Nationalgeographic.co.id - Tempat pembuangan sampah tidak diduga-duga menjadi tempat para ilmuwan menemukan mikroorganisme dan enzim yang diharapkan dapat mengatasi permasalahan sampah plastik di dunia.
Plastik membutuhkan waktu yang sangat lama untuk dapat terurai dan menjadi masalah yang serius. Baru-baru ini, misalnya, seorang mahasiswa menemukan bungkus plastik Indo Mie berusia 19 tahun yang masih utuh di pantai di Malang, Jawa Timur. Potongan kecil plastik (mikroplastik) dapat masuk ke tubuh manusia melalui air minum kemasan.
Dunia memproduksi jutaan ton sampah plastik per tahun. Indonesia sendiri “menyumbang” sampah plastik di laut terbanyak kedua di dunia (setelah Cina), yakni sebesar 0,5 juta sampai 1,29 juta ton per tahun. Jumlah ini setara dengan bobot sekitar 650 mobil Toyota Fortuner.
Fakta mengkhawatirkan ini mendorong para ilmuwan mencari mikroorganisme dan enzim yang dapat menghancurkan sampah plastik. Sejumlah riset menunjukkan bahwa semua mikroorganisme yang dapat menguraikan plastik diperoleh dari tempat pembuangan sampah akhir (TPA) atau pusat pengolahan limbah. Para “tentara organik” tersebut telah teradaptasi dengan lingkungan penuh sampah plastik. Adaptasi dalam hal ini termasuk cara mereka memperoleh nutrisi untuk bertahan hidup bahkan berkembang biak.
Mikroorganisme mendapatkan nutrisi dengan cara memecah rantai panjang kimiawi atau polimer plastik menjadi senyawa monomernya yang ukurannya lebih kecil. Proses inilah yang mendasari gagasan penelitian dan pengembangan mikroorganisme sebagai agen bioremediasi limbah plastik.
Lalu mikroorganisme apa saja yang mampu menghancurkan ikatan kimia plastik? Apa yang mempengaruhi mudah atau sulitnya mengurai plastik?
Plastik tersusun dari rantai atom karbon yang panjang dan kompleks. Rantai panjang ini disebut polimer dan unit terkecilnya disebut monomer. Di alam, penguraian polimer plastik terjadi melalui proses fisika seperti radiasi sinar matahari, panas, tekanan, dan kelembapan yang berlangsung sangat lama.
Namun, belakangan ini diketahui bahwa beberapa jenis cendawan atau fungi bersel satu yang tidak kasat mata berpotensi menjadi agen biologis untuk menguraikan polimer plastik. Peneliti Sehroon Khan dan kawan-kawannya pada 2017 menemukan bahwa jenis cendawan Aspergillus tubingensis dalam dua bulan dapat menghancurkan jenis polimer plastik polyester polyurethane (PU) yang jadi bahan pembuatan ban dan jaket kulit sintetis. Mereka menemukan cendawan ini dari tempat pembuangan sampah di Islamabad Pakistan.
Setahun sebelumnya, Anudurga Gajendiran dan koleganya dari Vellore Institute of Technology India menemukan bahwa cendawan jenis Aspergillus clavatus yang diperoleh dari tanah TPA dalam waktu 90 hari dapat mendegradasi plastik jenis low density polyethylene (LDPE) yang digunakan untuk membuat kantong plastik dan tempat sampah.
Di Indonesia, E. Munir dan koleganya dari Universitas Sumatra Utara melaporkan bahwa Trichoderma viride dan Aspergillus nomius yang juga diperoleh dari daerah TPA di Medan dapat menurunkan berat plastik LDPE hingga 6% dalam waktu 45 hari.
Bakteri juga perlu dieksplorasi untuk menjadi agen pendegradasi sampah plastik. Pemanfaatan bakteri bahkan lebih menarik untuk dikembangkan dalam skala industri karena perkembangbiakannya lebih cepat dan struktur selnya lebih sederhana daripada cendawan.
Riset Shosuke Yoshida dan koleganya dari Kyoto Institute of Technology yang dimuat di Science pada 2016 berhasil menemukan bakteri jenis baru, Ideonella sakaiensis 201-F6, yang mampu mendegradasi plastik jenis polyethylene terepthalate (PET) yang biasa digunakan untuk membuat botol air minum kemasan. Bakteri ini diambil dari tanah dan air limbah yang ada di pusat daur ulang limbah berbahan PET.
Mereka melaporkan bahwa I. sakaiensis 201-F6 dapat menghasilkan dua jenis enzim (PETase dan MHETase) yang dapat memecah rantai PET sampai pada level yang aman bagi lingkungan.
Pada 2018 Austin dan koleganya mempublikasikan hasil penelitian di jurnal ilmiah bergengsi PNAS (Proceedings of the National Academy of Sciences) mengenai struktur kristal X-ray dari enzim PETase yang dihasilkan oleh I. sakaiensis 201-F6.
Enzim yang dihasilkan oleh I. sakaiensis 201-F6 tidak beracun, ramah lingkungan, dan dapat diproduksi dalam skala industri. Optimalisasi produksi dan peningkatan aktivitas enzim ini perlu dieksplorasi lebih lanjut.
Selain para “tentara organik” tak kasat mata, beberapa jenis larva serangga juga dapat mencerna sampah plastik. Paolo Bombelli dan koleganya dari University of Cambridge menemukan bahwa ulat Galleria mellonella dapat mengurai kantong plastik polyethylene (PE). Sekitar 200 lubang terbentuk pada kantong plastik PE dan berat kantong plastik berkurang 92 miligram setelah 12 jam ulat-ulat G. mellonella dilepaskan di kantong tersebut.
Kemampuan ulat ini untuk mencerna PE dapat terbentuk karena pada habitat alaminya, ulat G. mellonella memakan lilin lebah (beeswax), suatu senyawa lemak yang sangat kompleks. Ikatan kimiawi karbon yang ada dalam struktur lilin lebah menyerupai yang ada dalam PE, dan kemungkinan menjadi target penghancuran oleh mikroorganisme yang ada dalam sistem pencernaan ulat.
Plastik jenis PS (styrofoam) yang sulit diurai secara biologis ternyata menjadi santapan lahap larva Tenebrio molitor atau mealworms. Di Indonesia, mealworms dikenal sebagai ulat Hong Kong dan biasa dijadikan pakan burung.
Para peneliti dari Beihang University Beijing dan Stanford University menemukan bahwa larva-larva T. molitor memakan styrofoam sebagai satu-satunya sumber pakan mereka. Laju kesintasan (survival) kelompok larva yang diberi makan styrofoam tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan kelompok larva yang diberi makan dedak. Styrofoam terdegradasi secara efisien menjadi biomassa larva, CO2, dan kotoran larva oleh sistem pencernaan larva dalam kurun waktu kurang dari 24 jam.
Para peneliti tersebut menginvestigasi peranan bakteri yang terdapat dalam sistem pencernaan larva T. molitor. Dari sistem pencernaan larva, bakteri Exiguobacterium sp. strain YT2 berhasil diperoleh, dan diketahui dapat membentuk lapisan biofilm serta membuat lubang-lubang kecil pada permukaan styrofoam. Dalam media cair, kultur Exiguobacterium sp. strain YT2 dapat mendegradasi 7,4% styrofoam dalam kurun waktu 60 hari.
Meski berbagai agen biologis seperti cendawan, bakteri, dan larva serangga dapat dikembangkan di Indonesia untuk mengatasi masalah sampah plastik, solusi utama terletak pada upaya kita mengurangi sampah plastik yang kita hasilkan setiap hari.
Walau kita kerap mendengar prinsip 3R (reduce, reuse, recycle) dalam kaitan sampah, tidak mudah mempraktikkannya di sini karena sistem manajemen sampah secara umum belum memilah sampah organik dan non-organik.
Tapi langkah kecil dapat kita lakukan: membawa tas belanja sendiri, menggunakan kotak makanan dan botol minuman yang dapat diisi ulang, dan memakai sedotan stainless steel yang dapat dicuci dan dipakai kembali.
Penulis: Renna Eliana Warjoto, Lecturer at Faculty of Biotechnology, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR