Alih-alih hanya memusatkan perhatian pada peristiwa tumbukannya, Katarina Rodiouchkina, seorang ahli kimia, menjelaskan bahwa tim peneliti memilih untuk mempelajari dampak yang terjadi setelahnya.
Mereka memulai dengan menganalisis jejak sulfur pada batuan di wilayah kawah, yang diyakini sebagai sumber utama pelepasan aerosol sulfat ke atmosfer.
Aerosol ini kemudian menyebar ke seluruh dunia dan kembali mengendap ke permukaan Bumi dalam kurun waktu beberapa bulan hingga beberapa tahun setelah tumbukan.
Endapan sulfur tersebut akhirnya tertinggal dalam lapisan sedimen batas K-Pg di berbagai lokasi.
Dengan memanfaatkan perubahan dalam komposisi isotop sulfur, para peneliti mampu membedakan antara sulfur yang berasal dari tumbukan dan yang berasal dari sumber alami, lalu menghitung total jumlah sulfur yang dilepaskan melalui metode keseimbangan massa.
Para ilmuwan menemukan bahwa jumlah total sulfur yang dilepaskan ke atmosfer akibat tumbukan asteroid Chicxulub adalah sekitar 67 miliar ton, dengan rentang ketidakpastian ± 39 miliar ton. Hasil itu sekitar lima kali lebih sedikit dibanding estimasi sebelumnya dalam model numerik.
Temuan ini mengindikasikan bahwa "musim dingin akibat tumbukan" (impact winter) mungkin tidak separah yang selama ini diperkirakan.
Penurunan suhu kemungkinan lebih ringan dan pemulihan iklim terjadi lebih cepat, yang bisa menjadi salah satu alasan mengapa sekitar 25% spesies di Bumi mampu bertahan hidup setelah peristiwa tersebut.
Meskipun sulfur masih dianggap sebagai faktor utama dalam pendinginan global pasca-tumbukan, sebuah studi terbaru dari Royal Observatory of Belgium dan VUB mengusulkan bahwa debu halus berukuran mikrometer juga berperan besar.
Debu ini diyakini menciptakan masa kegelapan selama sekitar dua tahun, menghalangi proses fotosintesis, dan memperburuk dampak lingkungan secara keseluruhan.
Penemuan ini membuka babak baru dalam pemahaman kita tentang peristiwa kepunahan massal 66 juta tahun silam.
Kini, dengan setiap lapisan sedimen dan jejak kimia yang diteliti, kita semakin dekat dalam merangkai teka-teki masa lalu Bumi—sebuah pengingat betapa rentannya kehidupan di planet ini terhadap kekuatan kosmik yang jauh di luar kendali kita.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Source | : | Nature Communications,EurekAlert! |
Penulis | : | Lastboy Tahara Sinaga |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR