabang-cabang lain. Aspek utama ajaran Buddha Vajrayana adalah persyaratan inisiasi (abhisheka) oleh seorang guru yang berkualifikasi, yang disebut lama.
Seiring berkembangnya agama Buddha di Tibet, berbagai aliran terbentuk di sekitar teks-teks Tantra dan garis keturunan guru tertentu. Aliran-aliran ini memegang kekuasaan agama dan politik. Empat aliran utama yang berkembang adalah Nyingma, Sakya, Kagyu, dan Gelukpa.
Dalam aliran Kagyu, pada abad ke-13 dimulai tradisi suksesi dalam ordo keagamaan berdasarkan lama kepala yang terlahir kembali dalam inkarnasi lain. Hal ini pun kemudian menjadi ide umum di antara berbagai aliran Buddhisme Tibet.
Aliran Gelukpa, yang muncul pada abad ke-14, mengadopsi bentuk suksesi ini untuk para pemimpinnya, Dalai Lama. Para Geluk sangat dihormati di Tibet karena kecakapan akademis dan agamanya. Geluk juga memperoleh kekuasaan politik, sebagian didukung oleh para pemimpin Mongolia. Geluk memiliki sejarah panjang dalam mencoba menyeimbangkan kekuasaan dengan kekaisaran di Mongolia dan Tiongkok.
Sejarah Dalai Lama
Yang pertama dalam garis keturunannya adalah Dge-’dun-grub-pa (Gendun Drupa; 1391–1474), pendiri dan kepala biara Tashilhunpo (Tibet tengah). Sesuai dengan kepercayaan pada lama yang bereinkarnasi, para penerusnya dianggap sebagai kelahiran kembali. Mereka dianggap sebagai manifestasi fisik dari bodhisattva yang penuh kasih sayang (calon Buddha), Avalokiteshvara.
Kepala kedua dari ordo Dge-lugs-pa (Gelukpa), Dge-’dun-rgya-mtsho (Gendun Gyatso; 1475–1542), menjadi kepala biara dari biara ’Bras-spungs (Drepung). Biara ini berada pinggiran Lhasa dan sejak saat itu menjadi tempat kedudukan utama Dalai Lama.
Dalai Lama ketiga adalah orang pertama yang disebut dengan gelar khusus tersebut. Bsod-nams-rgya-mtsho (Sonam Gyatso; 1543–1588) mengunjungi kepala suku Mongol Altan Khan dan menerima gelar kehormatan ta-le dari penguasa tersebut. Ta-le adalah padanan Mongolia untuk kata rgya-mtsho (gyatso) dalam bahasa Tibet, yang berarti lautan. Gelar tersebut mungkin menyiratkan keluasan dan kedalaman kebijaksanaan.
Dalam kesepakatan bersama mereka, Altan Khan mengakui Sonam Gyatso sebagai guru agamanya. Dan Dalai Lama yang baru diangkat mengakui kepemimpinan politik Altan Khan. Gelar tersebut kemudian diberikan secara anumerta kepada dua pendahulu kepala biara tersebut. Orang Tibet sendiri menyebut Dalai Lama sebagai “Rgyal-ba Rin-po-che” (Gyalwa Rinpoche, “Penakluk yang Berharga”).
Source | : | The Conversation,Britanicca |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR